Beberapa tahun ini
banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di daerah saya. Mereka
di-PHK perusahaannya dengan berbagai alasan. Yang ada benarnya banyak, dan yang
terkesan dibuat-buat, juga banyak.
Rata-rata, alasan
kolapsnya perusahaan adalah penyebab utama. Entah benar atau tidak, alasan
inilah yang mengakibatkan banyak orang tidak lagi punya pekerjaan tetap dan
harus memikirkan keberlanjutan roda ekonomi keluarga.
Sedih, pilu dan sumpek,
akhirnya mewarnai jiwa mereka. Apalagi biasanya rencana PHK akan disampaikan terlebih
dahulu kepada yang bersangkutan sebelum hari H PHK itu “diresmikan”. Yang
bersangkutan pun biasanya meneruskan pula kabar itu ke istrinya. Selanjutnya istrinya
menceritakan ke orang tua dan saudaranya. Emosi pun bermain di situ. Jadilah,
sedih, pilu dan sumpek yang awalnya sendirian, menjadi dialami satu keluarga.
Bagi istri dan kerabat,
biasanya kesumpekan itu berwujud pertanyaan-pertanyaan gambaran masa depan yang
penuh kesengsaraan. Anak masih sekolah semua, bagaimana nanti biayanya? Rumah
masih ngontrak, lalu kapan bisa punya rumah sendiri? Cicilan bank juga masih
beberapa tahun, bagaimana awak mesti melunasinya? Umur sudah tua, apakah ada
perusahaan yang mau menampungnya? Tuhan, kami sumpekkk!!
Tak pelak pra-PHK dan
beberapa waktu setelah “derita” itu tiba, seisi rumahpun diliputi kesedihan. Ke
mana-mana mereka tidak bisa menyembunyikan kesedihan itu. Wajah mereka muram.
Seakan PHK itu genderuwo pemutus
rezeki dari Tuhan.
Naas, wajah yang sulit sumringah itupun dibaca pula oleh para
tetangganya. Mereka meraba apa yang sebetulnya terjadi. Setelah mengetahui
sumber penyebab wajah sulit sumringah
itu, mereka akhirnya ikut bersedih pula. Iba dan kasihan melihat nasib buruk tetangga
korban PHK itu. Tidak bisa dibendung, tragedi yang awalnya individual, kemudian
mengular menjadi derita keluarga, kini mengular lebih luas lagi menjadi tragedi
kampung.
Menerima
Realitas
Pertanyaan yang selalu
muncul ketika orang bersedih karena di-PHK: Mengapa mereka bersedih? Dan, untuk
apa mereka bersedih? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk diketahui
jawabannya. Lebih-lebih, biar kita tahu duduk persoalannya dan paham cara mengatasi
problem kemanusiaan ini.
Begini. Banyak orang –
mungkin kita juga – yang sering tidak fair dalam kehidupan ini. Tidak fair
dalam banyak hal. Misalnya, banyak pedagang yang selalu ingin untung, banyak
guru yang inginnya mendapatkan sedikit tugas, banyak tukang batu yang ingin jam
kerjanya dikurangi, dan lain-lainnya. Intinya, banyak orang yang hanya ingin
mendapatkan kenikmatan. Pokoknya hidupnya harus nikmat, titik. Entah bagaimana
caranya.
Namun mereka lupa atau
sebenarnya paham, tetapi mencoba mengelabui, bahwa di dalam kehidupan, tidak semua
berisi yang enak-enak saja. Sebab terkadang yang tidak enak-tidak enak pun ada
dan terjadi. Dan yang tidak enak-tidak enak itu pasti akan dan pernah dirasakan
oleh semua orang. Itu realitas kehidupan yang harus diterima dengan akal waras.
Nah, begitu pula PHK. PHK
itu realita kehidupan yang harus diterima dengan lapang dada. Realita yang
harus dihadapi. Bukan dihindari dan dianggap mimpi. Atau bahkan berupaya
melakukan perlawanan yang tidak rasional.
Perlawanan yang tidak
rasional, maksudnya? Jika para korban PHK ini memang punya alasan hukum yang
tepat tentang hak dia untuk terus bekerja, maka silakan melakukan perlawanan di
pengadilan. Namun dengan catatan, harus rasional memahami, bahwa perlawanan
tersebut butuh tenaga, biaya dan mental yang kuat. Sebab yang dihadapi adalah
perusahaan besar yang punya modal finansial yang besar pula.
Secara rasional harus
pula dipahami tentang peluang kalah dan menang. Mereka adalah perusahaan besar,
maka peluang menang para korban PHK pun menjadi kecil. Apalagi diketahui, bahwa
setelah dilakukan penelitian memang perusahaan itu benar-benar pailit karena
kolaps. Maka tentu saja para korban PHK akan kalah di ujung sidang nantinya.
Saya tidak hendak
mengerdilkan semangat perlawanan para korban PHK kepada perusahaannya. Tetapi
saya hanya ingin menandaskan, untuk apa sih berpeluh-peluh dan berdarah-darah
demi perjuangan itu? Untuk sekedar meraih kemenangan kemanusiaan yang
peluangnya sangat kecil itu? Terlalu capek dan buang-buang waktu jika memang
seperti itu. Sebab, ingatlah, di belakang ada istri, anak, dan orang tua yang
harus mereka pikirkan keberlanjutan hidupnya. Dan itu realitas paling dekat
dari dirinya.
Karena itulah bersedih
menerima nasib PHK dari perusahaan bukanlah cara hidup yang bijaksana. Sebab
PHK hanyalah salah satu dari banyak ketidakenakan hidup yang kerap mereka
rasakan sebelumnya. Sekalipun bentuk dan wujudnya berbeda-beda. Ya, PHK itu
pahitnya kehidupan yang tidak bisa tidak, harus mereka rasakan tanpa bisa
ditolak, karena perusahaannya memang pailit alias kolaps alias bangkrut.
Lalu untuk apa
bersedih, sementara dunia ini luas dan berisi macam-macam. Kembali lagi seperti
argumentasi semula, kehidupan ini tidak berisi yang enak-enak saja, tapi yang
tidak enak-tidak enak pun kerap terjadi. Susunan kalimat tersebut bisa dibalik,
kehidupan ini tidak berisi yang tidak enak-tidak enak saja, sebab yang
enak-enak pun kerap terjadi.
Makanya, pandanglah ke
depan. Menolehlah ke rumah. Lihatlah anak-anak berlari gembira. Tengoklah istri
saat puas menonton tivi. Pelajari tetangga yang berwajah sumringah. Intiplah orang tua yang taat beribadah. Kemudian,
visualisasi yang beraneka rupa itu, hempaskan ke alam pikiran. Dan akuilah,
untuk apa bersedih, jika hidup itu berwarna-warni, indah dan harmonis? Untuk
apa? Tak ada gunanya berpanjang-panjang sedih, karena hari esok, menuntut diri
agar bisa membahagiakan semua orang.
Berani
di-PHK
Malah jika perlu,
tantang saja PHK itu agar segera dijatuhkan. Datangi pemimpin perusahaan dengan
langkah gagah, lalu sampaikan permintaan agar PHK dipercepat saja. Di luar, di
dunia yang baru yang tidak lagi membelenggu, telah menunggu taktik otak kita dan
kesitnya membaca peluang untuk terus survive.
Dan itu menunjukkan keberanian sikap dalam menghadapi situasi apapun.
Ada banyak contoh
orang-orang yang sering menantang kesulitan, tapi dengan ketegasan, bahwa dia
sudah mempersiapkan diri secara matang. Karena gelut dengan kesulitan dan
problem itu memanglah butuh strategi jitu. Demikian pula bagi para korban PHK.
Dahlan Iskan adalah
salah satu contoh seseorang yang fitalitas ketahanannya dalam menghadapi
problem atau krisis, benar-benar teruji. Dia pernah terselamatkan dari penyakit
kanker hati (liver), karena perjuangannya yang sangat gigih. Saat menjabat
menteri BUMN di era SBY, sangat banyak perusahaan negara yang ia selamatkan
dari keterpurukan bahkan kebangkrutan. Silakan baca buku Manufacturing Hope: Bisa! yang ditulis Dahlan Iskan dan diterbitkan
PT. Elex Media Komputindo tahun 2012, di situ akan terbaca bagaimana kiat Dahlan
Iskan dalam menyelamatkan banyak BUMN tersebut.
Dahlan Iskan pun
beberapa kali berhasil menyelamatkan perusahaannya dari hantaman krisis ekonomi
yang melanda negeri ini. Bahkan hari-hari ini, sebenarnya diapun sedang
melakukan strategi penyelamatan perusahaan akibat krisis anjloknya nilai rupiah
terhadap dollar Amerika. Silakan baca artikel edisi 3 September 2018 yang
ditulis Dahlan Iskan di jpnn.com.
Dalam artikel yang
berjudul “Jangan Takut Beli Ikat Pinggang”, Dahlan Iskan melontarkan strategi
jitu yang dulu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Strategi itu ialah
mengencangkan ikat pinggang, dengan cara membatasi perusahaan untuk tidak
membeli ini dan itu yang tidak perlu. Membatasi, dengan harapan keuangan
perusahaan bisa terselamatkan. Begitu pula bisa menyelamatkan nasib karyawannya
agar tidak ter-PHK.
Nah, pelajaran dari
Dahlan Iskan tersebut adalah, dia tidak takut untuk menantang “kedatangan” krisis
ekonomi itu. Dia menantang, sebab memang krisis tersebut tidak bisa dihindari, karena
krisis tersebut sifatnya global. Negara mana atau presiden siapa sih yang
sanggup menolak krisis yang sifatnya global? Sama sekali tidak ada.
Oleh karena itu, para
korban PHK sesegera mungkin mengatur rencana apa yang akan ia kerjakan pasca
PHK diberlakukan. Membuka bisnis baru bisa menjadi alternatif. Apalagi korban
PHK biasanya diberi pesangon oleh perusahaannya, yang jumlahnya puluhan juta,
bahkan ratusan juta. Uang sebanyak itu sebetulnya bisa dimanage dengan baik.
Salah satunya mendirikan bisnis atau usaha baru tersebut. Bahasa kerennya startup (perusahaan rintisan).
Tugas
Membahagiakan
Strategi jitu yang Anda
buat untuk menanggulangi akibat PHK, menandakan Anda telah menuju pada taraf kebahagiaan.
Sekalipun Anda telah mengalami sebuah tragedi kemanusiaan. Sebab waktu yang
bisa hilang percuma karena tidak digunakan dengan baik, akibat murung dan sedih
setelah di-PHK, telah berhasil Anda kuasai. Anda kuasai waktu, maka kebahagiaan
akan lekat diperoleh.
Para korban PHK memang sewajarnya
bertindak seperti itu, mengisi waktu demi meraih bahagia. Apalagi yang punya
tanggungan banyak orang, tentu saja membahagiakan mereka juga menjadi tugas
suci yang diembannya.
Apakah hukumnya wajib
bagi para korban PHK dan keluarganya mendapatkan kebahagiaan? Sungguh betul dan
sifatnya harus tertunaikan segera. Sebab bahagia itu bukan milik para pegawai
negeri, pengusaha, atau pejabat politik saja. Bahagia itu hak sejati bagi semua
manusia. Seperti kalimat motivasi Dan Miller, “Setiap orang mempunyai hak untuk
merasakan bahagia. Hidup hanya sekali. Persembahkan energi hidup untuk membuat
diri dan orang lain bahagia” (Dahara Prize: Road
To Self Actualization, 2013). Itulah kuncinya.
Maka dari itulah, para
korban PHK tak perlu terlalu lama membiarkan waktu terbuang percuma. Sesegera
pergunakan waktu yang ada untuk merealisasikan rencana yang sudah digambar.
Jika ingin berbisnis, segerlah berbisnis, sambil terus belajar. Jika ingin
kembali bekerja di perusahaan lain, maka segeralah melayangkan surat lamaran.
Pokoknya, Anda tidak boleh menganggur dalam jangka waktu yang lama. Dan
yakinlah, PHK yang terjadi, justru menyimpan hikmah lainnya yang lebih besar
yang akan Anda terima, tapi selama ini tidak pernah disadari.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda