Seperti biasanya Kang Joko punya
jadwal tetap menjadi imam shalat fardlu di mushalla depan rumahnya. Setiap hari
dia memimpin shalat maghrib dan isya’. Kang Jokopun memenuhi kewajiban tugas
itu dengan sangat tertib.
Suatu ketika terjadi kehebohan. Ketika
itu Kang Joko yang perawakannya kurus dan mempunyai kelopak mata tebal layaknya
ikan Lou Han, mengimami shalat maghrib dengan lancar seperti biasanya.
Rakaat pertama dilakukannya
dengan sukses. Seluruh rukun dan sunnah ditunaikan dengan sempurna. Begitu pula
rakaat kedua dan ketiga, semua pelaksanaan shalat berjalan sesuai garis hukum
fiqih yang selama ini diajarkan para ustad. Seluruh makmumpun lega, karena
shalat maghrib di hari itu bisa terlaksana dengan baik.
Tibalah saatnya pelaksanaan wiridan,
setelah Kang Joko mengakhiri shalat dengan dua kali salam. Amaliah orang
kampung, wabil khusus para Nahdliyin, kalau wiridan tetap sesuai
arahan imam. Begitu pula yang terjadi di maghrib itu, seluruh makmum mengikuti
komando Kang Joko.
Beberapa menit awal, wiridan
berjamaah tersebut lancar dan tidak terkendala apapun. Kang Joko sukses
memimpin bacaan istighfar dan beberapa bacaan lanjutannya. Tapi setelah
kesuksesan awal itu diraih, muncullah keganjilan yang tidak diduga sebelumnya
oleh para jamaah.
Di menit-menit selanjutnya, tiba-tiba
tidak terdengar lagi suara Kang Joko. Di mihrab mushalla itupun nihil suara wiridan
sang imam. Sepi dan sunyi. Kontan, para jamaah pun menjadi bertanya-tanya. Ada yang
meneruskan wiridan sambil tolah toleh, kebingungan. Tidak sedikit pula yang
memilih diam, lalu menengok ke arah mihrab.
Setelah dilihat jelas, ternyata Kang
Joko ketiduran sambil duduk. Wiridan akhirnya ikut jeda pula. Beberapa menit
kemudian Kang Joko “siuman”, dan melanjutkan wiridan. Dia pede saja,
seperti tidak terjadi peristiwa aneh sebelumnya.
Bagi beberapa jamaah yang sudah paham
sejarah hidup Kang Joko, misalnya Kang Gito dan Kang Kusnadi, pasti terbersit
kejengkelan di batinnya. Sontak kalimat sengak pun terucap dari mulut keduanya,
saat selesainya shalat dan wiridan itu, “Dasar imam ngantukan!!”
Dan ternyata peristiwa aneh nan
geli ini terjadi lagi di saat shalat isya’nya. Kembali lagi Kang Joko ketiduran
saat memimpin wiridan. Kembali lagi pula Kang Gito dan Kang Kusnadi
merasa jengkel. Tapi keduanya paham, toh Kang Joko seperti itu karena memang
seharian penuh dia mendampingi sapi-sapinya dengan penuh kasih sayang. Sampai rasa
lelah menggempur tubuhnya, di saat senja bertengger di langit barat, dan sang
muadzin telah mengumandangkan adzan maghrib.
Saya yang mendengar cerita ini langsung
dari mulut Kang Gito dan Kang Kusnadi, tidak bisa menahan tawa. Ini namanya sang
imam telah memberi kenyamanan kepada para jamaahnya. Karena dikomando tidur itu
enak, bukan? Daripada dikomando perang. Huahahaha
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda