Langsung ke konten utama

Ekspresi Agama dan Budaya: Duet KH. Imam Hambali dan Abah Topan

Lega dan bersyukur. Itulah dua perasaan yang mengumpul di benak saya. Pasca usainya pergelaran pengajian umum di kampung saya pada tanggal 26 Oktober yang lalu. Sebuah kegiatan keagamaan yang berskala besar yang rutin dilaksanakan setiap tahun.

Tahun ini memang agak spesial. Tidak seperti biasanya panitia kampung mendatangkan seorang penceramah, di perhelatan tahun ini yang didatangkan duet antara penceramah dan pelawak; KH. Imam Hambali dan Abah Topan. Bisa dibayangkan bagaimana riuh dan ramainya para warga yang menghadiri pengajian tersebut.

Dan seperti sudah diduga sebelumnya, para warga yang hadirpun membeludak. Jumlahnya berkisar seribu orang lebih. Mereka tidak saja warga lokal, tetapi banyak pula yang berasal dari tetangga desa. Mereka nampak khusyuk menyimak ceramah agama yang disampaikan KH. Imam Hambali, dan lawakan mengocok perut dari tingkah pola dan guyonan Abah Topan.

Jumlah penyimak pengajian yang membeludak tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pasti ada penyebabnya. Anda pasti bisa menerka, seperti juga saya, bahwa yang menyebabkan itu semua adalah kehadiran Abah Topan. Dialah yang sebenarnya menjadi magnitudo kehadiran ribuan orang tersebut di malam itu.

Kenyataan tersebut tidaklah mengherankan. Selama ini kita mengetahui bahwa Abah Topan yang bernama lengkap Topan Muhammad Sugianto, adalah seorang seniman besar. Sudah puluhan tahun ia berkesenian di negeri ini. Pelawak asli Malang itu pun pernah “merajalela” di banyak acara tivi nasional pada beberapa tahun yang lalu. Tentu saja yang paling populer ketika ia berduet dengan adiknya, almarhum Leysus, di tahun 2000-an. Duet lawak inilah yang melejitkan nama Abah Topan sebagai salah satu pelawak nasional yang dikenal pintar mengocok perut para penontonnya.

Nama besar dan model lawakan yang gampang diterima itulah, kiranya yang menjadikan malam itu, di perhelatan tahunan tersebut, para warga berdatangan dengan sangat banyaknya. Mereka pun duduk tenang menyimak perhelatan – yang dalam bahasa saya, saya sebut – “dakwah dan kegembiraan” itu. Silih berganti mereka menerima materi dan lawakan tersebut. Kadang serius, kadang tertawa. Jadi, sekalipun tema besarnya adalah pengajian atau penyampaian materi tentang ke-Islaman, para warga yang hadir juga memperoleh hiburan berupa lawakan khas Abah Topan tersebut. Dan itu merupakan sebuah strategi dakwah yang sangat ampuh, yang saya ketahui digagas langsung oleh KH. Imam Hambali.

Namun tidak bisa dipungkiri, bagi beberapa orang yang punya pendapat berbeda, model dakwah yang seperti itu dikatakan tidaklah murni. Tidaklah ideal. Dakwah ya dakwah. Tidak bisa dakwah agama dicampur dengan budaya, apalagi yang berwujud seni lawak itu.

Dakwah itu penyampaian dalil al-Qur’an atau Hadis Nabi. Keduanya itu terkategori suci. Sehingga ia tidak bisa dicampur dengan lawakan yang terkategori kotor, karena tidak berdasar dua sumber agama tersebut. Oleh karena itu yang suci selamanya tidak akan bisa dicampur dengan yang kotor. Apalagi selama ini seniman yang dimaksud berkecimpung di dunia ludruk dan ketoprak.

Pro kontra yang saya yakin masih terjadi hingga kini tersebut, sebenarnya sudah mendapat jawaban tuntas. Poin besarnya berupa sanggahan bahwa tidaklah bermasalah dakwah agama dipadukan dengan budaya. Tidak menjadi soal agama dan seni dikumpulkan dalam satu duet yang padu. Asalkan, seni tersebut tidak keluar dari koridor agama itu sendiri.

Seperti pandangan Ali Audah dalam artikelnya yang berjudul “Kreatifitas Kesenian dalam Tradisi Islam” yang tercakup di buku Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok. Seni menurut Ali Audah, tidak menjadi masalah dalam agama, selama tidak melanggar larangan pergaulan bebas antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim. Atau mempertontonkan aurat tubuh dalam pertunjukan itu. Dan karena selama ini koridor itu tidak dilanggar, banyak sekali para seniman tidak mengalami hambatan dalam berkesenian, terutama dari kalangan agamawan. Mereka bebas menunjukkan kreatifitas keseniannya itu hingga sekarang.

Bahkan dalam pemaknaan di level yang lebih tinggi, menurut Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, seni itu bisa bermisi profetik (dakwah kenabian). Asalkan seniman tersebut menyadari bahwa kreatifitas keseniannya bukanlah demi tontonan belaka, bukanlah demi kepuasan diri semata, tetapi ada pertautan dengan Tuhan  dan bisa memberikan manfaat besar kepada orang lain.

Misi profetik tersebut tercatut dalam Surat Ali Imran ayat ke 110, Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Di ayat tersebut ada tiga poin pokok tentang misi profetik yang dimaksud Kuntowijoyo; memanusiakan manusia (humanisasi), pembebasan (liberasi) dan membawa manusia kepada Tuhan (transendensi). Penjelasan sederhananya, seniman yang berkesadaran Islami, akan membiasakan dalam pertunjukannya untuk selalu merekatkan hablum minallah dan hablum minannas.

Dan sepanjang “dakwah dan kegembiraan” itu berlangsung, saya melihat bahwa mayoritas yang menjadi materi lawakan Abah Topan adalah perekatan hubungan vertikal dan horizontal tersebut. Bersama KH. Imam Hambali, duet kreatif-inovatif itupun mampu menenangkan jiwa masyarakat. Materi tentang taqwa yang berisikan tiga hal penting – dermawan, sabar dan memupuk persaudaraan, pasti menjadi “sangu” yang sangat berharga di tengah banyaknya perbedaan di masyarakat. Terutama di masa-masa kampanye Pilpres dan Pileg seperti sekarang ini. Wallahu a’lam

Mojokerto, 25-11-2018

Komentar

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.cc
    dewa-lotto.vip

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...