Kemarin hari Jum’at. Tak terasa. Baru seminggu yang lalu menemui hari Jum’at, eh kemarin dia sudah muncul lagi. Tapi memang dasar, hari Jum’at itu siklus mingguan yang bisa kita lalaikan untuk sementara. Namun mendadak sanggup memaksa kita untuk mengingatnya kembali.
Di pesantren-pesantren biasanya diadakan kerja bakti secara bersama-sama (ro’an). Warga desa juga sama, terbiasa jum’at bersih. Di kantor-kantor, hari Jum’at itu hari menyehatkan. Para penghuni kantor biasa bersenam pagi. Keluar keringat itu sehat.
Aku lihat kemarin, ada juga yang punya ritual seperti itu, di tempat lain yang berbeda, di bangunan-bangunan nan besar bernama masjid. Mereka itu para lelaki setengah baya. Jumlahnya, ya, lima orang lah. Mereka ada yang berdiri. Ada yang ngelempoh. Mereka mengepel lantai. Menguras kamar mandi dan membersihkan tempat wudlu. Mereka mengecek microfon dan sound system, mempersiapkan pelaksanaan acara besar.
Oh ya, kemarin kan hari Jum’at. Hari di mana ketika matahari mulai menyingsing ke arah barat, masjid-masjid menggeliat. Masjid-masjid mengadakan pertemuan agung: shalat Jum’at. Ritual mingguan yang bisa menghapus dosa-dosa kecil bagi yang melaksanakannya.
Ayat-ayat al-Quran diperdengarkan dengan keras melalui toa. Biasanya menyetel tilawah Muammar Z.A melantunkan Surat al-Hujurat yang melegenda. Iya, surat yang banyak berisi etika hidup di masyarakat. Salah satunya bertabayyun dalam rangka memvalidasi kabar (ayat 6). Agar masyarakat tidak terpapar hoaks. Satu lagi agar kabar yang menyebar bisa mendapat penjelasan langsung dari sumbernya.
Bagi laki-laki muslim, datang ke masjid untuk Jum’atan itu spesial. Soalnya, banyak dari mereka yang niatnya ingin meng-charge jiwanya dengan nasihat para khatib yang berkhutbah. Setelah selama seminggu mereka merasa terlalu menumpahkan pada dunia, lalai pada nasihat.
Mereka berpakaian rapi. Baju dan sarung terbagus. Biasanya putih. Bersih dan wangi. Banyak pula yang menyangkluk sorban, melingkarkan di leher. Setelah tiba di dalam masjid, merekapun khusyuk terdekap dinginnya kipas masjid.
Yang punya anak laki-laki, di situlah saat yang tepat mendidik mereka. Mereka harus dibiasakan memasuki masjid. Dibiasakan mendengar nasihat. Dibiasakan menyatu dengan banyak orang. Dibiasakan bersabar menanti datangnya iqamah.
Tapi...tapi...ternyata banyak peristiwa miris. Anak laki-laki kita sukanya berteriak. Berteriak sambil berlari. Berlari berkejaran dengan temannya. Padahal saat itu khatib sedang pidato. Sampai beliau memimpin shalat. Suara sang imam shalatpun bertabrakan dengan teriakan.
Menang yang mana? Jelas saja anak-anak kitalah pemenangnya. Suara mereka bebas volume. Besar volumenya tidak terbendung. Teriakan mereka membikin jamaah jadi memicingkan mata. “Ini anak siapa to yang teriak-teriak?” Tanya para jamaah. Mereka tidak sadar, jika yang teriak dan lari-lari adalah anak-anak mereka sendiri.
Lho kan mereka bukan lahir dari rahim istri-istri para jamaah? Bukan para jamaah juga yang membiayai sekolahnya, mengajinya, lesnya, dll? Betul, mereka bukan bagian dari keluarga kandung yang serumah. Tetapi, apakah masjid itu bukan rumah bagi para jamaah dan yang ada di dalamnya adalah satu ikatan sebagai saudara atau keluarga?
Anak-anak itu sejatinya adalah anak-anak kita juga. Kenakalan mereka pasti ada pula hasil tanam saham kita. Mungkin, kita sudah terputus hati dengan mereka. Kata kita, urusan anak-anak bukan urusan bapak-bapak. Urusan bapak-bapak adalah urusan kedewasaan, urusan mencari nafkah, urusan besar-besar.
Mereka kita anggap bukan tanggung jawab kita. Tidak ada kewajiban mendampingi mereka, merangkul mereka, menauladankan ketepatan perilaku kepada mereka. Kata kita, mereka kan sudah ada orang tua kandungnya. Sudah dididik guru-guru di sekolahnya. Untuk apa kita ikut-ikutan mendidik mereka.
Apakah benar seperti itu? Tidak. Sebagai bagian dari masyarakat, baik dan buruknya anak-anak menjadi tanggung jawab kita pula. Istilahnya, masyarakatlah sekolah yang ketiga setelah keluarga dan lembaga sekolah. Dan sebetulnya, dari sisi historis dan fungsi, masjid adalah pusat sekolah itu sendiri. Pusat madrasah atau pesantren yang menggembleng akidah, syariat dan akhlak anak-anak kita.
Tapi memang sebagai “orang tua” dalam skala luas di masyarakat, sering peran “guru” dan “teman” itu kita abaikan. Kalau di lingkungan ada anak yang nakal, kita sanggupnya hanya meledek dan menanyakan, “Hai, dia itu anaknya siapa?” Setelah tau siapa orang tua anak itu, merekapun kembali meledek, “Oh, dia itu anaknya si anu. Pantas saja kayak gitu. Wong orang tuanya juga sama.”
Secara normatif kita selayaknya tidak seperti itu. Sebab tantangan pendidikan hari ini berhadap-hadapan dengan virus keburukan yang semakin besar dan kuat. Saya kira lembaga sekolah dan keluarga pasti tak akan sanggup menangani setiap sisi pendidikan bagi anak-anaknya. Bagaimanapun, lingkungan punya arus yang lebih besar yang berpengaruh kuat bagi dunia anak.
Jika arus di masyarakat itu terbangun baik, mendukung semangat intelektual dan religiusitas-moral bagi anak, maka merekapun bisa menjadi baik. Jika sebaliknya, arus yang terjadi lebih banyak lepas tangan, meliberalisasi, maka gerak-gerik merekapun, anak-anak kita itu, menjadi murid-murid yang yatim dari guru dan yatim dari orang tua. Mereka yatim secara edukasi dan sosial. Karena itulah banyak yang bertindak sebebas-bebasnya.
Dan lihatlah kaki-kaki mereka, sudahkah sesuai dengan aturan shalat? Tontonlah mereka ketika berwudlu, sempurnakah? Dengar ocehan mereka, sudahkah bermoral? Telusuri gawainya (hape), adakah keganjilan? Test bacaan al-Qur’annya, sudahkah fasih? Tahukah mereka tentang sejarah bangsanya? Pahamkah mereka tentang gerak alam semesta? Sudah pas atau belum tatacara bicaranya? Dll.
Mojopahit Now, 10-03-2018
Di pesantren-pesantren biasanya diadakan kerja bakti secara bersama-sama (ro’an). Warga desa juga sama, terbiasa jum’at bersih. Di kantor-kantor, hari Jum’at itu hari menyehatkan. Para penghuni kantor biasa bersenam pagi. Keluar keringat itu sehat.
Aku lihat kemarin, ada juga yang punya ritual seperti itu, di tempat lain yang berbeda, di bangunan-bangunan nan besar bernama masjid. Mereka itu para lelaki setengah baya. Jumlahnya, ya, lima orang lah. Mereka ada yang berdiri. Ada yang ngelempoh. Mereka mengepel lantai. Menguras kamar mandi dan membersihkan tempat wudlu. Mereka mengecek microfon dan sound system, mempersiapkan pelaksanaan acara besar.
Oh ya, kemarin kan hari Jum’at. Hari di mana ketika matahari mulai menyingsing ke arah barat, masjid-masjid menggeliat. Masjid-masjid mengadakan pertemuan agung: shalat Jum’at. Ritual mingguan yang bisa menghapus dosa-dosa kecil bagi yang melaksanakannya.
Ayat-ayat al-Quran diperdengarkan dengan keras melalui toa. Biasanya menyetel tilawah Muammar Z.A melantunkan Surat al-Hujurat yang melegenda. Iya, surat yang banyak berisi etika hidup di masyarakat. Salah satunya bertabayyun dalam rangka memvalidasi kabar (ayat 6). Agar masyarakat tidak terpapar hoaks. Satu lagi agar kabar yang menyebar bisa mendapat penjelasan langsung dari sumbernya.
Bagi laki-laki muslim, datang ke masjid untuk Jum’atan itu spesial. Soalnya, banyak dari mereka yang niatnya ingin meng-charge jiwanya dengan nasihat para khatib yang berkhutbah. Setelah selama seminggu mereka merasa terlalu menumpahkan pada dunia, lalai pada nasihat.
Mereka berpakaian rapi. Baju dan sarung terbagus. Biasanya putih. Bersih dan wangi. Banyak pula yang menyangkluk sorban, melingkarkan di leher. Setelah tiba di dalam masjid, merekapun khusyuk terdekap dinginnya kipas masjid.
Yang punya anak laki-laki, di situlah saat yang tepat mendidik mereka. Mereka harus dibiasakan memasuki masjid. Dibiasakan mendengar nasihat. Dibiasakan menyatu dengan banyak orang. Dibiasakan bersabar menanti datangnya iqamah.
Tapi...tapi...ternyata banyak peristiwa miris. Anak laki-laki kita sukanya berteriak. Berteriak sambil berlari. Berlari berkejaran dengan temannya. Padahal saat itu khatib sedang pidato. Sampai beliau memimpin shalat. Suara sang imam shalatpun bertabrakan dengan teriakan.
Menang yang mana? Jelas saja anak-anak kitalah pemenangnya. Suara mereka bebas volume. Besar volumenya tidak terbendung. Teriakan mereka membikin jamaah jadi memicingkan mata. “Ini anak siapa to yang teriak-teriak?” Tanya para jamaah. Mereka tidak sadar, jika yang teriak dan lari-lari adalah anak-anak mereka sendiri.
Lho kan mereka bukan lahir dari rahim istri-istri para jamaah? Bukan para jamaah juga yang membiayai sekolahnya, mengajinya, lesnya, dll? Betul, mereka bukan bagian dari keluarga kandung yang serumah. Tetapi, apakah masjid itu bukan rumah bagi para jamaah dan yang ada di dalamnya adalah satu ikatan sebagai saudara atau keluarga?
Anak-anak itu sejatinya adalah anak-anak kita juga. Kenakalan mereka pasti ada pula hasil tanam saham kita. Mungkin, kita sudah terputus hati dengan mereka. Kata kita, urusan anak-anak bukan urusan bapak-bapak. Urusan bapak-bapak adalah urusan kedewasaan, urusan mencari nafkah, urusan besar-besar.
Mereka kita anggap bukan tanggung jawab kita. Tidak ada kewajiban mendampingi mereka, merangkul mereka, menauladankan ketepatan perilaku kepada mereka. Kata kita, mereka kan sudah ada orang tua kandungnya. Sudah dididik guru-guru di sekolahnya. Untuk apa kita ikut-ikutan mendidik mereka.
Apakah benar seperti itu? Tidak. Sebagai bagian dari masyarakat, baik dan buruknya anak-anak menjadi tanggung jawab kita pula. Istilahnya, masyarakatlah sekolah yang ketiga setelah keluarga dan lembaga sekolah. Dan sebetulnya, dari sisi historis dan fungsi, masjid adalah pusat sekolah itu sendiri. Pusat madrasah atau pesantren yang menggembleng akidah, syariat dan akhlak anak-anak kita.
Tapi memang sebagai “orang tua” dalam skala luas di masyarakat, sering peran “guru” dan “teman” itu kita abaikan. Kalau di lingkungan ada anak yang nakal, kita sanggupnya hanya meledek dan menanyakan, “Hai, dia itu anaknya siapa?” Setelah tau siapa orang tua anak itu, merekapun kembali meledek, “Oh, dia itu anaknya si anu. Pantas saja kayak gitu. Wong orang tuanya juga sama.”
Secara normatif kita selayaknya tidak seperti itu. Sebab tantangan pendidikan hari ini berhadap-hadapan dengan virus keburukan yang semakin besar dan kuat. Saya kira lembaga sekolah dan keluarga pasti tak akan sanggup menangani setiap sisi pendidikan bagi anak-anaknya. Bagaimanapun, lingkungan punya arus yang lebih besar yang berpengaruh kuat bagi dunia anak.
Jika arus di masyarakat itu terbangun baik, mendukung semangat intelektual dan religiusitas-moral bagi anak, maka merekapun bisa menjadi baik. Jika sebaliknya, arus yang terjadi lebih banyak lepas tangan, meliberalisasi, maka gerak-gerik merekapun, anak-anak kita itu, menjadi murid-murid yang yatim dari guru dan yatim dari orang tua. Mereka yatim secara edukasi dan sosial. Karena itulah banyak yang bertindak sebebas-bebasnya.
Dan lihatlah kaki-kaki mereka, sudahkah sesuai dengan aturan shalat? Tontonlah mereka ketika berwudlu, sempurnakah? Dengar ocehan mereka, sudahkah bermoral? Telusuri gawainya (hape), adakah keganjilan? Test bacaan al-Qur’annya, sudahkah fasih? Tahukah mereka tentang sejarah bangsanya? Pahamkah mereka tentang gerak alam semesta? Sudah pas atau belum tatacara bicaranya? Dll.
Mojopahit Now, 10-03-2018
bagus-bagus tulisannya mas dayat... keren
BalasHapusMasih belajar nulis
BalasHapus