Langsung ke konten utama

Tak Ada Air di Sawah

Persawahan di desaku sedang mengalami kekeringan. Sekira sudah setahun ini problem pertanian itu terjadi. Aneh memang, daerah di pinggiran Sungai Brantas kok sawahnya sampai kering. Padahal saat tak ada hujan pun, suplai air dari sungai bersejarah itu tak pernah berhenti. Saluran irigasi yang tertata rapi selama ini telah memudahkan itu semua.

Maka bisa diterka titik soalnya, ialah mandegnya pembagian air dari Dam pusatnya. Iya, betul sekali, Dam yang berada di Desa Menturus Kecamatan Kudu Kabupaten Jombang memang mengalami kerusakan. Tak tanggung-tanggung kerusakan terjadi pada karet yang menjadi penahan utama arus air dari arah barat. Akibatnya tak ada air tersalurkan ke daerah sebelah utara sungai.

Padahal kita telah menyadari bahwa air itu kebutuhan paling penting bagi semua mahluk hidup – tanaman padi salah satunya. Manusia bisa tahan tidak makan, tapi tidak akan tahan kalau tidak minum. Begitu pula binatang, dan apalagi tumbuhan. Sebab air adalah elemen utama kehidupannya.

Sehingga tepat sekali menurut Thales, filsuf paling awal yang lahir pada tahun 624 SM di Yunani, yang dijuluki sebagai Bapak Filsafat menyatakan, bahwa sebenarnya alam semesta ini berasal dari air. Jadi manusia, binatang dan tumbuhan, dulunya adalah perwujudan dari air. Oleh karena itu sekali lagi, air memang penting bagi kehidupan. Dan persawahan adalah salah satu di dalam aspek penting kehidupan manusia.  

Tapi entahlah, mengapa pihak yang berkompeten atau berwenang dalam soal irigasi itu tidak sesegera memperbaikinya. Mungkin memang masalah di Dam adikarya Ir. Sutami itu sungguh besar. Sehingga pembahasannya agak lama. Maklumlah, butuh banyak sekali anggaran untuk menyelesaikan problem tersebut.

Namun yang jelas akibat nyata dari problem tersebut di samping persawahan menjadi kering, adalah gagal panennya para petani. Mereka sudah menanam padi. Padinya sendiri sudah dekat sekali akan di-ani-ani. Karena tak ada air yang dikonsumsi padi, maka matilah mereka. Gagal panen membuat kerugian besarpun tak bisa dihindari.

Menurut seorang petani yang bercerita ke saya, di desaku itu persawahan dibagi dua blok: sebelah barat jalan dan sebelah timur jalan. Di sebelah barat jalan ada sekitar 200 lebih bidang sawah. Sementara di sebelah timur, petani tersebut tidak bisa memperkirakan jumlah sebenarnya.

Tapi kalau dipandang sekilas, menurut hemat saya jumlah bidang sawah antara blok barat dan timur tidak jauh berbeda. Jumlahnya di kitaran angka dua ratus bidang juga. Sehingga jika dikalkulasi, ada sekitar 400 lebih bidang sawah yang ada di desaku.

Dari kalkulasi petani tersebut, kerugian dari gagal panen tahun ini diperkirakan sejumlah satu juta rupiah perbidang. Kalau dikalikan empat ratus bidang lebih, maka jumlah kerugian yang diderita para petani, kurang lebih empat ratus juta rupiah. Sesuai dengan biaya penanaman dan lain-lainnya yang sudah mereka keluarkan.

Pantaslah banyak sekali orang-orang di desaku mengeluh dengan masalah itu. Sawah sudah ditanami padi, tapi air tak kunjung datang, tanahpun kering, dan padipun mati sia-sia. Apalagi selama ini memang para petani di desaku sangat dimanja dengan adanya irigasi dari Sungai Brantas itu. Sehingga wajar ketika tersendat beberapa bulan, merontalah para petani itu.

Para petani di desaku memang menderita. Kerugian yang mereka tanggung bahkan ada yang berjumlah besar. Tetapi ada fenomena yang unik di balik cobaan yang terjadi di sektor pertanian itu. Bahwa memang mereka menanggung rugi, namun saya melihat banyak dari para petani yang tidak bersedih terus menerus. Malah cenderung mereka tetap hepi-hepi salma, eh maksudku hepi-hepi saja, menerima kenyataan menyakitkan itu.

Banyak sekali bukti yang menguatkan kehepian para petani di desaku yang tahun ini merana itu. Salah satunya saat saya berseloroh kepada seorang petani, dengan selorohan pertanyaan: wah habis ini panennya sukses dong? Ya, pertanyaan menggoda, sebab saya ingin tahu bagaimana respon jujur dari petani yang saya tanya itu. Ternyata seorang petani tulen itu menjawab dengan jujur, bahwa panen adalah khayalan belaka. Sebab yang ada itu kerugian yang harus ditelan, yang mana ia sendiri menderita sebesar 9 juta rupiah.

Yang menggembirakan menurut penilaian saya, ia menjawab dengan menunjukkan raut muka tidak bersedih. Raut muka yang cengengas-cengenges. Artinya, kesedihannya masih bisa dikontrol. Dalam makna yang lebih psikologis, mereka menerima dengan lapang dada.

Dari beberapa kali saya menggoda para petani lainnya dengan pertanyaan sindiran itupun, memberikan saya pemahaman yang lain, jika para petani yang rugi tersebut sanggup mencari makna sebenarnya dari apa yang terjadi. Salah satunya yang saya serap, mereka sadar selama ini selalu termanjakan dengan adanya aliran air dari Sungai Brantas, tidak seperti desa-desa lainnya yang mengandalkan tadah hujan atau sumur bor. Sehingga ketika diberi cobaan di sektor pertanian dalam setahun ini, mereka tidak terlalu mengeluh, lha wong hanya setahun ini saja.

Dalam sudut pandang psikologi agama, seperti dalam buku Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis karya Hanna Djumhana Bastaman, bahwa sikap menerima atas penderitaan itu memang tepat sekali. Supaya seseorang tidak akan terputus untuk meraih makna dalam kehidupan ini.

Tapi harus ada prosedur yang harus dilampaui, dimana yang dilanda penderitaan harus menjalani penerimaan diri (self acceptance) terlebih dahulu. Penerimaan diri tersebut merupakan tahapan paling krusial dalam proses menemukan makna. Tahapan krusial ini juga mempunyai prosedur lainnya berupa proses pemahaman diri (self insight) dan pengubahan sikap (changing attitude). Tanpa melalui tahapan penting ini, makna hidup akan sulit diperoleh.

Namun saya kira, para petani di desaku dengan sikap neriman atas tersendatnya suplai air dari Sungai Brantas tersebut, tidak boleh disuruh bersikap seperti itu terus menerus. Sedangkan para stakeholder di bidang irigasi sawah sendiri tak kunjung berikhtiar mencari solusi. Itu namanya tidak seimbang.

Seyogianya dengan terjadinya kerusakan Dam yang berakibat gagal panen di beberapa desa yang dialiri, para pemangku kebijakan harus merespon cepat, sat set, dan tepat sasaran. Sebab itu memang tugas yang harus ia emban dan laksanakan. Apalagi ini berurusan dengan hajat hidup ribuan orang. Maka tidak bisa tidak, sesegera mungkin kerusakan itu wajib ain dibenahi. Kalau perlu karet damnya dibelikan yang baru.

Bahkan kalau bisa merekalah yang harus disuruh merenung atas kejadian ini. Merenung tentang asal usul nasi yang mereka makan setiap hari. Bahwa nasi berasal dari beras. Beras hasil beli dari sebuah warung. Warung hasil kulak dari agen atau pabrik selep padi. Padi diperoleh dari petani. Sementara petani padi sendiri tak akan mampu memperoleh tanaman padi yang aduhai, kalau tanpa ada konsumsi air yang memadai. Wallahu a’lam bisshawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...