Setelah
acara stand up comedy selesai, siaran radio itupun ditutup dengan
sebuah kalimat yang menggelitik. Dengan lemah lembut penyiar perempuan itu
berpesan kepada para pendengar radio swasta tersebut, termasuk juga aku, bahwa
“tetaplah ketawa dan jangan lupa bahagia, ya!” Lho?? Pasti bagi para pendengar
yang saat itu sadar, pesan penutup tersebut mengkitik-kitik batin kita. Kalimat
tersebut sangat luas jangkauan pengertian dan pemahamannya. Juga, motivasi dan
keakrabannya.
Pertama,
kalimat tersebut berisi dua pesan. Yang satu ketawa dan yang kedua bahagia.
Kelihatannya, si pembuat kalimat ini sadar betul. Atau boleh diistilahkan,
pembuat kalimat tersebut benar-benar dalam kondisi waras otak-hatinya dan sehat
jasmaninya. Sisi kewarasannya terlihat jika dia tidak kepingin dua kata tersebut
dipisah menjadi dua kalimat. Artinya dua sifat hati tersebut tidak kepingin
dipasangi pagar besar, kuat dan tinggi di tengahnya. Dua kata itu harus
disambungkan dengan lekat.
Coba
bayangkan, ketika seseorang mendengar, melihat dan merespon gejala komedi
melalui panca inderanya, kemudian dia ketawa terbahak-bahak, atau menyimpan
senyumnya kemudian diekspresikan dengan senyum mengulum, tapi sejatinya di
dalam hati dan batinnya sengsara? Sangat kasihan ketika kita mengetahui jika
seseorang mengalami kondisi jiwa yang seperti itu. Wajah gembira tapi hati
tersayat-sayat oleh persoalan hidup yang tidak bisa ia bendung dengan sabar dan
nerimo ing pandum. Sungguh sebuah kasus kehidupan seumpama robot.
Kedua,
tertawa bagaimanapun hanyalah peristiwa insidental belaka sebagai ekspresi
kegemberiaan atau kebahagiaan. Bahkan, untuk situasi mutakhir, ketawa sering
“meledak” lantaran ada joke-joke yang cenderung merendahkan orang lain. Ada
unsur ngenyek sampai pada taraf menghinakan. Makanya ketawa murni ekspresi insidental belaka. Ia tidaklah
abadi sampai manusia mati. Oleh karena itu dengan cerdas “si produser” kalimat
ini melengkapinya dengan bahagia. Jadinya ketawa tidak menjadi barang mati sebab
sudah dihidupkan dengan bahagia.
Dan
ketiga, adanya tambahan di kalimat kedua dengan lokus pada kata BAHAGIA,
memperjelas lagi jika tujuan acara tersebut memang membuat bahagia. Atau
mencoba membantu perangsangan sisi psikologis manusia untuk bisa bahagia. Dan
apa boleh buat, kalau seseorang berusaha membahagiakan orang lain, otomatis ia
sudah mempraktekkan kehidupan berakhlak. Dan ketika sebuah acara dipenuhi
dengan semangat akhlak membahagiakan orang lain, bisa dikatakan pula bahwa
acara itu tergolong religius dan berintikan dakwah!
***
Pesan
penutup acara tersebut dengan kata lain seperti mengingatkan kita bila bahagia
itu bukan dari eksternal diri kita. Bahagia merupakan kondisi jiwa yang ada
dalam diri sendiri. Memang terkadang ia sulit kita deteksi pada saat-saat
tertentu. Seringnya ketika kita, mohon maaf, kondisi kalut akan persoalan hidup
sehingga ketaatan kita pada “yang mempunyai kehidupan ini” menjadi terkikis.
Padahal
situasi jiwa yang bernama bahagia ini sama sekali tidak terpengaruh dengan
kondisi yang mendera, apapun jenis kondisi tersebut. Dalam bahasa yang sangat
sederhana, ketika bahagia sulit kita keluarkan dari dalam jiwa kita, boleh jadi
dia tersembunyi oleh hijab yang tingkah kita sendiri yang mengakibatkan itu
semua.
Sekarang
marak pelatihan tentang bagaimana mewujudkan, mencari sumber dan mengawetkan
kebahagiaan. Dalam penilaian sederhana hal tersebut sangat positif. Tapi perlu
kita sadari bersama, untuk mencari bahagia yang tersembunyi dalam diri sangat
bisa kita memotivasi diri kita sendiri. Hati kitalah motivasi yang sejati untuk
diri kita sendiri. Salah satu dalil yang menunjukkannya bisa kita pelajari
dalam surat al Fath ayat 4 Allah swt berfirman:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& spoYÅ3¡¡9$# Îû É>qè=è% tûüÏZÏB÷sßJø9$# .................. ÇÍÈ
Artinya:
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang
mukmin.....”
Ayat
tersebut menerangkan bahwa ketenangan atau kebahagiaan akan muncul selama
seseorang beriman. Jika dimaknai kebalikannya, bahwa ketenangan atau
kebahagiaan tidak akan muncul pada diri orang yang tidak beriman. Maka, dengan
sederhana sekali seseorang yang ada iman pada Tuhan dalam dirinya akan mudah
sekali memunculkan kebahagiaan. Walaupun dia didera cobaan hidup yang melimpah.
Jika
demikian pasti peserta motivasi bahagia kalau tidak ada iman dalam dirinya,
akan sangat mustahil bisa berhasil. Walaupun dia sudah mengikuti kegiatan
pelatihan kebahagian berpuluh-puluh kali.
***
Selanjutnya,
setelah penyiar tersebut mengingatkan kita agar tidak lupa pada kebahagiaan,
dia tidak menambahi dengan kalimat lainnya. Dia tidak menambahi, misalnya, dengan
kalimat “semoga Anda kaya”, “semoga Anda mendapat hadiah mobil” atau “kami
doakan agar rumah Anda besar dan megah”. Dia tahu jika memang ketika sudah bahagia,
apalagi yang bisa dijadikan lawan untuk bertarung dengan kebahagiaan. Harta
duniawi, bukanlah musuh sepadan dengan bahagia. Jabatan, bukan pula komparasi
yang selevel dengan kebahagiaan. Itu semua bisa kita pahami melalui sabda Nabi
Saw yang artinya “Bukanlah kaya orang yang banyak harta, tetapi kaya yang
sesungguhnya adalah kaya jiwa (ghina al nafsi).”
Benar,
dan penulispun sepakat jika pesan seorang penyiar tersebut akan tetap teringat
sampai kapanpun. Akan abadi bahkan sampai acara stand up comedy itu
tidak diudarakan lagi di radio tersebut. Wallahua’lam
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda