Langsung ke konten utama

Polisi

Tadi siang terjadi laka lantas di jalan raya kampung saya. Satu korban meninggal dunia, seorang pengendara motor asal Jombang yang diduga terserempet sebuah mobil sedan. Menurut pendapat orang-orang, pemilik sedan kelihatannya hendak melarikan diri.

Nahas, dalam pelarian yang baru menempuh seratus meter, ban belakang sedannya kempes. Gagal sudah niat “tak jantan” itu diteruskan. Apalagi saya lihat tadi ada seorang pengendara motor yang berhenti dan memaksa si bapak pemilik sedan agar menyerahkan surat-surat kendaraannya. Dan setelah itu diteleponlah polisi setempat untuk mengamankan situasi.

Atas kejadian itu banyak masyarakat yang mengumpul di dua titik. Satu titik di tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengatur lalu lintas karena kondisi jalan sempit, sembari menunggu petugas datang. Titik lainnya mengumpul di dua ratus meter dari TKP, orang-orang mengerubuti mobil sedan dan si bapak yang tidak bertanggung jawab tadi.

Sayapun kemudian menggeber motor saya. Hendak melihat TKP bersama anak saya yang paling kecil. Ikut nimbrung bersama orang-orang, demi merawat rasa kemanusiaan yang masih ada di dalam dada (preeet).

Ketika saya mengamati situasi, nampak belum ada polisi yang hadir. Sepertinya mereka masih dalam perjalanan. Maklum dalam sehari ada dua laka lantas: kemarin malam di jalan raya Mojokerto – Lamongan dan tadi siang di kampung saya. Keduanya di wilayah wewenang Polsek Kemlagi. Apalagi korban laka lantas tadi malam berjumlah tiga orang. Sementara pelakunya berhasil melarikan diri. Pastinya sudah dilakukan pengejaran oleh petugas.

Setelah beberapa menit di TKP, bersama putri kecilku, saya pun kembali ke rumah. Ternyata di tempat sedan yang “ditahan” warga tersebut, tepat di depan rumah, sudah ada polisi datang dan memproses kasus ini. Sayapun sambil mendampingi anak saya, melihat dari depan rumah dua polisi bekerja,.

Nah, di momen mengawasi atau mengikuti atau melihat petugas memproses bapak “tersangka” dugaan serempet lari itu, ada situasi yang menarik, saat saya diajak ngobrol anak saya mengenai POLISI.

Putri kecilku bertanya,“Yah, kenapa kok ada pak polisi di situ?” Sambil ia menunjuk ke arah dua bapak berseragam coklat dimaksud.

“Oh itu to Nak. Mereka datang karena ada kecelakaan di lokasi yang kita datangi tadi.”

“Kok nggak dihukum sih, Yah?”

“Siapa yang dihukum Nak?”

“Ya yang punya mobil itu Yah.”

Haduh, apa yang harus aku jelaskan lebih jauh kepada anak yang masih TK kecil ini. Sempat saya mencari kalimat yang tepat bagi anak seumuran dia.

“Belum bisa langsung dihukum dulu toh, Nak. Harus diproses dulu.” Kira-kira ngerti apa gak ya penjelasan saya yang cuma dua kalimat itu. Tapi nyatanya belum sempat saya mencari formula penjelasan yang lain, putriku menyambung dengan menanyakan hal lainnya.

“Kok gak ditangkap sih Yah? Kok gak dicekrek sih Yah?” Lucu juga. Mengucap kecrek saja masih belum bisa, masak saya harus menjelaskan sedetail-detailnya. Akhirnya saya tetap harus memberikan penjelasan sederhana lainnya. Minimal bisa akal sehatnya mampu menalar alur sederhana: ketika ada kasus laka lantas maka harus diperiksa polisi lebih dahulu.

“Ya belum bisa ditangkap Nak. Tapi coba kamu lihat mobil sedan dan bapak itu, nanti pasti akan dibawa ke kantor polisi.”

Putriku mendengar penjelasan saya. Mendengar dengan karakter seperti normalnya anak-anak TK. Mendengar sambil menikmati legit dan dinginnya es krim Campina yang harganya seribuan.

Setelah tandas melumat es krim, saya melihat ada perubahan di wajahnya. Tadi masih lumayan bersih. Sekarang sudah belepotan bekas es krim. Dan masih tetap posisi di dalam rumah, melihat dari pintu, para polisi dan warga berunding.

“Sini loh Nak, duduk di depan sama ayah!” Bujuk saya agar ia mau duduk di pangkuan saya di teras rumah.

“Emoh Yah. Aku takut nanti ditangkap polisi.” Jawaban yang lantas membuat saya tertawa geli.

“Loh kenapa takut ditangkap polisi? Mereka baik kok sama anak kecil. Apalagi sekecil kamu, anakku.”

“Emoh Yah. Lihat wajahku! Kotor, kan? Nanti kalau aku keluar dengan wajah kotor, aku bisa ditangkap pak polisi itu.”

Sontak aku terkekeh dengan ungkapan si kecilku itu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...