Di zaman Nabi Muhammad Saw. terdapatlah seorang sahabat beliau yang mulia. Kemuliaan tersebut didapatnya atas dasar pengorbanan yang kuat dalam membela agama Islam. Sahabat tersebut bernama Abdurrahman bin Auf.
Sahabat ini tergolong kaya raya. Tidak heran, kekayaan itu mudah diperolehnya karena ia sangat menguasai ilmu perniagaan. Bahkan saking kayanya, pernah suatu ketika ia membuat heboh warga Madinah. Ia membuat kemacetan di jalanan Madinah karena membawa rombongan yang berjumlah sangat besar. Terdiri 700 kendaraan yang dipenuhi dengan muatan barang-barang perniagaan yang dibawanya dari Syam.
Namun, sekalipun dengan kekayaan yang melimpah ruah dan keahlian dagang yang ia kuasai, tidak meluputkan semangatnya untuk terus berjuang. Salah satunya ikut dalam perang Uhud. Sebuah perang yang menyebabkan cacat di tubuhnya; bicaranya cadel karena beberapa giginya rontok dan kakinya pincang karena terkena senjata tentara kafir.
Untuk keadaan yang terakhir, saya menyebutnya jejak perjuangan. Sebuah perubahan pada diri setelah seseorang itu rela pergi berjuang demi kemuliaan. Setiap orang yang pergi berjuang, berperang di medan laga, hanya ada beberapa kemungkinan yang terjadi; mati terbunuh, hidup sehat wal afiat atau hidup tapi dalam keadaan cacat.
Di kehidupan ini, sebenarnya semua kerja keras kita terhitung perjuangan. Itu didasari satu hal saja; niat tulus demi membahagiakan, entah itu orang lain, keluarga atau diri sendiri. Salah satu yang paling nyata terasa adalah mencari nafkah demi menyambung hidup.
Jangan dikira mencari nafkah untuk menyambung hidup itu tiada bernilai perjuangan. Bahkan justru dalam konteks sekarang hal itulah yang lebih nyata disebut perjuangan.
Tidak ada pekerjaan untuk mencari nafkah dilakukan dengan enteng dan mudah. Rata-rata kita, apalagi yang hidupnya pas-pasan, mengais rezeki sedikit saja butuh cucuran keringat yang berlimpah-limpah. Tukang batu butuh mengeluarkan tenaga dan fikiran yang melelahkan. Pedagang krupuk butuh berkeliaran kesana kemari yang melemaskan tenaga. Para pegawai kantoran butuh meluangkan segenap fikiran demi merampungkan target pekerjaan. Guru butuh pengorbanan finansial dan tenaga yang berlimpah demi kepandaian muridnya.
Bahkan, perjuangan keras juga dilakukan para pengusaha sukses. Karena sebenarnya mereka juga memikirkan banyak hal, antara lain, keuntungan usaha yang harus bisa menutupi semua kebutuhan, kesolidan karyawan beserta kesejahteraannya, hutang modal yang bermilyar-milyar, dan lain-lain. Benar mereka kaya, tapi tidak bisa menghindari pusingnya pikiran mamanaje perusahaan yang mengurusi banyak hal itu.
Betapa gampang kita mengetahui jejak perjuangan itu di lingkungan sekitar kita. Penulis sendiri mendapatkan pengetahuan itu dari hal-hal yang sederhana. Paling dekat melihat kedua orang tua penulis sendiri. Bapak, kini stroke, pikun dan sebelah matanya tidak bisa melihat. Setelah sekira empat puluh tahunan berjuang demi kehidupan keluarga. Ibu, hidungnya sudah lama kena penyakit polip dan berakibat pendengarannya bermasalah, alias tuli. Selama beliau “melayani” keluarga, penyakit itu selalu menemaninya.
Di masjid, tempat ibadah yang paling dekat dengan kediaman penulis, juga menjadi sumber pengetahuan tentang jejak perjuangan orang-orang. Ini saya ketahui saat melaksanakan shalat jamaah.
Ketika melaksanakan rutinitas ibadah tersebut, penulis mendapati tubuh-tubuh manusia yang nampak berbeda kondisi. Dari belakang tubuh mereka, penulis melihat, beberapa tubuh para jamaah tersebut ada yang sudah doyong (miring ke samping). Juga ada yang sudah bongkok. Ada pula yang berjalan sambil menyeret kakinya. Dan lain-lain.
Penulis meyakini, dulu tubuh para jamaah tersebut gagah perkasa. Langkahnya tegap, tubuhnya jenjang, tidak miring seperti sekarang. Barulah perubahan tubuh itu terjadi setelah mereka bekerja keras dalam waktu yang sangat lama. Karena bekerja mengangkat beban yang sangat berat, demi keluarga, demi orang lain dan diniatkan ibadah, di usia yang sudah tua, berpengaruh pada tubuhnya yang miring. Bahkan kelihatan akan roboh dan pada saatnya nanti pasti akan roboh.
Tubuh yang akan roboh, bongkok dan kaki yang tidak bisa lagi diangkat, adalah jejak perjuangan mereka. Memang tidak sepatriotis Abdurrahman bin Auf r.a yang giginya rontok dan kakinya pincang akibat ikut perang membela agama. Tidak pula seherois para pejuang perang kemerdekaan membela NKRI yang gugur bersimbah darah. Namun penting diakui, orang-orang yang telah menghasilkan jejak perjuangan demi keluarga dan manusia-manusia lainnya tersebut, sebagai pula kebanggaan di kehidupan ini.
Kehidupan ini menuntut diri menghasilkan hal-hal yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Sebab setelah kita tiada, tidak ada lagi kenang-kenangan yang berarti, selain jejak perjuangan yang berwujud kemanfaatan diri pada kehidupan itu.
Pertanyaannya, apakah Saudara sudah merencakan jejak perjuangan Saudara demi kemanusiaan? Kalau belum, segeralah Saudara bekerja keras, dengan niat yang lurus demi membahagiakan banyak orang...
Sahabat ini tergolong kaya raya. Tidak heran, kekayaan itu mudah diperolehnya karena ia sangat menguasai ilmu perniagaan. Bahkan saking kayanya, pernah suatu ketika ia membuat heboh warga Madinah. Ia membuat kemacetan di jalanan Madinah karena membawa rombongan yang berjumlah sangat besar. Terdiri 700 kendaraan yang dipenuhi dengan muatan barang-barang perniagaan yang dibawanya dari Syam.
Namun, sekalipun dengan kekayaan yang melimpah ruah dan keahlian dagang yang ia kuasai, tidak meluputkan semangatnya untuk terus berjuang. Salah satunya ikut dalam perang Uhud. Sebuah perang yang menyebabkan cacat di tubuhnya; bicaranya cadel karena beberapa giginya rontok dan kakinya pincang karena terkena senjata tentara kafir.
Untuk keadaan yang terakhir, saya menyebutnya jejak perjuangan. Sebuah perubahan pada diri setelah seseorang itu rela pergi berjuang demi kemuliaan. Setiap orang yang pergi berjuang, berperang di medan laga, hanya ada beberapa kemungkinan yang terjadi; mati terbunuh, hidup sehat wal afiat atau hidup tapi dalam keadaan cacat.
Di kehidupan ini, sebenarnya semua kerja keras kita terhitung perjuangan. Itu didasari satu hal saja; niat tulus demi membahagiakan, entah itu orang lain, keluarga atau diri sendiri. Salah satu yang paling nyata terasa adalah mencari nafkah demi menyambung hidup.
Jangan dikira mencari nafkah untuk menyambung hidup itu tiada bernilai perjuangan. Bahkan justru dalam konteks sekarang hal itulah yang lebih nyata disebut perjuangan.
Tidak ada pekerjaan untuk mencari nafkah dilakukan dengan enteng dan mudah. Rata-rata kita, apalagi yang hidupnya pas-pasan, mengais rezeki sedikit saja butuh cucuran keringat yang berlimpah-limpah. Tukang batu butuh mengeluarkan tenaga dan fikiran yang melelahkan. Pedagang krupuk butuh berkeliaran kesana kemari yang melemaskan tenaga. Para pegawai kantoran butuh meluangkan segenap fikiran demi merampungkan target pekerjaan. Guru butuh pengorbanan finansial dan tenaga yang berlimpah demi kepandaian muridnya.
Bahkan, perjuangan keras juga dilakukan para pengusaha sukses. Karena sebenarnya mereka juga memikirkan banyak hal, antara lain, keuntungan usaha yang harus bisa menutupi semua kebutuhan, kesolidan karyawan beserta kesejahteraannya, hutang modal yang bermilyar-milyar, dan lain-lain. Benar mereka kaya, tapi tidak bisa menghindari pusingnya pikiran mamanaje perusahaan yang mengurusi banyak hal itu.
Betapa gampang kita mengetahui jejak perjuangan itu di lingkungan sekitar kita. Penulis sendiri mendapatkan pengetahuan itu dari hal-hal yang sederhana. Paling dekat melihat kedua orang tua penulis sendiri. Bapak, kini stroke, pikun dan sebelah matanya tidak bisa melihat. Setelah sekira empat puluh tahunan berjuang demi kehidupan keluarga. Ibu, hidungnya sudah lama kena penyakit polip dan berakibat pendengarannya bermasalah, alias tuli. Selama beliau “melayani” keluarga, penyakit itu selalu menemaninya.
Di masjid, tempat ibadah yang paling dekat dengan kediaman penulis, juga menjadi sumber pengetahuan tentang jejak perjuangan orang-orang. Ini saya ketahui saat melaksanakan shalat jamaah.
Ketika melaksanakan rutinitas ibadah tersebut, penulis mendapati tubuh-tubuh manusia yang nampak berbeda kondisi. Dari belakang tubuh mereka, penulis melihat, beberapa tubuh para jamaah tersebut ada yang sudah doyong (miring ke samping). Juga ada yang sudah bongkok. Ada pula yang berjalan sambil menyeret kakinya. Dan lain-lain.
Penulis meyakini, dulu tubuh para jamaah tersebut gagah perkasa. Langkahnya tegap, tubuhnya jenjang, tidak miring seperti sekarang. Barulah perubahan tubuh itu terjadi setelah mereka bekerja keras dalam waktu yang sangat lama. Karena bekerja mengangkat beban yang sangat berat, demi keluarga, demi orang lain dan diniatkan ibadah, di usia yang sudah tua, berpengaruh pada tubuhnya yang miring. Bahkan kelihatan akan roboh dan pada saatnya nanti pasti akan roboh.
Tubuh yang akan roboh, bongkok dan kaki yang tidak bisa lagi diangkat, adalah jejak perjuangan mereka. Memang tidak sepatriotis Abdurrahman bin Auf r.a yang giginya rontok dan kakinya pincang akibat ikut perang membela agama. Tidak pula seherois para pejuang perang kemerdekaan membela NKRI yang gugur bersimbah darah. Namun penting diakui, orang-orang yang telah menghasilkan jejak perjuangan demi keluarga dan manusia-manusia lainnya tersebut, sebagai pula kebanggaan di kehidupan ini.
Kehidupan ini menuntut diri menghasilkan hal-hal yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Sebab setelah kita tiada, tidak ada lagi kenang-kenangan yang berarti, selain jejak perjuangan yang berwujud kemanfaatan diri pada kehidupan itu.
Pertanyaannya, apakah Saudara sudah merencakan jejak perjuangan Saudara demi kemanusiaan? Kalau belum, segeralah Saudara bekerja keras, dengan niat yang lurus demi membahagiakan banyak orang...
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda