Langsung ke konten utama

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak.

Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan.

Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti.

Di acara yang selalu menghadirkan sosok-sosok yang unik dan luarbiasa tersebut, kemarin, mbak Retnaningtyas Susanti memang mendapat porsi terbanyak menceritakan kisahnya dan kisah pengorbanan orang tuanya. Dari yang ia tuturkan, memang semenjak ia dan saudaranya masih kecil, bapak dan ibunya itu selalu menanamkan cita-cita, agar mereka bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Dan kenyataannya, mereka berempat memang mampu mengenyam pendidikan sampai jenjang kuliah.

Keberhasilan dia mampu lulus S3 (doktoral) Kajian Pariwisata di Universitas Gajah Mada baru-baru ini, bukanlah dilalui dengan gampang. Tidak saja orangtuanya yang susah, mbak Retna sendiri juga ikut berkorban banyak hal. Salah satunya, sedari kuliah S1 ia sudah berjualan kecil-kecilan untuk membantu biaya kuliahnya. Ia tidak malu, sekalipun yang dijualnya saat itu hanya buah salak.

Profesi satpam, tentu bukan profesi yang mampu meraup gaji berlimpah. Melalui cerita pak Teguh sendiri, gaji bulanan yang dia terima hanya tiga juta sekian-sekian rupiah. Ibu Sri sendiri, dari usaha warungnya hanya memperoleh keuntungan lima ratus ribu rupiah setiap bulannya. Konon, menurut cerita ibu Sri, warung itu kini sudah ditutup, karena kondisi yang yang tidak bisa ditolak: habis modal.

Profesi Teguh, bapaknya, sebagai satpam, dan juga Sri ibunya, sebagai pedagang warung sederhana, benar-benar membuat keduanya sering kalangkabut. Ketika keempat anak butuh bayar kuliah, membuat keduanya menjadi pontang panting. Banyak perabot rumahtangga yang terjual, sampai tidak terhitung. Tidak terhitung juga jumlah hutangnya, karena sudah menumpuk-numpuk. Akibatnya membuat gaji sebagai satpam berkurang drastis, karena sebagian besar dipakai bayar hutang. Akibat lainnya, untuk urusan makan setiap hari, keluarga sederhana itu benar-benar praktik tirakat, hanya makan nasi dengan lauk sederhana: tempe, tahu, sambal dan krupuk.

Pembaca yang budiman

Kisah di atas, hanyalah secuil dari kisah-kisah lainnya tentang pengorbanan orangtua demi pendidikan (ilmu) anaknya. Tentu saja, ada banyak kisah dari orangtua kita sendiri yang bisa kita gali. Mereka, bapak dan ibu kita, menjadi salah satu subyek utama pendidikan atau ilmu yang kita dapatkan.

Mereka, senantiasa bertirakat dalam bentuk pengorbanan diri. Mereka, sering tidak bermewah-mewah, demi kemuliaan sekolah kita. Mereka, sering berdoa demi kesuksesan kita. Mereka sering menangis di malam hari, memikirkan masadepan kita, melalui doa-doa yang dihamparkan dihadapan Allah.

Pertanyaannya, mengapa banyak realita memampangkan penghasilan orangtua yang pas-pasan tetapi mampu menanggung biaya pendidikan atau “thalabul ilmi” bagi anak-anaknya?

Pembaca yang budiman

Ilmu atau pendidikan itu mulia. Bahkan ialah bukti nyata betapa tingginya derajat manusia (ahsanu taqwim) dibanding makhluk lainnya. Bahkan pula, ilmu atau pendidikan itu sebagai sebuah tugas manusia agar senantiasa memburu dan meraihnya, sejak di kandungan ibu sampai ke liang lahatnya.

Pepatah Arab menyatakan, al-‘ilmu syarafun la qadra lahu, wa al-adabu malun la khaufa ‘alaihi, yang artinya: ilmu adalah kemuliaan yang tidak ada ukurannya, dan adab adalah harta yang tidak ada ketakutan di dalamnya. Karena ilmu atau pendidikan itu mulia, maka tak heran Allah pun akan menolong siapapun yang mengusahakan perburuan dan pencarian ilmu tersebut. Dan pasti pertolongan Allah tidak akan bisa dihitung secara matematis atau hukum probabilitas. Jadi, sebagai orangtua, jangan takut menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya, karena pertolongan Allah menanti kita.

Oleh karenanya, sebagai anak yang tidak bisa sukses -- di bidang pendidikan (ilmu) -- kalau tidak ada peran pengorbanan orang tua, selayaknya kita tidak layak melupakan jasa superbesar itu. Memang jasa itu tidak akan bisa kita ganti dengan apapun juga. Tapi respek dan niat kita untuk membahagiakan keduanya, sekiranya bisa dianggap sebagai ikhtiar membayar itu semua, sekalipun sedikit. Atau jadilah kita sebagai orang yang bisa membanggakan keduanya. Sebagaimana pesan pak Teguh kepada mbak Retna, sambil merangkul putri yang sudah menjadi dosen di Universitas Andalas itu, ia mengatakan:

“Besuk kalau jadi anak sukses, jangan lupa sama agama dan jangan lupa pula sama masyarakat kecil. Senantiasa lindungilah mereka.”

Wallahua’lam bis Shawab

03052018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...