Langsung ke konten utama

MENCIUM KENING ORANG TUA

Saya dibuat berpikir dalam, setelah menyimak cuplikan ceramah Habib Novel bin Alaydrus Solo. Sambil “leyeh-leyeh” menemani bayi kecilku tidur, beberapa hari lalu, saya menyimak melalui youtube ceramah salah satu habib yang di setiap ulasannya selalu bertutur kata halus itu. Tidak heran, dengan tuturan halus, mengakibatkan yang hadir di setiap ceramahnya, atau yang menyimak jarak jauh melalui media sosial, pasti merasakan hatinya menjadi adem, tenteram dan bahagia.

Mafhum mukhalafah-nya, saya sangat tidak menyukai ceramah-ceramah berkontenkan kata-kata yang kasar dan kotor. Apalagi yang ditambah dengan mimik muka marah atau berapi-api. Kesan saya, para penceramah yang suka emosi, berkata kasar dan teriak-teriak itu, bukanlah berceramah. Tetapi itu orasi di medan peperangan. Sungguh saya tidak sreg menyimak ceramah model begituan. 

Dalam cuplikan ceramah itu, Habib Novel mengulas tentang kebiasaannya mencium kening ayahnya. Tiap pagi, beliau selalu menyempatkan melakukan rutinitas itu. Menurutnya, itulah simbol lugas bahwa beliau ingin dicatat berbakti kepada orang tuanya. Dan sangat takut dengan pelakat durhaka kepada orang tuanya.

Durhaka kepada orang tua, dalam perspektif Habib Novel setelah bertemu dengan salah satu gurunya yang hidup di Malaysia, adalah sebuah perilaku yang secara kuantitas sering dilakukan banyak manusia di rumahnya masing-masing. Kita akan mudah menemukan anak yang durhaka kepada orang tuanya sekalipun dengan level sepele di setiap rumah, daripada perilaku maksiat berupa minum-minuman keras, konsumsi narkoba atau berzinah.

Perilaku yang dikategorikan durhaka dan sering dilakukan tersebut memang terkesan sepele. Beberapa contohnya; menatap tajam orang tua, dipanggil pura-pura tidak mendengar, diperintah tapi pelaksanaannya selalu tidak tepat waktu, memalingkan muka saat berbicara, dll. Perilaku suul adab (etika yang buruk) tersebut sangat kerap terjadi, karena hal tersebut menurut pengertian kita, bukan termasuk kedurhakaan.

Dari banyaknya kuantitas terjadinya kedurhakaan anak kepada orang tuanya, Habib Novel pun berpendapat, bahwa itulah yang sebenarnya menjadi penyebab kerapnya terjadi bencana dan krisis di negeri ini. Jadi terjadinya bencana dan krisis ekonomi selama ini bukanlah disebabkan dari maksiat semacam berzinah atau minum minuman keras dan narkoba, melainkan dari kedurhakaan anak kepada orang tuanya, karena intensitas kejadian durhaka tersebut dilakukan lebih banyak. Kita sering salah menduga dan berprasangka.

Karena itulah Habib merayu, agar semua yang hadir segera merubah perilaku sepele tapi berefek samping buruk itu. Salah satunya dengan mencium kening ayah atau ibu. Sebagai tanda bahwa anak sangat mengormati dan ingin mendapat ridla dari orang tuanya.

Saya tidak akan mengurai secara rinci apa ganjaran kepada anak yang mencintai orang tuanya. Sebab saya sangat yakin, banyak orang yang sudah paham pembahasan itu. Karena itulah fokus tulisan ini tetap sesuai judul; mencium kening orang tua.

Wujud Cinta dan Penghormatan
Mengapa bahasan ini perlu saya tulis? Sebenarnya ketika berencana menulis tema ini, saya diliputi rasa ragu dan tidak yakin. Lha wong saya sendiri belum pernah melakukan aktifitas yang sangat mulia itu.

Kalau mencium tangan, hampir pasti sebelum berangkat beraktifitas, saya selalu menyempatkan untuk melakukannya. Sedang mencium kening dan memeluk orang tua saya, jujur belum pernah saya lakukan. Di sinilah alasan utama mengapa sebelum menulis ini, sempat muncul rasa malu.

Tapi karena menurut saya tulisan ini akan menjadi otokritik kepada diri saya sendiri, dan untung-untung menjadi pelecut kepada yang sempat membaca tulisan ini, maka tulisan inipun tidak bisa tidak harus diproduksi. Perihal kebaikan, kiranya memang lebih pantas ditulis dan dibaca banyak orang. Apalagi tentang “lelaku” penuh dayu semacam mencium kening orang tua.  

Saya sempat menjustifikasi, seseorang yang orang tuanya masih hidup, dan dia sering sekali mencium kening atau memeluk orang tuanya, pasti ia itu anak yang spesial. Ia seorang anak yang cintanya kepada orang tuanya, pasti jauh lebih besar dibanding kepada orang lain – kecuali kepada Nabinya.

Dan hal tersebut sempat pula disentil Habib Novel. Menurut Habib, kita selama ini memang sering salah kaprah. Kepada guru, ustad, kiai, ajengan atau habib yang dikaguminya, ketika bertemu, selalu ingin memeluk dan mencium orang-orang saleh tersebut. Tujuannya ingin “kecipratan” barakah dari mereka. Namun ironisnya, kepada orang tuanya sendiri, ia tidak pernah sama sekali melakukan hal yang sama itu. Padahal jika diukur, keberkahan orang tua kita pasti lebih besar dari orang lain. Ini diktum yang sudah digariskan Nabi Saw.

Hal tentang anak, memanglah tidak ada hijab tentang hubungan orang tua dan Tuhannya. Biarpun, mohon maaf, orang tuanya bukan orang yang saleh, namun ketika ia berdoa kebaikan untuk anaknya, pasti akan didengar oleh Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa. Apalagi ketika orang tuanya adalah sosok yang saleh!

Teringat Cerita Teman
Kisah Habib Novel itu mengingatkan saya pada seorang teman sealmamater saat dulu sekolah di MTs, yang beberapa bulan silam berkunjung ke rumah saya. Ceritanya hampir sama. Tentang perilaku penuh dayu anak kepada orang tuanya.

Teman saya itu bercerita setelah lama kami mengobrol, bahwa sebenarnya hari itu adalah seratus hari kematian bapaknya. Ia memutuskan minta izin kepada lembaga sekolahnya di Sidoarjo, untuk tidak mengajar di hari itu. Libur sementara sehari itu akan digunakan untuk mempersiapkan acara “selametan” seratus hari bapak tercintanya itu.

Ia memang mengakui sangat sayang kepada bapaknya. Apalagi semenjak bapaknya terkena stroke. Sampai datang kematiannya setelah sebelumnya menjadi “kembang bayang” selama beberapa tahun. Yang berakibat bapak yang disayangnya, tidak bisa beraktifitas seperti biasanya.

Menurut ceritanya ketika menjelang kematian bapaknya, saat itu ia berada di rumah. Tidak terbesit perkiraan apapun tentang ajal yang hendak menjemput nyawa bapaknya di hari itu. Dalam bahasa infotainment, tidak ada firasat sama sekali. Bahkan sedianya ia akan kembali lagi ke Sidoarjo, karena di siang harinya ada jam mengajar.

Tuturan yang membuat jiwa saya bergolak, saat teman saya itu menceritakan bahwa sebelum ia berangkat kembali ke Sidoarjo, ia sempat memeluk dan mencium kening bapaknya. Sambil memeluk ia berbisik, “Pak, kula bade berangkat teng Sidoarjo. Mugi-mugi bapak sehat-sehat mawon. Jenengan dunga, mugi-mugi kula gih sehat-sehat mawon. (Pak, saya akan berangkat ke Sidoarjo. Semoga bapak sehat-sehat saja. Berdoa ya Pak, mudah-mudahan saya juga sehat-sehat saja)” Tidak tahunya, setelah ia menempuh perjalanan beberapa kilo meter, ia memperoleh kabar bahwa bapaknya telah wafat.

Sungguh, perpisahan antara teman saya dan bapaknya itu adalah sebuah perpisahan yang sangat indah. Sangat syahdu. Saya akan selalu mengingat cerita syahdu ini.

Saya berbaik sangka, bapak yang beruntung tersebut akan mengenang atas semua perlakuan anaknya itu menjelang nyawa berpisah dari badan. Saya juga meyakini, pelukan dan ciuman anaknya menjelang kematiannya itu, ibarat air mineral yang jernih yang menjadi bekal keberangkatannya menuju keharibaan Ilahi. Atau berupa madu yang sangat legit yang akan menyehatkan tubuh. Bapaknya itu pasti tersenyum bahagia di alam kuburnya.

“Duhai bapak dan ibu, yang setiap hari kupandang dan kuajak berdialog tentang kehidupan. Meskipun anakmu ini belum pernah mencium dan memelukmu secara harfiah, tapi sejak lama di dalam batin ini, tiada henti aku berusaha selalu memeluk dan mencium keningmu.


“Aku tahu bagaimana engkau berdua berkorban sekuat jiwa raga demi anak-anakmu. Aku sangat sadar bagaimana kecutnya kehidupan, pahitnya persoalan dan laranya kesakitan saat problem membesarkan anak-anakmu, bertubi-tubi menimpamu. Apalagi saat persoalan itu datang secara berjamaah. Karena itu, hanya dari engkaulah wasilah kebahagianku aku dapatkan dari Tuhan. Dan untuk itulah aku sandarkan dan aku gadaikan hidupku ini kepada engkau berdua.”  Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...