Langsung ke konten utama

Matinya Orang-orang Penting

Majelis manakiban di Jum’at malam itupun akhirnya dilaksanakan setelah dua kali libur. Maklum sebagai imam majelis, Gus Ahmad dan istri sedang pergi umrah. Beberapa jamaah juga ada yang ikut serta umrah bersama beliau. Majelis manakiban pun diputuskan tidak dihelat selama dua kali pertemuan.

Maka di malam itu, majelis manakiban yang intinya meminta barakah kepada Allah melalui karamahnya Syekh Abdul Qadir Jailani, diikuti banyak orang. Mereka antusias setelah libur dua kali. Mereka merasa kangen dengan majelis yang di setiap usai pembacaan kitab manakib Nurul Burhan, selalu dibuka sesi tanya jawab oleh Gus Ahmad. Tapi tentu saja dengan suasana santai dan dipenuhi guyon.

Saat dibacakan kitab manakib di malam itu, jamaah khusyuk menyimak dan sesekali menyahut pembaca kitab. Saat itu yang menjadi pembaca kitab adalah Kang Jupri. Bacaannya lumayan pelan, santuy, sehingga bisa diikuti rata-rata para jamaah. Yang paling spesial tentu saja lagu yang dipakainya, selalu membuat tenang jamaah. Maklum, Kang Jupri seorang qari’.

Hingga sampailah majelis itu pada akhir manakib. Kemudian diteruskan dengan sesi tanya jawab seluas-luasnya tentang problem hidup, apapun itu. Maka Gus Ahmadpun mengambil alih pengeras suara yang tadi dipegang Kang Jupri.

“Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillah walhamdulillah wasshalatu wassalamu ‘ala rasulillah. Para jamaah yang berbahagia. Alhamdulillah kita semua masih diberikan oleh Allah kekuatan untuk bisa berkumpul dalam majelis yang mulia ini setelah libur dua kali. Bagaimana Sampeyan semua, kangen apa tidak dengan majelis ini?”

Serentak semua hadirin menjawab, “Ya Gus, kita semua kangen.”

“Alhamdulillahi rabbil’alamin. Nah sebentar lagi giliran kita memulai acara tanya jawab seperti biasanya. Barangkali ada diantara Sampeyan yang punya uneg-uneg, monggo nanti disampaikan. Saya akan coba menjawab sebisanya. Tapi sebelum itu monggo di-dahar dulu ketela dan pisang gorengnya. Mumpung masih hangat.”

Semua jamaahpun bergantian mengambil kudapan yang disediakan istrinya Gus Ahmad yang dikenal pandai memasak itu. Baru beberapa menit disilahkan, kue yang ditaruh di beberapa piring itupun tinggal sedikit. Para jamaah memang selalu menikmati kue buatan istrinya Gus Ahmad. Apalagi Kang Dargombes, yang hafal betul bagaimana lezatnya resep istri gurunya itu.

Tapi ada yang janggal! Kang Paito sama sekali tidak terlihat mengunyah kue secuilpun. Kelihatannya dia sedang menyimpan gundah di hatinya. Dan nanti akan segera disampaikannya kepada Gus Ahmad.

“Alhamdulillah, kuenya tinggal sedikit. Nanti kita teruskan lagi makannya. Sekarang ayo siapa diantara Sampeyan yang mau bertanya.” Sergah Gus Ahmad.

Betul juga perkiraannya, setelah ada instruksi, Kang Paito dengan sigap mengacungkan tangannya.

“Saya Gus punya pertanyaan.”

“Oh Kang Paito. Monggo Kang apa masalah yang ingin Sampeyan sampaikan di sini?”

“Begini, Gus. Di tivi sudah beberapa hari ini memberitakan adanya virus mematikan di daerah Anu. Saking mematikannya, jumlah yang mati dan yang sembuh, jomplang. Presentase pertambahan yang meninggal lebih banyak daripada yang sembuh. Dan itu terjadi berhari-hari.

“Diantara yang meninggal ada pula orang-orang yang tergolong terdidik. Para profesor, doktor dan dokter banyak yang menjadi korban. Padahal mereka dikenal sebagai pakar beberapa ilmu tertentu. Meninggalnya mereka, adalah tragedi besar bagi peradaban kemajuan manusia. Menurut saya seperti itu, Gus.”

Gus Ahmad menimpali uraian Kang Paito, “Lantas, yang Sampeyan masalahkan apa Kang?”

“Gus, kadang saya berpikir, mengapa Allah membuat musibah ini segala. Banyak manusia secara umum yang meninggal saja membuat kita semua bersedih. Apalagi yang meninggal itu para pakar tersebut. Semakin bersedih saya ini, Gus. Maksud saya, mengapa Allah sampai hati membuatkan takdir ini, Gus?”

Mendengar uraian panjang dan pertanyaan sulit dari Kang Paito, membuat para jamaah menjadi tegang. Tidak ada satu katapun yang keluar dari lisan mereka. Nampak sekali mereka juga sepemahaman dengan Kang Paito: Mengapa ya, Allah kok setega itu? Cuman nyali mereka tidak sebesar Kang Paito untuk berani menanyakan langsung ke Gus Ahmad.

Tiba-tiba keheningan itu pecah, ketika Gus Ahmad membuka omongan.

“Duh Gusti, saya juga mengikuti berita tersebut. Sedih juga rasanya hati ini, Kang. Sedih sekali merasakan perihnya tragedi banyaknya orang yang menjadi korban dan meninggal dunia. Sedih saat mengetahui ada beberapa ‘orang penting’ yang turut menjadi korban meninggal dunia. Dan kita sebagai sesama manusia memang layak dan wajib ikut berdukacita seperti itu. Itu menunjukkan jika persaudaraan kita, antar sesama manusia, senantiasa terjalin. Meskipun berbeda keyakinan.

“Tetapi, tentang musibah itu semua, sungguh kita tidak layak memprotesnya. Kita tidak pantas menagih tanggung jawab kepada Illahi Rabbi. Bahkan menunjukkan sikap perlawanan, unjuk rasa, kepadaNya. Sekali lagi, kita tidak dibenarkan memburuksangkai Allah dalam setiap qudrat dan iradat-Nya.”

Mendengar kalimat terakhir, kini giliran Kang Dargombes mengacungkan tangan. Ia meminta konfirmasi lebih detail tentang kalimat terakhir yang didawuhkan Gus Ahmad.

“Pangapunten, Gus. Saya, dan mungkin semua yang hadir, masih belum memahami sejatinya kalimat jenengan yang terakhir, bahwa kita tidak dibenarkan memburuksangkai setiap qudrat dan iradat Allah!”

Gus Ahmad meneguk sebentar kopi yang sedari tadi belum diminumnya. Sejurus kemudian beliau memulai dawuh-nya lagi. Menjelaskan lebih detail sesuai permintaan Kang Dargombes.

“Begini Kang Paito, Kang Dargombes, dan seluruh hadirin rahimakumullah. Allah Swt itu punya sifat Jaiz yang harus kita yakini. Bahwa Allah itu Fi’lu kulli mumkinin aw tarkuhu, yang artinya Allah berhak untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya (tidak mengerjakannya). Maksudnya, tidak ada kekuatan manapun yang sanggup memerintah atau melarang Allah untuk berbuat sesuatu. Tidak ada kekuatan apapun dan manapun yang bisa mengatur-atur Allah. Termasuk kita-kita yang makhluk kecil ini.

“Allah Maha Kuasa atas segala ciptaanNya. Seluruh alam semesta ini adalah ciptaanNya. Maka Allah bebas untuk melakukan dan tidak melakukan hal apapun pada ciptaanNya. Terserah Allah dan Allah punya kebebasan mutlak. Karena memang semuanya adalah milikNya semata. Astaghfirullahaladzim...”

Gus Ahmad menghentikan sejenak penjelasannya. Nampak matanya terpejam. Kepalanya dingkluk ke bawah. Di saat beliau seperti itu, Kang Paitopun menyela.

“Apakah berarti ada maksud-maksud tertentu Allah berbuat sebebasnya itu, Gus? Dalam arti, kematian banyak orang pinter itu, pasti Allah membuat hikmah di baliknya?”

Setelah mendongakkan kepalanya, Gus Ahmadpun memberikan penjelasan paling pamungkas.

“Betul, Kang. Allah pasti telah merakit hikmah terbaik dari peristiwa yang membuat kita bersedih ini. Kita harus meyakini itu. Salah satunya, atas ketiadaan para orang pinter tersebut, membuka lagi semangat kita untuk terus berikhtiar dan berdoa menutupi lowongnya kematian para ahli itu. Karena di situlah kita akan memahami sejatinya makna kehidupan dan kematian. Bahwa yang hidup menggantikan yang mati. Dan yang mati akan digantikan oleh yang hidup.”

Kang Paitopun menyahut, seraya menghormat ke Gus Ahmad, “Gih Gus, dereaken dawuh Panjenengan.” 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...