Langsung ke konten utama

Qonaah Bagi si Miskin dan si Kaya

Salah satu nasihat yang paling banyak disampaikan para muballigh adalah sifat qonaah. Yang pada intinya mengharap agar siapapun menerima apa adanya pemberian dari Tuhan. Berapapun jumlahnya, apapun bentuknya, kita tak baik untuk memprotesnya. Karena itu qonaah mengkostruk diri kita menjadi orang yang tenang dan sabar.

Qonaah sendiri bermakna merasa puas atas pemberian yang sudah diterima. Rasa puas itu dikesankan dengan perilaku nyata berupa ungkapan syukur dan menghindari kerakusan. Rakus mengumpulkan terus menerus harta, sebab merasa diri belum cukup, belum puas, hingga kapanpun.

Namun, ini kesan saya, impresi dari banyak nasihat dakwah tentang qonaah tersebut, lebih banyak ditujukan kepada orang miskin saja. Makanya tidak aneh setiap materi dengan tema qonaah, banyak kata fakir dan miskin diucapkan. Maksudnya, orang fakir dan miskin, yang serba kekurangan itu seyogianya menerima sedikit rezeki itu. Dengan bersikap qonaah.

Sebenarnya secara sosiologis, orang yang tergolong miskin, sudah mencapai derajat qonaah ini. Buktinya, sampai sekarang tidak pernah terjadi kerusuhan sosial karena himpitan kemiskinan itu. Harga gabah anjlok, kerusuhan tak terjadi. Harga garam anjlok, masyarakat tetap tenang.

Artinya, mereka boleh miskin, tetapi tak boleh mengikutinya dengan tindakan yang merusak tatanan dan keamanan. Dan itu menunjukkan, situasi negara yang kondusif, salah satunya adalah wujud prestasi orang-orang yang terpinggirkan itu yang mampu menahan diri dengan sikap qonaahnya.

Tapi mengapa dakwah qonaah selalu menyasar kepada mereka, orang-orang yang terpinggirkan itu? Dalam pemahaman yang berbeda seakan segmentasi dakwah tentang qonaah tak pantas menyasar kepada para orang kaya. Para muballigh, penceramah dan pengkhotbah sangat sedikit sekali menyampaikan tekanan qonaah kepada yang kaya-yang kaya itu.

Setidaknya ini perasaan saya loh ya. Jikalau Sodara punya pendapat lain, punya pengalaman mendengar ada juga isi dakwah qonaah yang ditujukan bagi orang kaya, ya itu hak asasi Sodara. Tapi saya meyakini, persentase dakwah qonaah bagi orang miskin lebih banyak dibanding kepada orang kaya.

Saya beritahukan saja berdasar pengalaman saya sendiri. Bahwa semenjak kecil hingga menjadi bapak-bapak seperti sekarang ini, sama sekali saya belum pernah mendengar dakwah qonaah yang ditujukan kepada orang kaya. Selalu dan selalu tema itu ditujukan kepada orang-orang yang hidupnya serba tergencet dan kepepet, serta korat-koret (uang hampir habis).

Sayapun membatin, ini namanya kita sudah bersikap tidak adil. Kita tidak adil bersikap terhadap kemiskinan, menyuruh kepada para rang-orang miskin untuk selalu qonaah. Padahal sebenarnya tak usah diberitahukan, toh mereka sudah qonaah sejak dulu. Mereka menerima pemberian yang jumlahnya lebih sedikit dibanding yang diterima orang kaya, dengan rasa ridla, sejak lama.

Pertanyaannya: apakah memang perlu orang kaya itu qonaah? Seperti di penyampaian awal, setiap orang wajib qonaah. Si kaya, demikian juga wajib qonaah. Malah sebenarnya, menurut hemat saya yang bodoh ini, qonaah lebih berat penekanannya kepada yang kaya. Sebab kalau tidak, akan banyak kesesatan yang ia lakukan.

Tengoklah kasus korupsi. Siapakah yang terbanyak melakukannya? Siapa yang paling sering ditangkap tangan KPK? Semua jawaban mengarah kepada para pejabat publik atau politisi atau pengusaha, yang merasa dirinya kurang harta. Sehingga berusaha dengan cara sesat dengan perilaku korupsi, memaling harta negara. Harta milik rakyat.

Dan kita tahu sendiri, para pejabat publik, politisi dan pengusaha adalah orang-orang kaya. Orang-orang yang sebenarnya tidak perlu gundah untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Karena harta yang ia miliki sudah sangat cukup dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan itu. Bahkan kelebihannya sangat melimpah.

Tengok pula terjadinya kasus penyalahgunaan narkoba – ekstasi, sabu-sabu, ganja, dan lain-lain – bahwa hampir semua yang melakukannya adalah orang-orang kaya. Mereka terdiri para artis, pengusaha dan orang kaya lainnya.

Lebih terutama para artis, mereka sudah dikenal sebagai orang yang kaya raya. Hartanya cukup dimakan tujuh turunan. Tetapi banyak di antara mereka yang tersangkut narkoba. Yang menunjukkan sebuah kesan jika harta yang dipunyai itu tidak disikapi dengan rasa syukur. Malah disalahgunakan untuk hal-hal yang termasuk perilaku keji di mata agama.

Lagi-lagi seperti ulasan awal, manifestasi utama qonaah adalah rasa syukur tersebut. Sedang implementasi rasa syukur itu, kita pergunakan harta kita untuk yang halal-halal, bukan yang haram-haram. Apalagi keji dan menjijikkan, yang merusak kewarasan otak kita itu. Berupa narkoba dan minuman yang memabukkan.

Keserakahan tersebut, yang mengakibatkan tidak munculnya qonaah, dan malah memunculkan sikap-sikap yang buruk itu, ternyata memang resiko yang tidak bisa ditolak. Seseorang yang kaya, tapi ingin selalu terus memperkaya diri, akan terlilit dengan hartanya itu. Hingga membuat hidupnya menjadi sulit.

Imam Ja’far al-Baqir, seperti dinukil An-Naraqi dalam karyanya Jami’us Sa’adah memberikan perumpamaan seseorang yang terlalu rakus pada dunia (tidak qonaah).

MATSALUL HARISHI ‘ALAD DUNYA, KAMATSALI DUDATIL QAZZI, KULLAMAZ DADAT ‘ALA NAFSIHA LAFFA A KANA AB’ADU LAHA MINAL KHURUJI, HATTA TAMUTA GHAMMAN

“Orang yang serakah pada dunia, seperti ulat sutra, semakin ia menyelimuti dirinya dalam kepompong, semakin berkurang kesempatannya untuk melepaskan diri darinya, hingga akhirnya ia mati karena kepedihan.”

Wallahu a’lam bisshawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...