Dulu, saya penggila buku yang sangat idealis. Idealis,
maksudnya kalau saya hunting buku, maka yang saya cari adalah buku-buku
yang tebal. Berisi 300 halaman lebih. Pikir saya, buku dengan ketebalan yang
maksimal, adalah buku yang kaya isi. Jadi kita bisa enak, sebab punya
perbendaharaan materi melimpah dari buku-buku tebal itu.
Salah satu buku tebal koleksi saya berjudul Berperang
Demi Tuhan, karya Karen Armstrong. Buku ini berisi 400 halaman lebih. Saya beli
di Togamas di medio tahun 2002, ketika awal-awal toko buku yang terkenal itu
berdiri di Surabaya. Saat itu Togamas menyewa sebuah gedung di sebelah timurnya
Tunjungan Plaza (saya lupa namanya). Dan buku tersebut adalah buku tebal
pertama yang saya koleksi.
Ketika saya berhasil memperoleh buku tebal tersebut, ada
rasa bangga yang muncul tiba-tiba. Bagaimana tidak bangga, buku tebal dari
penulis keren dan terkenal akhirnya pun saya dapatkan. Jarang loh ada mahasiswa
yang kere seperti saya dulu, tapi sanggup membeli buku setebal itu. Sombong nih
yeee...
Jadilah, buku tebal itu tertata indah di rak buku di kamar
kos-kosan saya. Tiap hari saya pandangi terus-terusan. Memandang buku dengan
cover warna hitam yang ciamik, rasanya tenteram banget.
Terkadang saya baca beberapa halaman. Karena, membaca buku
yang kita beli itu hukumnya wajib. Buku bukan hanya dikoleksi, tapi ia pula dipelajari,
dicorat-coreti dan dipahami. Sayapun berhasil membaca buku tersebut, sekalipun cuma
beberapa halaman.
Setelah itu, saya berhasrat mengumpulkan lagi buku-buku
tebal lainnya. Akhirnya pun buku tebal yang saya koleksi lebih banyak lagi. Salah
satu yang paling tebal berjudul Hubungan Internasional yang ditulis
Holsti.
Tapi ternyata, masalah itu pun akhirnya muncul. Setelah lama
masalah itu sembunyi sambil malu-malu, di balik lembar-lembar buku tersebut. Masalah
itu berupa kesulitan saya untuk menamatkan bacaan. Kumpulan buku tebal, yang
indah dipandang, sekaligus membanggakan, tak lebih seperti koleksi buku
undang-undang yang tertapa rapi di perpustakaan sebuah Pengadilan Negeri. Jarang
terendus. Apalagi membaca sampai khatam.
Harus saya akui, buku-buku tebal yang saya koleksi, pada
akhirnya masih banyak yang belum tuntas membacanya, sampai sekarang. Bahkan,
ada pula yang berhasil saya baca tak lebih 10 halaman saja (modyar). Kayaknya berat
sekali menyelesaikan beban membaca buku-buku setebal itu.
Tapi sukurlah, saya memperoleh pelajaran yang lain dari
kejadian memalukan dan memilukan tersebut. Ialah, kesadaran saya pun muncul,
bahwa membaca buku-buku yang tipis, ya buku yang tidak sampai 200 halaman, itu
lebih mudah dan lebih mengena. Sebab tidak butuh waktu lama. Tidak butuh
konsentrasi berkepenjangan. Sehingga makna yang dihimpun, jugalah lebih
sedikit.
Buktinya sampai sekarang saya sudah menyelesaikan pembacaan
beberapa koleksi buku tipis saya. Paling mutakhir, menyelesaikan buku Renungan
Tasawuf, yang ditulis HAMKA, yang tebalnya cuma 156 halaman. Mengkhatamkan hanya
dalam waktu seminggu.
Kalau ada yang mengece saya, jika baca buku 156 halaman saja
butuh waktu seminggu, itu tergolong lama, ya biarin saja. Memang tingkat keberhasilan
seseorang melahap buku, berbeda dengan orang lain. Sebab pasti ada yang lebih
cepat dari saya, misalnya butuh cukup satu hari saja. Dan pasti ada pula yang
lebih lambat dari saya, misalnya tiga bulan baru khatam. Yang penting, khatam. Itu
poin besarnya.
Saya tidak kepingin meracuni para pembaca dengan cerita saya
itu, agar menjauhi buku tebal, karena buku tebal butuh kondisi fisik dan mental
yang kuat. Tidaklah seperti itu. Saya hanya ingin agar Anda yang membaca
tulisan ini bisa termotivasi. Untuk lebih giat lagi membaca buku, bagi yang
sudah terbiasa membaca buku. Atau memulai membaca buku, bagi yang belum
terbiasa membaca buku.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda