Langsung ke konten utama

Keberanian dan Kedermawanan Gus Dur: Catatan dari Haul Gus Dur Ke-9

Seperti biasanya, acara Haul Gus Dur Ke-9 di Tebuireng pada 16 Desember 2018, dipenuhi testimoni dari beberapa tokoh. Kebetulan yang diundang tiga orang yang pernah mengisi jabatan di kabinet era Gus Dur. Mereka antara lain Bondan Gunawan, Kwik Kian Gie dan Wahyu Muryadi. Sedangkan yang bertugas memberikan mauidhah hasanah, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, imam besar Masjid Nasional Istiqlal.

Sebelum testimoni dan mauidhah hasanah disampaikan, diawali terlebih dahulu dengan kata sambutan. Pertama, oleh Dr. KH. Sholahudin Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Sholah, selaku pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng. Dan kedua, mbak Yenni Wahid, mewakili keluarga Gus Dur.

Dalam tulisan ini saya akan memfokuskan pada isi sambutan yang disampaikan Gus Sholah. Menurut saya, tapi ini subyektif, sambutan yang disampaikan Gus Sholah punya substansi pendidikan yang sangat penting, sehingga bermanfaat besar bagi siapapun yang menjadi guru atau orang tua. Lebih tepatnya pendidikan keteladanan.

Gus Sholah menjelaskan ada dua perilaku Gus Dur yang sudah diketahui banyak orang yaitu keberanian dan kedermawanan. Dua perilaku tersebut bahkan menjadi identitas yang tidak bisa dipisahkan dari sosok yang menurut saya sulit dicari kembarannya itu. Jadi, Gus Dur dengan keberanian dan kedermawanan, merupakan kombinasi yang tidak bisa dicerai-beraikan. Bukanlah Gus Dur jika ia penakut dan super pelit.

Pertama, keberanian (syaja'ah). Menurut Gus Sholah, yang merupakan adik kandung Gus Dur, Gus Dur itu memang manusia pemberani. Gus Dur berani menentang arus, mengkritik, melawan, membela orang-orang tertindas dan setumpuk keberanian lainnya.

Di saat Soeharto masih menjadi presiden, tentu siapa saja paham, hampir tidak ada orang yang berani melawan segala kebijakannya. Tapi bagi Gus Dur saat itu, mengkritik (baca: melawan) Soeharto bukanlah tindakan yang menakutkan, buktinya hal itu sudah sering ia lakukan. Ia mengkritik berdasarkan nuraninya yang tidak sepakat dengan kebijakan rezim. Tanpa pernah takut dianggap subversif oleh rezim.

Yang juga terkenal sebagai keberanian Gus Dur, ketika ia membela Arswendo Atmowiloto pasca ulasan kontroversinya di Tabloid Monitor (silakan googling). Padahal saat itu banyak orang yang menyudutkan dan memprotes apa yang sudah dilakukan Arswendo itu, yang pada akhirnya membuatnya dipenjara. Gus Dur punya pandangan berbeda, sehingga ia berani melawan arus dengan membela Arswendo.

Perihal keberanian Gus Dur inilah, Gus Sholah bahkan mengungkapkan kalimat yang menurut saya sangat filosofis, bahwa yang dinamakan keberanian seseorang itu pasti berwujud nyata berupa pengalaman dan tindakan. Keberanian tidak berhenti di alam pikiran. Keberanian itu harus direalisasikan, diaplikasikan dan diimplementasikan. Seperti halnya yang Gus Dur lakukan selama hidupnya.

Karena itulah, lagi-lagi menurut Gus Sholah, keberanian yang ada pada seseorang, menjadi nilai keunggulan dirinya itu. Orang yang punya sikap berani, pasti lebih unggul dibanding orang yang pasif, tidak mau melawan ketidakadilan dan apalagi menyerah. Karena keberanian yang penuh resiko itulah, Gus Dur berbeda dengan orang lain. Dalam istilah Bondan Gunawan, Gus Dur itu beda dengan gus-gus dan kiai-kiai lainnya, dilihat dari sikap beraninya yang luar biasa itu.

Sikap berani Gus Dur itu bukan terjadi tanpa latar belakang. Gus Sholah mengeklaim – yang sangat saya setujui – bahwa keberanian Gus Dur itu terjadi sebab adanya hubungan darah dengan orang-orang yang punyai sikap pemberani pula. Yang dimaksud Gus Sholah tentu saja ayah dan kakek Gus Dur: KH. Wachid Hasyim dan Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.

Sudah jamak diketahui, seperti di banyak penjelasan-penjelasan sejarah, bagaimana dua bapak dan anak tersebut berkiprah untuk bangsa. Beliau berdua adalah tokoh-tokoh yang berani melawan penjajah dan berani mempertahankan prinsio. Bahkan, beliau berdua adalah salah satu tokoh sentral bagi perjuangan Republik saat itu.

Salah satu sikap pemberani tersebut digambarkan di film Sang Kyai, dimana Mbah Hasyim dengan tegas berani menolak paksaan tentara Nipon untuk menyembah dewa matahari (saikere). Disiksa dengan kejam di dalam penjara, beliau tetap kukuh mempertahankan keyakinan personal itu.

Darah keberanian dari dua orang founding fathers itulah yang akhirnya mengalir kepada Gus Dur. Memang diperlukan penelitian ilmiah yang lebih rinci tentang klaim Gus Sholah tersebut. Tetapi paling tidak, sejarah tiga orang besar dari Tebuireng itu memang disamakan dalam satu titik temu: keberanian. Dan itu menurut saya, sebuah klaim yang tidak bisa dibantah. Orang jawa bilang “trah” keberanian Gus Dur memanglah dari ayah dan kakeknya itu.

Dan kedua, kedermawanan (sakha’). Ini juga identitas yang melekat erat pada diri Gus Dur. Beliau memang dikenal sangat dermawan, suka berbagi kepada siapapun yang membutuhkan. Bahkan terkesan tidak pernah mementingkan dirinya sendiri.

Sudah banyak kisah kedermawanan ini disampaikan, silakan klik google. Salah satu misalnya, pernah ada seorang ponakan Gus Dur yang butuh bayar biaya kuliah. Iapun menemui Gus Dur. Karena saat itu Gus Dur tidak memegang uang dan kebetulan saat itu ia akan mengisi seminar, Gus Dur pun menyuruh ponakannya itu menunggunya. Setelah selesai mengisi seminar, honor mengisi seminar itupun diberikan semuanya ke ponakannya itu.

Wahyu Muryadi sendiri di acara haul kemarin juga memberikan testimoni tentang kedermawanan Gus Dur. Saat menjadi salah satu jubir presiden saat itu, kebetulan Tempo, perusahaan media tempat ia mengabdi sedang kolaps dan butuh dana segar. Maka ia pun atas dorongan Gus Sholah, meminta bantuan ke Gus Dur. Seperti bisa diduga Gus Durpun memberikan bantuan tersebut sebesar delapan ratus juta rupiah.

Kedermawan itu, sekali lagi menurut Gus Sholah, bukan muncul begitu saja dalam diri Gus Dur. Ia ada, mengalir menjadi habit, sebab adanya latar belakang yang sangat kuat yang mempengaruhinya. Yang dimaksudkan Gus Sholah adalah pengaruh orang tua mereka.

Gus Sholah bercerita, orang tuanya itu mempunyai beberapa bidang tanah, baik di Jombang sendiri, maupun di Jakarta. Saat Gus Dur dan kelima saudaranya sudah dewasa, Nyai Hj. Sholehah, sebagai ibu dan single parent semenjak meninggalnya KH. Wachid Hasyim, berniat mewakafkan beberapa bidang tanahnya itu. Beliau pun mengumpulkan keenam anaknya untuk diberikan informasi jika salah satu tanah yang ada di Jakarta akan diwakafkan kepada sebuah lembaga pendidikan. Jadi mereka diminta keikhlasannya.

Bahkan sepengetahuan Gus Sholah, seluruh tanah yang jumlahnya sekitar 6 bidang, pada akhirnya semuanya diwakafkan untuk kepentingan umat. Salah satunya yang sekarang menjadi tempat berdirinya Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an di Diwek, Jombang.

Kedermawanan orang tua itulah sebuah teladan yang merasuk pada diri bagi Gus Dur. Sehingga tidaklah heran kebiasaan yang sangat baik itu ditiru atau diduplikasi Gus Dur. Gus Dur suka mensedekahkan uang honornya, sebagai penulis dan narasumber seminar, kepada orang lain, adalah kristalisasi dari pengalaman orang tuanya. Dan nampaknya, inilah wujud pendidikan yang luar biasa diberikan orang tua kepada anaknya. Menjadi energi yang merasuk kepada pribadi Gus Dur, sehingga dikenal orang, bahwa Gus Dur itu orang yang sangat dermawan.

Saya kira tulisan ini saya akhiri saja sampai di sini. Jika ditambah lagi pasti akan sangat panjang, sebab teladan Gus Dur memanglah banyak. Mereview sambutan Gus Sholah saja, bisa sampai sepanjang ini. Lalu bagaimana jika ditambah testimoni teman karib Gus Dur yang jumlahnya banyak itu, saya tidak bisa membayangkan akan sepanjang apa tulisan ini.

Baiklah, catatan ini akan saya tutup dengan kalimat arif dari Mahatma Gandhi yang saya ambil dari buku Kearifan Semesta: Inspirasi untuk Kesuksesan dan Kebahagiaan halaman 240, yang ditulis Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. Mahatma Gandhi berkata, ”Orang akan sangat dihormati bila ia melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya.” Gus Dur sudah, kita kapan? Wallahu a’lam

Mojokerto menjelang pukul 23.00 WIB, 19 Desember 2018
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekspresi Agama dan Budaya: Duet KH. Imam Hambali dan Abah Topan

Lega dan bersyukur. Itulah dua perasaan yang mengumpul di benak saya. Pasca usainya pergelaran pengajian umum di kampung saya pada tanggal 26 Oktober yang lalu. Sebuah kegiatan keagamaan yang berskala besar yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Tahun ini memang agak spesial. Tidak seperti biasanya panitia kampung mendatangkan seorang penceramah, di perhelatan tahun ini yang didatangkan duet antara penceramah dan pelawak; KH. Imam Hambali dan Abah Topan. Bisa dibayangkan bagaimana riuh dan ramainya para warga yang menghadiri pengajian tersebut. Dan seperti sudah diduga sebelumnya, para warga yang hadirpun membeludak. Jumlahnya berkisar seribu orang lebih. Mereka tidak saja warga lokal, tetapi banyak pula yang berasal dari tetangga desa. Mereka nampak khusyuk menyimak ceramah agama yang disampaikan KH. Imam Hambali, dan lawakan mengocok perut dari tingkah pola dan guyonan Abah Topan. Jumlah penyimak pengajian yang membeludak tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pasti ada penyeb...

Masjid itu Pusat Madrasah Bagi Anak-anak Kita

Kemarin hari Jum’at. Tak terasa. Baru seminggu yang lalu menemui hari Jum’at, eh kemarin dia sudah muncul lagi. Tapi memang dasar, hari Jum’at itu siklus mingguan yang bisa kita lalaikan untuk sementara. Namun mendadak sanggup memaksa kita untuk mengingatnya kembali. Di pesantren-pesantren biasanya diadakan kerja bakti secara bersama-sama (ro’an). Warga desa juga sama, terbiasa jum’at bersih. Di kantor-kantor, hari Jum’at itu hari menyehatkan. Para penghuni kantor biasa bersenam pagi. Keluar keringat itu sehat. Aku lihat kemarin, ada juga yang punya ritual seperti itu, di tempat lain yang berbeda, di bangunan-bangunan nan besar bernama masjid. Mereka itu para lelaki setengah baya. Jumlahnya, ya, lima orang lah. Mereka ada yang berdiri. Ada yang ngelempoh. Mereka mengepel lantai. Menguras kamar mandi dan membersihkan tempat wudlu. Mereka mengecek microfon dan sound system, mempersiapkan pelaksanaan acara besar. Oh ya, kemarin kan hari Jum’at. Hari di mana ketika matahari mulai ...

MENGATASI LEMAH INGATAN

Lemah ingatan terjadi bukan tanpa kemauan dari dirinya sendiri. Seseorang yang ingat banyak hal menegaskan dengan sendirinya mampu menguasai dirinya. Sebaliknya, orang yang sering lupa seperti mengumumkan jika dirinya telah kalah. Kemenangan pikiran lebih bermakna bahwa selama yang terjadi sudah dimasukkan ke dalam memori otak. Kemudian memori itu dipelihara dengan baik, diselimuti pagar, yang tidak banyk lubang menganga di atasnya. Semua telah tertututi dengan rapi. Jangan heran, banyak dari orang yang masih mengingat banyak hal, akan gampang menyembunyikan rahasia orang lain. Lebih-lebih rahasia aib orang lain. Ada komitmen moral yang ia pegang teguh, sekalipun tidak ia sampaikan. Jadi, orang yang selalu ingat adalah orang yang mampu menyembunyikan aib sesamanya....