Langsung ke konten utama

Iman dan Kebersihan Sungai

Sudah kesekian tahun ini saya merasakan banyak sekali perubahan pada wajah sungai kecil di depan rumah saya. Dulu, sekira dua puluh enam tahun silam, ketika saya masih madrasah ibtidaiyah, wajah sungai tersebut bersih dan jernih. Tidak banyak sampah rumah tangga yang mengapung, karena volume sampah yang dibuang benar-benar sangat sedikit. Sehingga tak jarang setiap hari ada saja anak-anak kecil yang mandi, menceburkan diri ke sungai yang melewati dua kabupaten, Mojokerto dan Jombang itu. Termasuk juga saya.

Sekarang, semenjak beberapa tahun ini, sungai kecil yang sebenarnya punya peran penting bagi kehidupan warga yang dialirinya, menjadi berubah total. Airnya kumuh, tidak jernih. Terlihat masih hijau, tetapi sangat kotor. Lebih-lebih, selalu ada sampah yang mengapung setiap detiknya. Tidak heran perubahan itu bisa terjadi dengan sangat drastis, sebab sungai kecil sebagai anak Sungai Brantas ini dijadikan tempat sampah raksasa oleh warga sekitarnya.

Setiap hari banyak warga yang terlihat membuang sampah rumah tangganya ke sungai tersebut. Yang menjadi keheranan saya, rutinitas membuang sampah tersebut tidak saja pagi dan sore, tetapi terjadi hampir sepanjang hari. Dugaan ini saya kira benar, melihat sampah-sampah yang mengapung juga terjadi sepanjang hari. Seperti tidak ada jeda sama sekali, sampah-sampah itu terlihat mengapung setiap detiknya, mengikuti arus air mengalir.

Ada banyak sebab mengapa masyarakat bisa “berulah” mengotori sungai yang segi positifnya ini sangat besar, terutama bagi pertanian masyarakat sekitar. Pertama, adanya sikap malas untuk membuat tempat pembuangan sampah sendiri. Banyak warga yang menganggap sungai kecil tersebut adalah tempat sampah yang disediakan gratis tanpa dipungut iuran apapun seperti halnya di perkotaan. Sehingga mindset ini menjadikan mereka “ogah” sekedar mengeduk tanah di belakang rumah atau memasang tempat sampah portable yang kini sudah marak di mana-mana.

Kedua, tidak adanya lembaga swadaya masyarakat yang menjadi penggagas utama guna menggaungkan pelarangan buang sampah ke sungai. Ini sangat penting, sebab perubahan mindset masyarakat tersebut, terkadang butuh penyadaran dari pihak eksternal, dalam hal ini semacam LSM atau lembaga kepemudaan. Karena itulah saya sangat mengharap munculnya gerakan-gerakan ini, agar problem kotornya sungai bisa segera diatasi.

Dan ketiga, kurangnya pemahaman yang menyeluruh tentang ajaran agama yang dianut. Ini mengerucut pada diktum iman di dalam Islam. Masyarakat kita banyak yang tidak memahami hakikat iman itu seperti apa. Mereka banyak yang beragama tapi dengan pemahaman yang tidak komprehensif. Salah satunya, tentang cara mempraktikkan salah satu hadis Rasulullah Saw, al-nadhafatu min al-iman, yang artinya kebersihan itu sebagian dari iman.

Hadis ini memberikan penjelasan, bahwa sebagai seorang mukmin (orang yang beriman) wajiblah menjadi keyakinannya untuk menjaga kebersihan. Tidak saja kebersihan badannya dan rumahnya, tetapi pula kebersihan di seluruh tlatah bumi ini. Jadi di manapun mereka berada, kebersihan wajib hukumnya untuk terus dilestarikan. Termasuk di dalamnya kebersihan sungai yang mengaliri di sekitaran lingkungannya.

Sebenarnya banyak masyarakat yang mengetahui dan hapal dengan hadis tersebut. Tetapi masalah konkret yang muncul adalah, mereka tidak mepraktikkan diktum kenabian tersebut. Padahal salah satu aspek iman yang aplikatif ialah mengamalkan ajaran agama dengan segenap lahir dan batinnya (psikomotorik).

Kita mengimani tatakrama berbicara dalam Islam, tetapi ketika kita tidak mempraktikannya, maka kita perlu ragu dengan keimanan diri. Kita paham jika kebersihan itu perintah agama, tetapi ketika kita malah seenaknya buang sampah di tempat-tempat yang tidak sewajarnya, kita kembali harus menanyakan kadar keimanan kita sendiri.

Saya berpendapat, kesulitan mempraktikkan ajaran agama tersebut disebabkan kurang kuatnya emosi keimanan dalam diri. Menyatakan beriman, tapi tidak diperkuat dengan emosi jiwa (afeksi), sehingga pernyataan keimanan itu tak berbekas. Mungkin bentuk afeksi iman itu berwujud kebanggaan menjadi orang yang mukmin dengan segala kewajiban fisikalnya.

Mengapa sungai perlu kita jaga kebersihannya? Pertanyaan ini penting diajukan, supaya masyarakat mengetahui bahwa keberadaan sungai sangat besar pengaruhnya terhadap peradaban manusia. Ada dua poin penting betapa kita memang wajib menjaga kebersihan sungai kita.

Pertama, kita pasti pernah mengenal bagaimana posisi penting Sungai Nil di Mesir, Sungai Gangga di India, Sungai Tigris serta Eufrat bagi peradaban Sumeria di Mesopotamia dan Sungai Brantas bagi peradaban Majapahit. Sungai-sungai besar yang melegenda itu telah “memberikan” kontribusi positif bagi kemajuan peradaban masyarakatnya. Contohnya Sungai Brantas yang dipakai untuk memajukan pertanian dengan saluran irigasinya yang moderen oleh kerajaan Majapahit. Pula digunakan untuk lalu lalang kapal perdagangan dan perikanan, seperti tercatat dalam buku-buku sejarah.

Tanpa adanya keberadaan Sungai Brantas tersebut, kita tidak bisa membayangkan bagaimana cara Majapahit bisa semaju itu di zamannya. Demikian pula dengan keberadaan sungai-sungai besar lainnya di beberapa negeri kuno tersebut. Tanpa keberadaannya, mungkin saja tidak akan terjadi kemajuan budaya manusia seperti sekarang ini.

Dan kedua, menurut Emil Salim di dalam bukunya Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, bahwa salah satu dari lima tantangan terberat bagi lingkungan hidup manusia sekarang ini adalah penyelamatan air dari eksploitasi secara berlebihan dan pencemaran yang semakin meningkat di laut, sungai dan sumber air lainnya. Padahal kebutuhan air bersih semakin meningkat, seiring bertambahnya jumlah populasi manusia.

Sungai sendiri, kini tidak saja diperuntukkan bagi pertanian dan perikanan. Tapi juga banyak yang disulap menjadi area pariwisata, tempat banyak orang berekreasi. Artinya, lagi-lagi perlu dipahami, bahwa keberadaan sungai sangat membantu bagi kehidupan manusia. Saya mengibaratkan sungai yang bersih seperti putri yang cantik jelita. Sebaliknya sungai yang kotor dan penuh sampah (limbah) seperti seseorang yang tak pernah mandi dan dikerubuti lalat.

Sebagai penutup, saya ingin menyumbang saran kepada masyarakat yang terdapat sungai di lingkungannya, lebih khusus lagi masyarakat di lingkungan penulis: sudah saatnya kita membuat tempat pembuangan sampah secara mandiri. Memang perlu biaya, tapi itu tidaklah besar, dibanding belanja fashion, kosmetik, kuliner, kuota internet dan kebutuhan remeh temeh kita sehari-hari, namun menguras kas keluarga. Mengapa? Sebab itulah wujud nyata kebanggaan kita sebagai orang yang beriman dan ber-Islam. Wallahu a’lam bisshawab 

18102018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...