Salah satu nasihat yang paling
banyak disampaikan para muballigh adalah sifat qonaah. Yang pada intinya
mengharap agar siapapun menerima apa adanya pemberian dari Tuhan. Berapapun
jumlahnya, apapun bentuknya, kita tak baik untuk memprotesnya. Karena itu
qonaah mengkostruk diri kita menjadi orang yang tenang dan sabar.
Qonaah sendiri bermakna merasa
puas atas pemberian yang sudah diterima. Rasa puas itu dikesankan dengan
perilaku nyata berupa ungkapan syukur dan menghindari kerakusan. Rakus
mengumpulkan terus menerus harta, sebab merasa diri belum cukup, belum puas,
hingga kapanpun.
Namun, ini kesan saya, impresi
dari banyak nasihat dakwah tentang qonaah tersebut, lebih banyak ditujukan
kepada orang miskin saja. Makanya tidak aneh setiap materi dengan tema qonaah,
banyak kata fakir dan miskin diucapkan. Maksudnya, orang fakir dan miskin, yang
serba kekurangan itu seyogianya menerima sedikit rezeki itu. Dengan bersikap
qonaah.
Sebenarnya secara sosiologis,
orang yang tergolong miskin, sudah mencapai derajat qonaah ini. Buktinya, sampai
sekarang tidak pernah terjadi kerusuhan sosial karena himpitan kemiskinan itu.
Harga gabah anjlok, kerusuhan tak terjadi. Harga garam anjlok, masyarakat tetap
tenang.
Artinya, mereka boleh miskin,
tetapi tak boleh mengikutinya dengan tindakan yang merusak tatanan dan
keamanan. Dan itu menunjukkan, situasi negara yang kondusif, salah satunya
adalah wujud prestasi orang-orang yang terpinggirkan itu yang mampu menahan
diri dengan sikap qonaahnya.
Tapi mengapa dakwah qonaah selalu
menyasar kepada mereka, orang-orang yang terpinggirkan itu? Dalam pemahaman
yang berbeda seakan segmentasi dakwah tentang qonaah tak pantas menyasar kepada
para orang kaya. Para muballigh, penceramah dan pengkhotbah sangat
sedikit sekali menyampaikan tekanan qonaah kepada yang kaya-yang kaya itu.
Setidaknya ini perasaan saya loh
ya. Jikalau Sodara punya pendapat lain, punya pengalaman mendengar ada juga isi
dakwah qonaah yang ditujukan bagi orang kaya, ya itu hak asasi Sodara. Tapi
saya meyakini, persentase dakwah qonaah bagi orang miskin lebih banyak
dibanding kepada orang kaya.
Saya beritahukan saja berdasar
pengalaman saya sendiri. Bahwa semenjak kecil hingga menjadi bapak-bapak seperti
sekarang ini, sama sekali saya belum pernah mendengar dakwah qonaah yang
ditujukan kepada orang kaya. Selalu dan selalu tema itu ditujukan kepada
orang-orang yang hidupnya serba tergencet dan kepepet, serta korat-koret (uang
hampir habis).
Sayapun membatin, ini namanya
kita sudah bersikap tidak adil. Kita tidak adil bersikap terhadap kemiskinan,
menyuruh kepada para rang-orang miskin untuk selalu qonaah. Padahal sebenarnya
tak usah diberitahukan, toh mereka sudah qonaah sejak dulu. Mereka menerima
pemberian yang jumlahnya lebih sedikit dibanding yang diterima orang kaya,
dengan rasa ridla, sejak lama.
Pertanyaannya: apakah memang
perlu orang kaya itu qonaah? Seperti di penyampaian awal, setiap orang wajib
qonaah. Si kaya, demikian juga wajib qonaah. Malah sebenarnya, menurut hemat
saya yang bodoh ini, qonaah lebih berat penekanannya kepada yang kaya. Sebab
kalau tidak, akan banyak kesesatan yang ia lakukan.
Tengoklah kasus korupsi. Siapakah
yang terbanyak melakukannya? Siapa yang paling sering ditangkap tangan KPK?
Semua jawaban mengarah kepada para pejabat publik atau politisi atau pengusaha,
yang merasa dirinya kurang harta. Sehingga berusaha dengan cara sesat dengan perilaku
korupsi, memaling harta negara. Harta milik rakyat.
Dan kita tahu sendiri, para
pejabat publik, politisi dan pengusaha adalah orang-orang kaya. Orang-orang
yang sebenarnya tidak perlu gundah untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Karena harta yang ia miliki sudah sangat cukup dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan
itu. Bahkan kelebihannya sangat melimpah.
Tengok pula terjadinya kasus
penyalahgunaan narkoba – ekstasi, sabu-sabu, ganja, dan lain-lain – bahwa
hampir semua yang melakukannya adalah orang-orang kaya. Mereka terdiri para
artis, pengusaha dan orang kaya lainnya.
Lebih terutama para artis, mereka
sudah dikenal sebagai orang yang kaya raya. Hartanya cukup dimakan tujuh
turunan. Tetapi banyak di antara mereka yang tersangkut narkoba. Yang
menunjukkan sebuah kesan jika harta yang dipunyai itu tidak disikapi dengan
rasa syukur. Malah disalahgunakan untuk hal-hal yang termasuk perilaku keji di
mata agama.
Lagi-lagi seperti ulasan awal,
manifestasi utama qonaah adalah rasa syukur tersebut. Sedang implementasi rasa
syukur itu, kita pergunakan harta kita untuk yang halal-halal, bukan yang
haram-haram. Apalagi keji dan menjijikkan, yang merusak kewarasan otak kita
itu. Berupa narkoba dan minuman yang memabukkan.
Keserakahan tersebut, yang
mengakibatkan tidak munculnya qonaah, dan malah memunculkan sikap-sikap yang
buruk itu, ternyata memang resiko yang tidak bisa ditolak. Seseorang yang kaya,
tapi ingin selalu terus memperkaya diri, akan terlilit dengan hartanya itu.
Hingga membuat hidupnya menjadi sulit.
Imam Ja’far al-Baqir, seperti
dinukil An-Naraqi dalam karyanya Jami’us Sa’adah memberikan perumpamaan
seseorang yang terlalu rakus pada dunia (tidak qonaah).
MATSALUL HARISHI ‘ALAD DUNYA,
KAMATSALI DUDATIL QAZZI, KULLAMAZ DADAT ‘ALA NAFSIHA LAFFA A KANA AB’ADU LAHA
MINAL KHURUJI, HATTA TAMUTA GHAMMAN
“Orang yang serakah pada dunia,
seperti ulat sutra, semakin ia menyelimuti dirinya dalam kepompong, semakin
berkurang kesempatannya untuk melepaskan diri darinya, hingga akhirnya ia mati
karena kepedihan.”
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda