Tadi malam tak sengaja saya membuka rekaman siaran langsung pengajian Aa’ Gym (KH. Abdullah Gymnastiar), di sebuah akun facebook, yang sayang sekali saya lupa namanya. Kalau tidak salah lihat bernama MQ. Apakah itu akronim Manajemen Qolbu, nama lembaga milik Aa’ Gym? Sekali lagi saya lupa, sebab ketika saya menyimak pengajian tersebut, mata saya benar-benar mengantuk.
Di dalam pengajiannya si Aa’ banyak menyampaikan materi yang semuanya bermuara pada al-akhlak al-karimah. Dan di antara ulasan tentang penjagaan pada al-akhlak al-karimah itu, Aa’ membongkar satu kebiasaan buruk kita. Ialah terlalu seringnya kita menyangka tentang banyaknya dosa orang lain. Lacut, sangkaan itupun menjadikan kita lupa pada penghitungan dosa kita sendiri.
Dengan gaya bahasa yang akrab khas Aa’ Gym, beliaupun sempat menanyai satu persatu yang hadir di majelis pengajiannya itu. Kepada jamaah pria yang sudah beristri, beliau menanyakan seringkah mereka menyangka tentang berapa banyak dosa yang dilakukan istrinya. Begitu pula saat menanyakan kepada para ibu, apakah sering pula menghitung dosa suaminya.
Lantas beliau memberikan penandasan, lebih baik para suami dan istri tidak usah seperti itu. Sebab tak akan ada faedahnya sama sekali. Ingatlah, di kala semua manusia dikumpulkan dan dihitung amalnya di alam sana, yang akan mempertanggungjawabkan baik dan buruknya amal adalah diri sendiri. Bukan tetangga kita, teman kita, atasan kita atau bahkan presiden kita.
Apalagi di saat perhitungan amal itu pasti akan banyak fakta yang terkuak. Salah satunya bisa jadi kita selama ini menyangka si A banyak dosanya, tetapi ketika dilakukan perhitungan Tuhan, ternyata amal baiknya luar biasa banyak. Sedang kita sendiri, yang menyangka penuh kesempurnaan, tiba-tiba kaget. Sebab catatan di buku raport kita yang terbanyak malah jumlah keburukannya. Itulah yang disebut kecele tingkat dewa.
Lantas apakah kita memang seperti itu, sering menyangka dan menghitung “dapur, kasur dan sumur” orang lain?
Semuanya kembali kepada pengakuan kita sendiri. Mengakui jika kita memang suka dan hobby mengkalkulasi amal dan dosa orang lain. Ironisnya, jarang menghitung keburukan sendiri. Ironis tambahan, yang kita hitung hanya nilai kebaikan kita sendiri saja.
Bolehlah pertanyaan itu dipendam saja. Bahkan dikubur sekalian di tengah hutan. Karena memang pertanyaan yang model seperti itu sulit menjawabnya. Siapa sih orang yang mau mengakui kesalahan perilakunya sendiri? Siapa? Ada tidak? Hayo, jawab!!
Lho, kok sepi. Pada tidur ya.
Baiklah, saya harus jujur, tidak mengakui kesalahan sendiri dan sering menyangka buruk orang lain, sebenarnya sering juga saya lakukan. Tapi itu dulu. Sekarang, saya mulai belajar agar tidak seperti itu lagi. Apa ya, kok saya ini pantas dikatakan sombong dan culas, jika perhitungan di otak itu orang lain, orang lain dan orang lain terus menerus. Sementara prestasi buruk oleh diri sendiri, yang banyak tapi dirahasiakan Tuhan dari mata wadag orang lain, tidak mau saya akui.
Begini ceritanya.
Dulu, saya pernah tidak menyenangi seorang mantan pejabat yang saya kenal. Ketidaksenangan tersebut berdasar segala perilaku si pejabat tersebut yang menurut saya, banyak jeleknya. Dia sombong, karena kalau berbicara sering ndakik-ndakik. Dia kurang ajar, karena di berbagai forum selalu ingin di depan dan sepertinya sering menyingkirkan orang lain. Dia munafik, karena dari apa yang banyak diucapkan, ternyata banyak tidak dipraktikkannya. Itu menurut persangkaan saya.
Persangkaan itupun kemudian bercokol begitu lama di pikiran saya. Sampai pada taraf membatu. Pokoknya apapun tentang si mantan pejabat itu, bagi saya dia adalah buruk. Persetan dengan giatnya dia beribadah. Toh ibadah itu kan apa yang terlihat, bukan apa yang tidak terlihat. Begitu persangkaan saya, yang terjadi terus menerus. Pokoknya kepada si dia, saya sudah memvonis dengan keputusan inkrah (final) bahwa dia manusia brengsek.
Sampai pada suatu hari saya mendapat cerita dari teman saya. Sebetulnya yang paling utama diceritakan bukanlah tentang dia si manusia brengsek itu. Tetapi tanpa saya duga, tiba-tiba teman saya ini nyeletuk menceritakan rutinitas si dia sehari-harinya. Dan itu pasti tempelengan Tuhan kepada saya. Apa itu?
Menurut penuturan temanku, si dia yang brengsek itu punya seorang ibu yang sangat tua. Ibunya itu lumpuh sejak lama. Nah, setiap hari, si dialah yang saya sangka brengsek itulah yang merawat ibunya tersebut. Padahal ada saudara lainnya, tapi mereka tidak pernah ikut merawat ibunya itu. Yang merawat ya hanya si dia saja.
Pagi dan sore dia memandikannya. Sebelum memandikan, dia pula yang menggendong ibunya dari kamar tidur menuju ke kamar mandi. Dia pula yang menceboki jika ibunya buang air besar. Dia pula yang menyuapi ibunya ketika makan. Dia pula yang terkadang memakaikan baju kepada ibunya. Setiap hari, dan sudah bertahun-tahun.
Saya pun terhenyak. Dan langsung malu.
“Duhai Allah, betapa Engkau begitu lihai menutupi rahasia yang Engkau bungkus pada orang yang pernah saya benci itu. Dan betapa hebatnya cara Engkau mengingatkan hamba-Mu sepertiku ini. Duhai Allah, maafkan diri ini yang tidak menyadari keterbatasan dan kekuranganku, tapi sok serba tahu akan segala hal.” Sayapun bersimpuh di bawah kekuasaan-Nya yang Maha Agung itu.
Oleh karena itu duhai sahabat, menyangka kesalahan orang lain itu pasti akan banyak zonk-nya. Sebaliknya, mengakui akan kesalahan diri sendiri itu pasti banyak tepatnya. Maka hapuskanlah prasangkamu itu dan mulai sering-seringlah mengkalkulasi dosa-dosamu. Wallahu a’lam bisshawab
Di dalam pengajiannya si Aa’ banyak menyampaikan materi yang semuanya bermuara pada al-akhlak al-karimah. Dan di antara ulasan tentang penjagaan pada al-akhlak al-karimah itu, Aa’ membongkar satu kebiasaan buruk kita. Ialah terlalu seringnya kita menyangka tentang banyaknya dosa orang lain. Lacut, sangkaan itupun menjadikan kita lupa pada penghitungan dosa kita sendiri.
Dengan gaya bahasa yang akrab khas Aa’ Gym, beliaupun sempat menanyai satu persatu yang hadir di majelis pengajiannya itu. Kepada jamaah pria yang sudah beristri, beliau menanyakan seringkah mereka menyangka tentang berapa banyak dosa yang dilakukan istrinya. Begitu pula saat menanyakan kepada para ibu, apakah sering pula menghitung dosa suaminya.
Lantas beliau memberikan penandasan, lebih baik para suami dan istri tidak usah seperti itu. Sebab tak akan ada faedahnya sama sekali. Ingatlah, di kala semua manusia dikumpulkan dan dihitung amalnya di alam sana, yang akan mempertanggungjawabkan baik dan buruknya amal adalah diri sendiri. Bukan tetangga kita, teman kita, atasan kita atau bahkan presiden kita.
Apalagi di saat perhitungan amal itu pasti akan banyak fakta yang terkuak. Salah satunya bisa jadi kita selama ini menyangka si A banyak dosanya, tetapi ketika dilakukan perhitungan Tuhan, ternyata amal baiknya luar biasa banyak. Sedang kita sendiri, yang menyangka penuh kesempurnaan, tiba-tiba kaget. Sebab catatan di buku raport kita yang terbanyak malah jumlah keburukannya. Itulah yang disebut kecele tingkat dewa.
Lantas apakah kita memang seperti itu, sering menyangka dan menghitung “dapur, kasur dan sumur” orang lain?
Semuanya kembali kepada pengakuan kita sendiri. Mengakui jika kita memang suka dan hobby mengkalkulasi amal dan dosa orang lain. Ironisnya, jarang menghitung keburukan sendiri. Ironis tambahan, yang kita hitung hanya nilai kebaikan kita sendiri saja.
Bolehlah pertanyaan itu dipendam saja. Bahkan dikubur sekalian di tengah hutan. Karena memang pertanyaan yang model seperti itu sulit menjawabnya. Siapa sih orang yang mau mengakui kesalahan perilakunya sendiri? Siapa? Ada tidak? Hayo, jawab!!
Lho, kok sepi. Pada tidur ya.
Baiklah, saya harus jujur, tidak mengakui kesalahan sendiri dan sering menyangka buruk orang lain, sebenarnya sering juga saya lakukan. Tapi itu dulu. Sekarang, saya mulai belajar agar tidak seperti itu lagi. Apa ya, kok saya ini pantas dikatakan sombong dan culas, jika perhitungan di otak itu orang lain, orang lain dan orang lain terus menerus. Sementara prestasi buruk oleh diri sendiri, yang banyak tapi dirahasiakan Tuhan dari mata wadag orang lain, tidak mau saya akui.
Begini ceritanya.
Dulu, saya pernah tidak menyenangi seorang mantan pejabat yang saya kenal. Ketidaksenangan tersebut berdasar segala perilaku si pejabat tersebut yang menurut saya, banyak jeleknya. Dia sombong, karena kalau berbicara sering ndakik-ndakik. Dia kurang ajar, karena di berbagai forum selalu ingin di depan dan sepertinya sering menyingkirkan orang lain. Dia munafik, karena dari apa yang banyak diucapkan, ternyata banyak tidak dipraktikkannya. Itu menurut persangkaan saya.
Persangkaan itupun kemudian bercokol begitu lama di pikiran saya. Sampai pada taraf membatu. Pokoknya apapun tentang si mantan pejabat itu, bagi saya dia adalah buruk. Persetan dengan giatnya dia beribadah. Toh ibadah itu kan apa yang terlihat, bukan apa yang tidak terlihat. Begitu persangkaan saya, yang terjadi terus menerus. Pokoknya kepada si dia, saya sudah memvonis dengan keputusan inkrah (final) bahwa dia manusia brengsek.
Sampai pada suatu hari saya mendapat cerita dari teman saya. Sebetulnya yang paling utama diceritakan bukanlah tentang dia si manusia brengsek itu. Tetapi tanpa saya duga, tiba-tiba teman saya ini nyeletuk menceritakan rutinitas si dia sehari-harinya. Dan itu pasti tempelengan Tuhan kepada saya. Apa itu?
Menurut penuturan temanku, si dia yang brengsek itu punya seorang ibu yang sangat tua. Ibunya itu lumpuh sejak lama. Nah, setiap hari, si dialah yang saya sangka brengsek itulah yang merawat ibunya tersebut. Padahal ada saudara lainnya, tapi mereka tidak pernah ikut merawat ibunya itu. Yang merawat ya hanya si dia saja.
Pagi dan sore dia memandikannya. Sebelum memandikan, dia pula yang menggendong ibunya dari kamar tidur menuju ke kamar mandi. Dia pula yang menceboki jika ibunya buang air besar. Dia pula yang menyuapi ibunya ketika makan. Dia pula yang terkadang memakaikan baju kepada ibunya. Setiap hari, dan sudah bertahun-tahun.
Saya pun terhenyak. Dan langsung malu.
“Duhai Allah, betapa Engkau begitu lihai menutupi rahasia yang Engkau bungkus pada orang yang pernah saya benci itu. Dan betapa hebatnya cara Engkau mengingatkan hamba-Mu sepertiku ini. Duhai Allah, maafkan diri ini yang tidak menyadari keterbatasan dan kekuranganku, tapi sok serba tahu akan segala hal.” Sayapun bersimpuh di bawah kekuasaan-Nya yang Maha Agung itu.
Oleh karena itu duhai sahabat, menyangka kesalahan orang lain itu pasti akan banyak zonk-nya. Sebaliknya, mengakui akan kesalahan diri sendiri itu pasti banyak tepatnya. Maka hapuskanlah prasangkamu itu dan mulai sering-seringlah mengkalkulasi dosa-dosamu. Wallahu a’lam bisshawab
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda