Sumber foto: Hai-Online.com
Dalam setiap pertandingan olah raga, kekalahan adalah sebuah
kenyataan yang menyakitkan. Apalagi kekalahan itu terjadi di babak grand final,
ketika yang kalah itu sebelumnya digadang akan menang mudah melibas lawannya. Selangkah
lagi menuju juara, ternyata berujung kegagalan.
Tidak terhitung lagi betapa banyak olahragawan yang kalah di
sebuah pertandingan penting, menangis sedih. Mereka menyesali kekalahan itu. Mereka
menganggap pasti ada yang salah. Dan itu menunjuk pada strategi yang mereka
jalankan. Strategi yang bisa terbaca dan dikalahkan oleh strategi lawan.
Apalagi kekalahan yang dialami melawan musuh bebuyutan. Terjadinya
di kandang sendiri pula. Rumah atau markas sendiri, yang dalam kalkulasi
normal, seharusnya tuan rumahlah yang menang. Sebab kita tahu, bertanding di
kandang sendiri, tuan rumah lebih diuntungkan.
Tuan rumah diberi fasilitas khusus berupa jatah penonton
yang lebih banyak. Penonton banyak, artinya dukungan melimpah, yel-yel keras
digaungkan, teriakan-teriakan diluapkan. Itu akan mengganggu konsentrasi lawan.
Dan itu kekuatan non teknis di olahraga yang sering menentukan hasil akhir pertandingan.
***
Di dunia sepak bola, kekalahan sebuah tim di kandang sendiri
melawan musuh bebuyutan, terjadi sangat banyak sekali. Salah satu contohnya di liga
Eropa. Kita pasti kenal dengan istilah El-clasico. Sebuah pertandingan klasik di
Liga Spanyol, yang mempertemukan dua tim raksasa musuh bebuyutan, Real Madrid
vs Barcelona.
Masing-masing pernah mengalahkan. Baik di kandang sendiri. Maupun
di kandang lawan. Segala kemungkinan bisa terjadi. Keduanya tak bisa
menghindar, sebab tiap tahun mereka pasti berhadapan.
Seperti di tahun ini, kekalahan tuan rumah di kandang
sendiri juga terjadi. Kali ini yang menjadi pesakitan adalah Real Madrid. Dia
gagal melaju ke tahap selanjutnya pada kompetisi Copa del Rey, setelah pada
pertandingan kedua di Santiago Bernabeu kandangnya sendiri pada 27 Februari,
dibabat habis 0-3 oleh Barcelona.
Karena kekalahan yang sangat menyakitkan dari musuh
bebuyutan itulah, membuat Real Madrid gagal total meraih satupun tropi di seluruh
kompetisi edisi 2018-2019. Padahal beberapa tahun sebelumnya, Real Madrid
merupakan club bola yang langganan juara.
Pasca kekalahan yang menyakitkan itu, ternyata sama sekali
tidak muncul tindakan anarkis. Tidak ada diberitakan, misalnya, para pendukung
Real Madrid merusak fasilitas umum, menjarah pertokoan atau menyerang para
pendukung Barcelona. Justru yang diberitakan, adalah pengakuan kekeliruan
menerapkan strategi yang dijalankan Real Madrid, sehingga tidak mampu
membendung tiki-taka Barcelona.
Jadi mereka menerima kekalahan itu. Dengan cara yang sportif
dan elegan. Mereka legawa tahun ini Barcelonalah tim tersukses di Spanyol. Melangkahi
dirinya yang sebentulnya lebih sepuh dibanding Barcelona.
Dan ada satu lagi sikap sportif dan progresif dari kegagalan
demi kegagalannya itu, yaitu: mereka menata ulang kekuatannya di kompetisi
tahun 2019-2020. Dengan memunculkan harapan kuat, sukses besar di tahun anyar.
Padahal jika ditilik secara politis, seandainya ada tindakan
anarkis pendukung Madrid kepada pendukung Barcelona, beberapa pihak akan
mengakui sebagai hal wajar. Sebab tidak bisa ditutupi, banyak pendukung
Barcelona yang terafiliasi dengan gerakan separatis Catalunya. Yang selama ini
menginginkan wilayahnya merdeka dari Spanyol.
***
Di negeri kita beberapa hari yang lalu, saat timnas kita
ditekuk Malaysia 2-3, justru yang terjadi kebalikannya. Jauh-jauh hari kita telah
diberitahu iklan tivi tentang pertandingan itu. Kita juga sudah menata mental
agar pertandingan itu punya hasil yang positif. Timnas kita harapkan bisa
menang melawan musuh bebuyutan, Malaysia.
Wajar kita berharap itu, sebab kita bertanding di Gelora
Bung Karno, stadion kebanggaan anak bangsa. Kita tahu sendiri kapasitas
penonton stadion ini, hampir 100.000 kursi. Selalu ketika timnas kita main,
penontonnya membeludak. Mereka bersorak sorai sepanjang pertandingan. Mendukung
timnas merah putih yang sepi prestasi beberapa puluh tahun ini.
Tapi yang kemarin, kita dihenyakkan dengan perilaku yang
sebetulnya di luar konteks sepak bola yang sebenarnya. Karena timnas kalah,
atau karena terprovokasi suporter lawan, terjadilah tindakan anarkis. Beberapa suporter
kita melempari suporter Malaysia memakai botol air mineral. Beberapa bahkan ada
yang berhasil memukul suporter Malaysia hingga cidera dan terluka.
Tidak itu saja. Selama beberapa jam pasca pertandiangan
usai, ada tindakan yang lebih anarkis, mengurung suporter Malaysia di dalam
stadion. Sehingga suporter yang sebetulnya tamu kita itu, baru bisa diungsikan petugas
sekitar pukul 00.00 WIB. Itu sungguh perbuatan suporter yang keluar dari
sportifitas.
Timnas kita memang kalah. Tentu saja kita semua sakit
merasakan kekalahan dari musuh bebuyutan itu. Tapi, karena ini permainan sepak
bola, kita harus tetap sportif menerima kekalahan. Juga memasang sikap jeli dan
sportif. Yang menyimpulkan bahwa memang kekalahan timnas, akibat permainannya
yang buruk.
Lihat saja pertahanan timnas. Lihat pula lapangan tengahnya.
Boleh dibilang, malam itu kalah total dari pemain Malaysia. Belum lagi tentang
stamina. Jelas sekali di babak kedua pemain kita kedodoran. Jadi itulah sebagai
sebab masuk akal kekalahan. Biangnya kegagalan. Kita tak boleh memungkirinya.
***
Setiap kerusuhan di sepakbola pasti berujung pada turunnya
sanksi. Kita sekarang menunggu sanksi itu. AFC atau FIFA akan menghukum apa
kita, kita belum tahu. Namun pasti hukuman itu akan merugikan bagi kita.
Bukan rugi dari segi sepak bola saja pasca kebodohan sikap
beberapa suporter kita itu. Bahkan sikap itu memunculkan tanya, kemana itu
sifat ramah yang selalu menjadi “trademark” kita selama ini? Kemana pula sifat nerima
ing pandum, menerima realitas apapun hasil pertandingan, yang menjadi
filosofi kita? Bahkan, pantaskah kita dikatakan sebagai bangsa yang berbudaya
luhur jika sekedar keramahan kepada tamu dan nerima ing pandum hasil
pertandingan itu saja sulit diwujudkan?
Saya kira pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu kita jawab
dengan tergesa-gesa. Kita hari ini butuh merenungi diri. Mengevaluasi diri. Bahkan
membongkar diri. Mulai dari yang terlihat, sampai yang ada tersimpan di benak
kita, yang semua orang tak tahu, kecuali kita. Bahkan kita butuh mengakui bahwa
selama ini memang ada yang tidak tepat pada diri kita.
Ketidaktepatan itu, salah satunya, kebelumpahaman kita bahwa
sepak bola itu hanya terjadi di dalam lapangan, dimana ada 22 pemain saling
berhadapan dengan berebut hanya satu bola untuk diceploskan ke gawang lawan. Karena
itu sepak bola bukanlah melemparkan botol, batu, petasan atau memukul siapapun
yang ada di stadion akibat timnya kalah. Yang terakhir ini murni tindakan
premanisme.

Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda