Khatib saat shalat Idul Fitri di masjid kampungku beberapa hari yang lalu, sungguh tepat memberikan saran dalam penyampaian khutbahnya. Salah satunya mengenai siapa saja yang tepat disambangi dan diminta kemaafannya saat lebaran tiba. Jika diurutkan, maka orangtua menduduki peringkat pertama. Setelah itu pasangan hidup dan anak serumah. Kemudian ke tetangga dekat yang selama ini bergumul-interaksi dengan kita. Selanjutnya baru kepada kerabat dan sejawat yang rumahnya jauh.
Jadi itulah yang seyogyanya kita sambangi dan di-halal bihalali, sebagai penyempurna ibadah selama bulan Ramadhan. Supaya, tidak saja secara vertikal hubungan dengan Yang Maha Kuasa baik, tapi secara horizontal, kepada sesama, juga baik pula. Diharapkan ketika lebaran tiba, kita benar-benar kembali ke fitrah kita yang sesungguhnya, yang suci dan bersih dari dosa.
Pada kenyataannya saya, keluarga dan orang lain, benar-benar melaksanakan saran baik dari khatib tersebut. Sekalipun sebenarnya memang itulah tradisi yang selama ini terpatri di masyarakat kita. Menyambangi rumah kerabat, tetangga dan sejawat untuk sekadar bersalaman dan saling meminta maaf, sudah terjadi sejak zaman lawas. Tetapi jujur harus diakui, saran itu penting untuk selalu disampaikan, agar masyarakat tidak sampai lalai dengan tradisi mulia tersebut.
Hal lainnya dari sambang menyambangi itu, kalau kita mau berpikir jernih, memang manfaatnya sangat banyak. Satu yang saya catat dan benar-benar saya alami, adalah manfaat bisa belajar dari orang lain. Tentu saja belajar banyak hal tentang semua seluk beluk kehidupan, baik lingkup rumah tangga sebagai komunitas terkecil, maupun regional, bahkan nasional.
Salah satu yang masih saya ingat, ketika saya dan istri berkunjung ke rumah salah seorang kerabat jauh. Sebutlah namanya Bude Zainab. Perempuan usianya berkisar lima puluh tahunan ini termasuk sosok pekerjakeras. Tidak saja dalam hal mencari penghasilan, mulai dari bekerjanya di pabrik farmasi, beternak bebek dan ayam petelur di rumah, tapi juga bagaimana kerjakerasnya meramut emaknya yang sudah sangat sepuh.
Bude Zainab ini memang punya seorang emak yang umurnya sudah udzur, menjelang seabad, yang kebetulan hidup sendiri di rumah tua tinggalan mendiang suaminya. Untungnya rumah Bude Zainab dan rumah emaknya tersebut berada di dalam satu kampung yang sama. Jadi meramut emak sepuhnya itu bisa maksimal, karena dekatnya jarak.
Contohnya saat bulan puasa kemarin, Bude Zainab punya rutinitas yang saya yakin bagi kita sungguh sangat membosankan dan melelahkan. Bayangkan, menurut cerita yang disampaikannya, ketika sore sampai malam menjelang sahur, ia mendampingi dan tidur di samping emaknya. Untuk makan sahur, ia makan nasi yang dikirimkan dua anaknya dari rumah. Setelah makan sahur, ia pun pulang, dan posisi mendampingi emaknya digantikan dua anaknya itu.
Begitu terjadi tiap hari selama Ramadhan. Hebatnya, ketika pulang ke rumah, dia langsung jebur ke kandang bebek dan ayam petelurnya untuk memberi makan dan minum. Sebelumnya ia meramut ibunya, setelah sahur berganti meramut ternak-ternaknya, sendirian, tanpa dibantu suaminya yang memang terkendala kesehatan. Hebatnya lagi, setelah selesai “bercumbu” dengan ternak-ternaknya, setelah shubuh, ia pun bersiap-siap berangkat kerja ke sebuah pabrik farmasi yang lama menaunginya.
Ketika saya menanyakan ke Bude Zainab, kok si emak tidak diajak saja tinggal di rumahnya? Dengan nada lemah lembut dan menyimpan sikap sabar yang besar, ia mengatakan tidak bisa memaksa emaknya itu. Karena emak sepuhnya sejak dulu bersumpah tidak akan meninggalkan rumah hasil kerja keras mendiang suaminya, bapaknya Bude Zainab. Itulah pusaka satu-satunya tinggalan bapaknya dan harus tetap dihuni sampai mati oleh emaknya.
Alasan itulah yang membuat Bude Zainab tidak bisa mengelak. Ia sami’na wa atha’na dengan keputusan emaknya. Maka biarkan fisik dirinya yang kelelahan, asalkan emaknya bisa tenang dan bahagia di sisa umurnya yang entah sampai kapan. Karena baginya inilah saat yang tepat membalas jasa besar si emak yang melahirkan, merawat dan memberi belaian kasih sayang kepadanya semenjak kecil.
Oleh karena itu, demi membalas jasa yang tidak bisa dikalkulasi, ia tidak mau menyewa pembantu rumahtangga. Padahal secara ekonomi sangat bisa ia menggaji pembantu rumahtangga yang bertugas merawat emaknya itu. Apalagi sekarang kan sedang populer, untuk merawat orangtua yang sakit-sakitan, banyak orang yang menyewa jasa orang lain. Sehingga ia sendiri bisa seenak mungkin melakukan segudang aktifitas, bekerja dan bergumul dengan komunitasnya, seharian penuh.
Saya bertanya lagi, kok bisa dan kuat merawat pula ternak-ternak yang sebetulnya penghasil kotoran itu? Ia menjawab santai, karena memang ia tidak suka hanya diam ndoprok di rumah. Ia harus beraktifitas rutin, dan yang dipilihnya beternak bebek dan ayam petelur yang sudah beberapa tahun ini menghasilkan income yang aslinya tidak seberapa. Jadi hal itu demi kecintaan pada pekerjaan belaka.
Ditambah aktifitas sebagai karyawan senior di pabrik farmasi, maka laku Bude Zainab, yang banyak dan melelahkan, tapi dilakukan dengan sikap penuh cinta itu, bagi saya sangatlah menarik. Menurut saya itulah contoh riil kehidupan yang normatif. Yaitu, berusaha sukses di dunia dengan bekerjakeras tanpa kenal lelah, dan sekaligus sukses di akhirat dengan cara, salah satunya, berbakti kepada orang tua. Sama persis dengan sebuah nasihat Nabi, I’mal lidunyaka kaannaka ta’isun abadan, wa’mal liakhiratika kaannaka tamutu ghadan.
Sangat jarang lho orang yang bisa seimbang seperti itu. Apalagi yang aktifitasnya bertumpuk-tumpuk dan dia juga terbebani merawat orangtuanya yang benar-benar sudah sepuh. Sebab kebanyakan, maaf ini subyektif menurut saya, orang yang sudah bertumpuk pekerjaannya dan banyak penghasilannya, akan jengah jika dibebani pula merawat orangtuanya.
Banyak lho yang mengartikan balas jasa kepada orangtua diwujudkan sekadar menyuplai keuangan untuk orangtuanya. Sedang bagaimana persoalan interaksi berkasih sayang, perhatian dan perawatan langsung, banyak orang yang menyepelekan. Bagi mereka, pokoknya setiap bulan orangtuanya memperoleh kiriman uang darinya. Untuk persoalan perawatan diri, dimana fisik renta orangtua sangat riskan terserang sakit, menjadi beban orangtuanya sendiri.
Padahal, ketika dulu orangtua merawat mereka, orangtua tersebut sama sekali tidak membatasi diri. Seratus persen tenaga, fikiran dan ekonomi orangtua, akan disalurkan untuk kebutuhan anak-anaknya. Terkadang mereka merasa kesal, lelah dan putus asa, tetapi karena lebih besar kesabarannya, rasa yang berkecamuk itupun diabaikannya.
Di sinilah saya memandang bahwa hasil menyambangi Bude Zainab dengan kisahnya yang menginspirasi itu, sebagai pula satu manfaat lain dari lebaran. Kita berkunjung, mengobrol dan menyelami kesejatian hidup orang yang kita sambangi. Dan apa yang kita peroleh? Semua kunjungan lebaran itu benar-benar menjadi pembelajaran buat kita. Semuanya, tak satupun yang meninggalkan kesan kosong, karena bagi kita, orang lain itulah cermin melihat sejatinya diri kita. Wallahu a’lam bis shawab
22062018
Jadi itulah yang seyogyanya kita sambangi dan di-halal bihalali, sebagai penyempurna ibadah selama bulan Ramadhan. Supaya, tidak saja secara vertikal hubungan dengan Yang Maha Kuasa baik, tapi secara horizontal, kepada sesama, juga baik pula. Diharapkan ketika lebaran tiba, kita benar-benar kembali ke fitrah kita yang sesungguhnya, yang suci dan bersih dari dosa.
Pada kenyataannya saya, keluarga dan orang lain, benar-benar melaksanakan saran baik dari khatib tersebut. Sekalipun sebenarnya memang itulah tradisi yang selama ini terpatri di masyarakat kita. Menyambangi rumah kerabat, tetangga dan sejawat untuk sekadar bersalaman dan saling meminta maaf, sudah terjadi sejak zaman lawas. Tetapi jujur harus diakui, saran itu penting untuk selalu disampaikan, agar masyarakat tidak sampai lalai dengan tradisi mulia tersebut.
Hal lainnya dari sambang menyambangi itu, kalau kita mau berpikir jernih, memang manfaatnya sangat banyak. Satu yang saya catat dan benar-benar saya alami, adalah manfaat bisa belajar dari orang lain. Tentu saja belajar banyak hal tentang semua seluk beluk kehidupan, baik lingkup rumah tangga sebagai komunitas terkecil, maupun regional, bahkan nasional.
Salah satu yang masih saya ingat, ketika saya dan istri berkunjung ke rumah salah seorang kerabat jauh. Sebutlah namanya Bude Zainab. Perempuan usianya berkisar lima puluh tahunan ini termasuk sosok pekerjakeras. Tidak saja dalam hal mencari penghasilan, mulai dari bekerjanya di pabrik farmasi, beternak bebek dan ayam petelur di rumah, tapi juga bagaimana kerjakerasnya meramut emaknya yang sudah sangat sepuh.
Bude Zainab ini memang punya seorang emak yang umurnya sudah udzur, menjelang seabad, yang kebetulan hidup sendiri di rumah tua tinggalan mendiang suaminya. Untungnya rumah Bude Zainab dan rumah emaknya tersebut berada di dalam satu kampung yang sama. Jadi meramut emak sepuhnya itu bisa maksimal, karena dekatnya jarak.
Contohnya saat bulan puasa kemarin, Bude Zainab punya rutinitas yang saya yakin bagi kita sungguh sangat membosankan dan melelahkan. Bayangkan, menurut cerita yang disampaikannya, ketika sore sampai malam menjelang sahur, ia mendampingi dan tidur di samping emaknya. Untuk makan sahur, ia makan nasi yang dikirimkan dua anaknya dari rumah. Setelah makan sahur, ia pun pulang, dan posisi mendampingi emaknya digantikan dua anaknya itu.
Begitu terjadi tiap hari selama Ramadhan. Hebatnya, ketika pulang ke rumah, dia langsung jebur ke kandang bebek dan ayam petelurnya untuk memberi makan dan minum. Sebelumnya ia meramut ibunya, setelah sahur berganti meramut ternak-ternaknya, sendirian, tanpa dibantu suaminya yang memang terkendala kesehatan. Hebatnya lagi, setelah selesai “bercumbu” dengan ternak-ternaknya, setelah shubuh, ia pun bersiap-siap berangkat kerja ke sebuah pabrik farmasi yang lama menaunginya.
Ketika saya menanyakan ke Bude Zainab, kok si emak tidak diajak saja tinggal di rumahnya? Dengan nada lemah lembut dan menyimpan sikap sabar yang besar, ia mengatakan tidak bisa memaksa emaknya itu. Karena emak sepuhnya sejak dulu bersumpah tidak akan meninggalkan rumah hasil kerja keras mendiang suaminya, bapaknya Bude Zainab. Itulah pusaka satu-satunya tinggalan bapaknya dan harus tetap dihuni sampai mati oleh emaknya.
Alasan itulah yang membuat Bude Zainab tidak bisa mengelak. Ia sami’na wa atha’na dengan keputusan emaknya. Maka biarkan fisik dirinya yang kelelahan, asalkan emaknya bisa tenang dan bahagia di sisa umurnya yang entah sampai kapan. Karena baginya inilah saat yang tepat membalas jasa besar si emak yang melahirkan, merawat dan memberi belaian kasih sayang kepadanya semenjak kecil.
Oleh karena itu, demi membalas jasa yang tidak bisa dikalkulasi, ia tidak mau menyewa pembantu rumahtangga. Padahal secara ekonomi sangat bisa ia menggaji pembantu rumahtangga yang bertugas merawat emaknya itu. Apalagi sekarang kan sedang populer, untuk merawat orangtua yang sakit-sakitan, banyak orang yang menyewa jasa orang lain. Sehingga ia sendiri bisa seenak mungkin melakukan segudang aktifitas, bekerja dan bergumul dengan komunitasnya, seharian penuh.
Saya bertanya lagi, kok bisa dan kuat merawat pula ternak-ternak yang sebetulnya penghasil kotoran itu? Ia menjawab santai, karena memang ia tidak suka hanya diam ndoprok di rumah. Ia harus beraktifitas rutin, dan yang dipilihnya beternak bebek dan ayam petelur yang sudah beberapa tahun ini menghasilkan income yang aslinya tidak seberapa. Jadi hal itu demi kecintaan pada pekerjaan belaka.
Ditambah aktifitas sebagai karyawan senior di pabrik farmasi, maka laku Bude Zainab, yang banyak dan melelahkan, tapi dilakukan dengan sikap penuh cinta itu, bagi saya sangatlah menarik. Menurut saya itulah contoh riil kehidupan yang normatif. Yaitu, berusaha sukses di dunia dengan bekerjakeras tanpa kenal lelah, dan sekaligus sukses di akhirat dengan cara, salah satunya, berbakti kepada orang tua. Sama persis dengan sebuah nasihat Nabi, I’mal lidunyaka kaannaka ta’isun abadan, wa’mal liakhiratika kaannaka tamutu ghadan.
Sangat jarang lho orang yang bisa seimbang seperti itu. Apalagi yang aktifitasnya bertumpuk-tumpuk dan dia juga terbebani merawat orangtuanya yang benar-benar sudah sepuh. Sebab kebanyakan, maaf ini subyektif menurut saya, orang yang sudah bertumpuk pekerjaannya dan banyak penghasilannya, akan jengah jika dibebani pula merawat orangtuanya.
Banyak lho yang mengartikan balas jasa kepada orangtua diwujudkan sekadar menyuplai keuangan untuk orangtuanya. Sedang bagaimana persoalan interaksi berkasih sayang, perhatian dan perawatan langsung, banyak orang yang menyepelekan. Bagi mereka, pokoknya setiap bulan orangtuanya memperoleh kiriman uang darinya. Untuk persoalan perawatan diri, dimana fisik renta orangtua sangat riskan terserang sakit, menjadi beban orangtuanya sendiri.
Padahal, ketika dulu orangtua merawat mereka, orangtua tersebut sama sekali tidak membatasi diri. Seratus persen tenaga, fikiran dan ekonomi orangtua, akan disalurkan untuk kebutuhan anak-anaknya. Terkadang mereka merasa kesal, lelah dan putus asa, tetapi karena lebih besar kesabarannya, rasa yang berkecamuk itupun diabaikannya.
Di sinilah saya memandang bahwa hasil menyambangi Bude Zainab dengan kisahnya yang menginspirasi itu, sebagai pula satu manfaat lain dari lebaran. Kita berkunjung, mengobrol dan menyelami kesejatian hidup orang yang kita sambangi. Dan apa yang kita peroleh? Semua kunjungan lebaran itu benar-benar menjadi pembelajaran buat kita. Semuanya, tak satupun yang meninggalkan kesan kosong, karena bagi kita, orang lain itulah cermin melihat sejatinya diri kita. Wallahu a’lam bis shawab
22062018
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda