Langsung ke konten utama

Postingan Pertama Saya

PILIHAN PRESIDEN VS PILIHAN LURAH

Pagi ini niatku untuk pergi kerja seawal mungkin urung di tengah jalan. Rencana batal. Ganti rencana baru. Untung buat aku sendiri, berangkat kerja bisa siang hari.
Ini tidak akan terjadi kalau mang Udin tidak bertamu pagi ini. Ia mengejutkan kami sekeluarga. Datang dengan pucat pasih, agak berlari, lalu tiduran dekat kursi teras. Ia bilang ingin bicara serius denganku. Hah, padahal baru tadi malam kita ngerumpi ngalor ngidul. Bahkan tiap hari, dan obrolanpun selesai jika cerita genderuwo mulai diomongkan.
“Aku stres kalau dengar masyarakat menginginkan aku ikut pilihan lurah,” laporan awal mang Udin.
“Lho, saran positif, ngapain dibuat jadi stres, mang. Kalau jadi lurah kan mang Udin bisa kaya, bisa beli motor baru. Dan tiap pagi bisa ke ganjaran (jatah sawah bagi lurah)...”
“Itu sih fakta baik, dan itu sekedar dari sisi ekonomi. Tapi apakah kamu gak ngerti jika ini dibongkar dengan alat politik, budaya dan psikologis. Hemm, itu yang membuat aku depresi.”
Wow, tinggi banget ocehan mang Udin. Kayak menteri pendidikan saja kalau ngomong.
“Maksud mang Udin yang jelas dong. Jangan hanya nyerocos teori-teori asing itu!”
Mendengar omonganku yang memang nggak ngerti atau bisa diistilahkan nggak mudeng, nampak raut muka mang Udin berubah seratus delapan puluh derajat. Tadi tegang, kini celingukan mendengar seruanku.
Sambil garuk-garuk kepala sepertinya ia sudah punya penjelasan. Rasa-rasanya aku sendiri ingin mendengarkannya lebih lanjut. Maklum, hal itu memang sudah jadi keinginanku sejak lama yang ingin mendengar penjelasan yang gamblang. Karena selama ini ia hanya mengeluarkan kata-kata misterius, dan aku yang jadi pendengarnya disuruh cari maknanya sendiri.
“Iya ya....koq aku tidak pikir sampai di situ. Bisa-bisanya aku ngomong istilah moderen, padahal aku tak sudi dicalonkan jadi lurah. He he he.”
“Itulah mang kamu harus hati-hati kalau bicara. Katanya nggak sudi dicalonkan, malah secara tidak sadar mengeluarkan kemampuan ‘intelektual’nya. Apa itu bukan namanya ngundi pakai jari: iya, tidak, iya, tidak sampai jari kesepuluh.”
“Oh, jadi maksudmu aku kamu suruh ikut dorongan orang-orang, agar aku menandingi lurah Satiwo.”
“Iya betul sekali. Apa yang sampeyan sampaikan tadi sedikit banyak menandakan bahwa sampeyan itu punya bakat jadi lurah. Bahkan presiden. Gitu, kan?”
Kaget. Kepala mang Udin geleng-geleng. Omonganku mungkin benar-benar menohok.
Aku sendiri gamang dengan omonganku tadi. Sebab menurutku banyak “orang gede” kalau ngomong moderen bisa, tapi kalau berakhlak moderen, tidak bisa. Alias omongan dan kelakuan tidak pernah sama, kayak langit dan sumur. Omongannya hanyalah kemampuan intelektual  verbal, zonder intelektual hatinya.
Lebih baik orang ndeso tidak bisa pamer intelektual tapi bisa berkelakuan baik jasmani dan ruhani. Bisa ditimbang sendiri mana yang berat di antara keduanya. Kalau pilih yang hanya omong doang, itu namanya Kecele. Ini yang tidak sama dengan mang Udin.
Benar orangnya grusa grusu, jika ngomong kasar dan jika diberitahu malah melengos. Tapi dari kejujuran dan kesamaan antara mulut dan hati itulah yang menjadi nilai mahal yang sekarang ini jarang kita temui.
“Wis emboh mang, aku sudah ngasih masukan ke kamu dengan sepenuh pikiranku. Tinggal mang Udin pikir-pikir lebih serius lagi, mau ikut pilihan presiden tapi itu tidak mungkin, atau ikut pilihan lurah sedangkan masyarakat menghendaki.”
Saranku sekali lagi itu langsung menghenyakkan dada mang Udin. Ia langsung bangkit dari tidurannya. Berdiri tegak, membusungkan dada dan nampaknya mau pamitan.
“Hemmm, ternyata memang banyak yang mendukungku. Baiklah aku pamit dulu untuk mendaftarkan diri mudah-mudahan sukses jadi lurah..” omongan pisah dan ia melangkah cepat menuju balai kelurahan. Aku hanya bisa tersenyum geli. Asyiikkkk, ini akan jadi berita menggemparkan kalau benar mang Udin mencalonkan jadi lurah. Bisa kaget orang sekelurahan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...