Langsung ke konten utama

FILSAFAT SIAPA-SIAPA



Sore kemarin aku sowan emak. Seorang manusia sepuh yang jadi kebanggaanku. Seseorang yang telah meramut dan memeliharaku hingga segede ini.

Emak agak kaget ketika aku menyambangi gubuknya. Maklum, karena biasanya aku sowan di pagi hari. Bukan di sore hari menjelang petang, seperti kemarin. Yang kata embah-embah dulu, surup itu waktunya setan-lelembut-garangan keluar dari persembunyiannya.

Emak menyambutku dengan rona muka penuh tanda tanya. Aku meramal, sekejap aku duduk di bayang bambu milik emak, emak akan lekas menyorongkan pertanyaan.

“Ada apa kamu Cung datang kemari surup-surup seperti ini?” Nah betul, kan. Emak tak sabar untuk bertanya padaku.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan emak. Yang aku lakukan malah menyentuh tangan dan pundaknya. Mengusap rambutnya yang memutih total. Juga mengusap-usap pipi kewut-nya.

“Ada apa toh Cung kamu ini?” Lagi, emak bertanya padaku. Dan lagi-lagi aku tidak langsung menjawabnya. Karena yang aku lakukan ganti memegang tanganku sendiri. Lantas leher, kepala dan pipiku. Yang itu membuat emak ketawa geli melihat tingkahku.

“Owalah, Cung. Aku gak ngerti apa maksud tingkahmu itu. Lha wong ditanya dari tadi kok malah gitu tingkahmu.”

Aku terkekeh. Lalu memasang muka serius. Lantas melontarkan tanya pada bojonya bapakku yang sudah tiada belasan tahun yang lalu itu.

“Emaaaak!”

“Opo, Cung?”

“Aku ini sebenarnya siapa, sih?”

“Kamu yo anakku to.”

“Bukan itu Mak. Maksudku, aku ini kata tetanggaku dan teman-temanku, bukanlah SIAPA-SIAPA. Kan aku jadi bingung sendiri, Maaak.”

“Bukan siapa-siapa piye maksudmu, Cung?”

Sejenak aku menenangkan diri. Menenangkan emosi yang bisa saja tak bisa ditahan. Yang jika itu terjadi, pasti akan membuat emak lebih kaget lagi.

“Jadi begini, Mak. Aku kan seorang pemulung, seperti halnya profesi bapak dan emak dulu. Yang saban hari mendatangi kampung-kampung. Mencari botol mineral dan kardus. Karena pekerjaanku itulah, kata orang-orang aku ini bukanlah SIAPA-SIAPA.”

Emak menatapku tajam. Aku lihat lambe emak komat-kamit. Entah apa yang dirapal, aku gak paham babar pisan. Kemudian emak bicara.

“Kalau ada orang yang mengatakan bahwa kamu BUKAN SIAPA-SIAPA karena kerjaanmu itu, maka akulah orang pertama yang akan membantahnya!”

Aku kaget bukan main dengan pernyataan emak. Pernyataan yang sungguh tegas tanpa tedeng aling-aling. Pernyataan yang tidak disampaikan secara plintutan. Dan memang itulah emakku, tegas dan opo onok’e. Karena emak adalah penerang batinku. Penenang amukku.

“Tapi kata mereka, sebab aku bukan Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, atau Wakil Presiden. Makanya aku ini BUKAN SIAPA-SIAPA, Maaaak.”

Emak mecucu saat aku memanggilnya emak dengan kata “mak” yang agak panjang itu. Jika dihitung mungkin itu sepanjang lima ketukan. Dan itu tandanya, aku ini suka ngalem sama emak. 

“Jika itu yang menjadi tambahan alasannya, maka aku akan lebih membantahnya lagi. Bagi emakmu ini, semua pernyataan orang-orang tentangmu itu merupakan bukti kebodohannya.”

“Bagaimana bisa, Maaak?”

Emak lantas berdiri di pinggir bayang. Ia meraih muk besar berisi teh hangat yang sudah dibuatnya tadi dari atas meja yang lumayan tua. Emak meminum teh hangat yang harum baunya itu, dua seruputan.

“Mereka bodoh, sebab mereka tidak bisa menghargai setiap jatidiri manusia. Mereka secara tidak langsung telah menghina dirinya sendiri. Gampangannya, mereka telah ramai-ramai nyemplung ke sungai lumpur yang berbau. Lalu…”

“Lalu apa, Mak?” Aku memotongnya.

“Mereka menginsafi diri mereka laksana kuda nil dan biawak penghuni sungai lumpur itu. Sedangkan di saat mereka nyemplung, ada beberapa orang yang mereka larang untuk nyemplung bareng. Karena menurut mereka, beberapa orang tersebut tidak pantas ikut nyemplung dengannya.”

“Mengapa mereka kok bisa begitu, Maaaak?” Lagi dan lagi, aku memanggil emak dengan tempo kata “mak” yang agak panjang.

“Ya karena mereka telah menganggap diri mereka BUKAN SIAPA-SIAPA. Sedang orang yang tidak diperbolehkan nyemplung mereka anggap SIAPA-SIAPA.”

“Siapa yang mereka anggap SIAPA-SIAPA tadi, Mak?”

“Loh, yang dikatakan mereka padamu tadi. Piye seh kowe, Cung. Mulai Lurah sampai Presiden. Mulai Sersan sampai Jenderal. Jadi mereka telah mengkotak-kotakkan jatidiri semua manusia menjadi berbeda-beda derajat. Sekarang aku tanya padamu, Cung.”

“Ya, Maaak.”

“Husss. Maukah kamu dimasukkan ke salah satu kotak itu, Cung?”

“Pasti tidak mau, Mak. Karena aku pasti megap-megap di dalammya.”

Di saat aku menolak tawaran itu, emak melangkah ke pintu yang berkonsep kupu tarung, di bagian depan ruang tamu. Ia membuka daun pintu sebelah kiri yang dari tadi masih terkunci. Mungkin emak ingin lancar mendengar lantunan azan maghrib yang segara akan berkumandang.

“Nah itulah Cung, betapa buruknya orang yang tidak menganggap dirinya SIAPA-SIAPA itu. Padahal mulai Lurah sampai Presiden. Mulai Sersan sampai Jenderal. Jika mereka terlalu mengikuti alur pengkotakan itu, ya mereka juga bisa megap-megap. Megap-megapnya berupa jarak yang sungguh lebar yang muncul di saat mereka berkomunikasi dengan manusia lainnya yang bukan pejabat. Atau yang kita anggap sebagai ‘orang-orang biasa’.”

“Artinya para tetangga dan temanku salah dalam menilai bagaimana sebenarnya amanah berupa jabatan. Bahwa amanah jabatan itu tidak boleh diartikan sebagai pengubah status, dari sebelumnya BUKAN SIAPA-SIAPA, menjadi SIAPA-SIAPA?”

Emak menatapku dengan mata mecicil saat aku mengajukan kalimat-kalimat yang aku sendiri gak habis pikir, kok bisa aku ngomong selancar para anggota timses itu. Sejenak kemudian emak mengarahkan tangannya ke janggutku. Lalu kepalaku digerakkan, ke arah sebuah foto yang dipaku di tembok, yang memampangkan sesosok pria kebanggaan kami. Dialah manusia yang telah “mencetakku” sebelum aku ada di rahim emakku. Ya, dialah bapakku.

“Lihatlah foto itu, Cung! Biarpun bapakmu mati dalam keadaan tetap menjadi pemulung, tapi ia selalu bangga pada dirinya. Ia selalu menganggap bahwa dia itu SIAPA-SIAPA. Demikian pula ia menganggap orang lain, pejabat atau orang biasa, sebagai SIAPA-SIAPA.”

“Jadi kita semua ini selalu menjadi SIAPA-SIAPA. Karena kita semua SIAPA-SIAPA, kita gak boleh sombong dan merendahkan antar SIAPA-SIAPA itu. Betul kan, Maaak?”

“Yo, Cung. Bener ucapmu kuwi. Emak, kamu dan semua manusia lainnya adalah SIAPA-SIAPA. Kini dan seterusnya.”

“Hidup, SIAPA-SIAPA!!!”

“Husss, wes mari kampanyene.”

 18022024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...