Hampir tiap hari akun facebook saya selalu dikirimi berita ter-update dari beberapa teman yang sekarang sedang berhaji di Makkah dan Madinah. Mereka memposting foto narsis dirinya yang berada di beberapa tempat-tempat tertentu yang penuh nilai sejarah dan sakralitas.
Yang membuat hati saya ngeh, saat satu teman saya memposting foto dirinya berada di Masjidil Haram dan di belakang dirinya terpampang jutaan manusia muslim dari seluruh dunia sedang melaksanakan thawaf mengelilingi Kakbah. Katanya itu thawaf wada’, thawaf perpisahan, dan segera beberapa hari yang akan datang mereka akan kembali ke tanah airnya masing-masing. Termasuk juga jamaah haji negeri kita tercinta ini.
Mereka akan disambut dengan suka cita dan sekaligus keharuan. Pecah tangisan di mana-mana, serasa si Abah dan Umi baru itu seperti terbebas dari penyanderaan para perompak. Sehingga emosi hati tidak bisa ditahan.
Keluarga para Abah dan Umi baru itu berharap banyak dari mereka, para fresh graduate ibadah haji. Biasanya salah satu yang mereka tunggu adalah lantunan do’anya, yang katanya mudah dimakbul Tuhan. Dan tidak lupa oleh-olehnya juga dong.
Saya sempat bertanya di dalam hati, apa memang yang kita tunggu dari Abah dan Umi itu hanya itu-itu saja? Hanya doa, oleh-oleh dan kebanggaan akan gelar H atau Hj di depan namanya? Apakah tidak dimungkinkan ketika para Abah dan Umi baru itu tiba di tanah air, kemudian kita ajukan tugas-tugas suci dan tidak kalah nilai kebaikannya dengan pahala haji kepada mereka? Ya kira-kira pengajuannya seperti ini.
“Selamat datang para Abah dan Umi. Ahlan wa sahlan fi Indonesia. Selamat atas keberhasilan Anda melaksanakan rangkaian manasik haji awal hingga akhir.”
Dengan wajah penuh senyum mereka membalasnya, “Ya ya. Makasih-makasih. Alhamdulillah kami telah sukses melaksanakan ibadah haji secara paripurna. Luar biasa di sana, suasananya lain dari pada yang dulu-dulu. Thawaf lancar. Sai lancar. Wukuf juga lancar. Malah saat wukuf di Arafah, suasana sangat santei. Ditambah pas jumrah di Mina, jalanan begitu teratur. Tidak seperti tahun-tahun lalu. Katanya sih, disebabkan para pengikut Syiah tahun ini tidak ada yang menginjakkan kakinya di Makkah dan Madinah. Ya jadinya kami lancar-lancar saja. Bisa khusyuk beribadah.”
Saya mendengar dengan serius cerita dari para Abah dan Umi baru itu, “Abah dan Umi, kita patut bersyukur dengan kelegaan panjenengan ketika berhaji itu. Namun Abah dan Umi, kami menyambut kedatangan panjenengan ini, tentu ada harapan besar yang kami pintakan dari Abah dan Umi......”
Para Abah dan Umi memotong omongan saya, “Oh ya, pasti nanti kami akan berdoa kepada Tuhan. Tentunya tentang urusan kamu yang masih kere itu, kan?”
“Bukan Abah, Umi. Yang kami ingin sampaikan bahwa panjenengan ini telah melakukan kesempurnaan agama. Maka kami meminta agar Abah dan Umi bisa menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Pertama, mampu menuntaskan problem angka pengangguran dan kemiskinan. Kedua, mampu merekatkan rasa persatuan dan kesatuan kita, NKRI tercinta. Ketiga, mampu mengupayakan tidak adanya lagi penyakit korupsi di negeri ini. Keempat, turut serta memajukan pendidikan kita, yang sudah jauh dari akar filosofinya. Dan kelima, terakhir, agar panjenengan semua bisa membenahi problem hukum negeri ini. Hanya lima, tidak banyak kan Abah, Umi?”
Mendengar keterangan saya dan setelah saya ajukan secarik kertas tersebut, terlihat mereka pada berbisik. Salah satu dari para Abah dan Umi itupun menanggapi celoteh saya yang mewakili derita orang-orang di negeri ini.
“Mas, lima permintaan yang sampeyan sampaikan, kok belum pernah kami ketahui sebelumnya. Ketika kami melaksanakan pembimbingan haji sebelum pemberangkatan, baik dari pemerintah dan maupun travel swasta, tidak ada mereka menyampaikan itu? Dan semuanya itu tidak ada dalam angan-angan kami?”
Saya terkekeh. Mencoba menerangkan dengan logis, rasionalistis dan religius.
“Oh, jadi Abah dan Umi tidak pernah sama sekali diberikan materi pembimbingan yang seperti ini. Ah, sayang sekali. Kami berpikir sederhana Abah dan Umi. Problematika negeri kita yang kami sampaikan tadi, sampai detik ini belum ada yang kelar. Pastinya Abah dan Umi paham. Orang-orang penting dan tak penting di negeri ini tidak ada sama sekali yang mampu membenahi masalah-masalah ini. Oleh karenanya kami melihat dan mencerna, Abah dan Umi inikan boleh dikata orang yang telah dekat dengan Nabi Muhammad sebab sudah menziarahi makam Beliau. Abah dan Umi jugakan meniru Nabi Ibrahim dengan segala kekuatan akan keyakinannya. Dan apalagi Abah dan Umi juga telah dekat dengan Tuhan melalui Kakbah-Nya, serta pertobatan dan pembersihan diri ketika wukuf di Arafah. Makanya, pasti Abah dan Umi sekarang punya energi yang luar biasa. Punya cahaya yang mampu menerangi kegelapan, mengudari tali yang terikat kusut.”
Sambil mendengar penjelasan kami, banyak dari Abah dan Umi kelihatan tidak paham. Namun, saya tetap meneruskan penjelasan yang penting ini.
“Abah dan Umi tahu gak, jika dari segi finansial, apa yang sudah Abah dan Umi keluarkan untuk berhaji jumlahnya triliyunan?”
Sambil bermuka ragu mereka meminta penjelasan lebih lanjut.
“Trliyunan? Mana Mas, mana catatannya, kami ingin tahu!”
Sejurus saya mengeluarkan sehelai kertas yang di dalamnya sudah tercetak hitungan-hitungan pengeluaran ONH. Ada juga tercatat asumsi-asumsi bayangan jika jumlah sebesar itu dikeluarkan untuk ongkos lainnya:
Umat muslim kita yang berhaji tahun 2016 ini sejumlah 168.000 orang. Mereka terbagi menjadi 155.200 orang adalah jamaah haji reguler dan 13.600 orang adalah jamaah haji khusus. Diratakan saja semuanya berhaji reguler 168.000 orang kali ONHnya 30.000.000, jadinya 5 triliyun 40 milyar rupiah. Woww.
Andaikan sekarang uang sejumlah itu semuanya kita belikan kopi hangat yang nikmat, kira-kira dapat berapa cangkir ya? Jika asumsinya secangkir kopi seharga 5000 rupiah maka uang triliyunan tadi bisa berwujud 1milyar 8juta cangkir kopi. Hebat bener. Kopi yang membeludak pasti akan mempengaruhi adrenalin para penulis agar menghasilkan tulisan yang lebih banyak, lebih ampuh dan lebih asik lagi. Atau belikan saja buku seharga 50000, maka akan ada pembagian buku secara cuma-cuma sebanyak 100juta 8ratus ribu buku.
Para Abah dan Umi tersebut akhirnya mengelus dada. Mereka sama-sama menarik napas panjang.
“Mas, kami belum pernah berpikir sampai sedetail ini. Ini luar biasa Mas, luar biasa membuka mata hati kami. Seharusnya dulu sebelum kami masuk pesawat menunggu take off, kami sudah memikirkan ini semua. Seharusnya di dalam saku kami sudah ada pikiran-pikiran yang belum pernah kepikiran ini. Lalu kalau sudah kadung kayak gini, bagaimana ini Mas?”
Saya bersyukur para Abah dan Umi ini akhirnya mampu menyadari betapa tugas kehajiannya begitu besar menanti.
“Abah dan Umi, untunglah akhirnya panjenengan paham, walaupun di akhir kepulangan. Mungkin untuk mengatasi keterlambatan ini, Abah dan Umi bisa membaca sebuah buku penting buat renungan haji panjenengan. Dan satu hal yang terakhir, minimal setelah berhaji dan menginjakkan kaki di tanah air kita ini, Abah dan Umi berjanji akan menjadi orang yang baik buat sesama, tidak sombong, dermawan dan tidak korupsi. Itu saja.”
Sejurus kemudian saya menunjukkan satu buku penting dimaksud. Sebuah buku berjudul Menjadi Manusia Haji: Panduan Memahami Filosofi dan Makna Sosial di Balik Ritual-ritual Haji yang ditulis Dr. Ali Syariati, seorang intelektual Iran Syiah yang tadi disindir para Abah dan Umi itu.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda