Langsung ke konten utama

Dibanding PKI, Tentu Lebih Nyata Kemunafikan Kita

Salah satu isu yang hangat tapi tidak gurih di lidah kita adalah bangkitnya PKI. Dikatakan hangat, karena selalu diblowup di banyak linimasa, setiap hari. Isi beritanya bermacam-macam. Pasti menghebohkan. Pasti akan memunculkan ketakutan bagi beberapa orang. Sebab trauma sejarah pemberontakan PKI masih menancap kuat di batin banyak orang.

Isu ini dikatakan tidak gurih, karena memang tidak enak dikunyah. Apalagi ditelan. Apalagi berharap memperoleh gizi dari makanan berupa isu yang sebetulnya klise belaka. Isu yang tidak jelas sumbernya. Namun jelas pesannya; ingin mencipta kegaduhan.

Artinya, kita seyogyanya sadar jika isu tersebut tidak punya nilai positif bagi kedamaian bangsa. Bahkan kalau terus membenarkannya, sama saja kita menegasikan pihak-pihak berwenang dan civil society yang selama ini menjadi tameng kita. Meyakini dengan kuat akan bangkitnya PKI, sama pula merendahkan polisi, tentara, dan ormas-ormas keagamaan - misalnya NU dan Muhammadiyah - yang ada di negeri ini. Karena merekalah yang dulu “menumpas” pergerakan PKI.

Tapi, semuanya sudah kadung menyebar. Sebagian rakyat kita yang kadang pintar, kadang tolah-toleh, banyak yang mengiyakannya. Ironis. Mereka merasa isu itu beneran ada. Walaupun ketika diberi pertanyaan sederhana tentang letak kantor dan siapa yang mengetuai, mereka tidak bisa menjawab. Tak ada bukti faktual yang bisa mereka tunjukkan.

Semua yang mereka katakan sebagai fakta tentang isu ini, ketika dikroscek ternyata masihlah berupa dugaan-dugaan. Bahkan imajinasi-imajinasi dan khayalan-khayalan. Atau paling banter hanya berupa simbol-simbol gambar palu-arit yang menempel di baju, di bendera atau di tembok-tembok.

Mereka tidak mempunyai alternatif dugaan lainnya selain itulah simbol PKI. Padahal segala fakta bisa terjadi, misalnya keisengan seseorang. Bahkan mungkin bisa saja itu sengaja dibuat-buat oleh oknum tertentu, yang ingin membakar gemuruh warganet. Supaya ombak isu yang menerjang mereka semakin dahsyat. Dan bisa menekan keyakinan mereka sehingga membenarkan gosip bohongan tersebut.
 
Tidak heran mengapa media terpercaya tak pernah memuat berita ini. Media massa mainstream tak satupun pernah mewartakannya. Inilah bukti bahwa isu PKI yang menyebar seperti bau kentut, hanyalah kebohongan yang dibungkus macam-macam kalimat dahsyat agar masyarakat percaya. Terbukti banyak juga yang mempercayainya. Sudah dikatakan itu hoax, eh masih juga meyakininya.

Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca akun facebook seorang pemuka agama yang membagi kiriman yang isinya membenarkan isu ini. Yang lebih parah lagi, dalam postingan itu tercantum fatwa yang sebetulnya melanggar hukum. Bahwa bagi siapapun yang berhasil menangkap terduga PKI, boleh bertindak main hakim sendiri! Sungguh postingan yang membuat miris. Sebab akun tersebut milik seseorang yang mendaku sebagai habib yang saban hari mengupload kegiatan dakwahnya berkeliling ke   daerah-daerah.

Yang Lebih Nyata
Saya kira tidak adanya bukti yang betul-betul faktual, alias tidak bisa dilihat mata banyak orang, membuat isu bangkitnya PKI ini memang mengada-ada. Artinya, si pembuat dan penyebar isu ini sebetulnya paham bahwa memang hal tersebut tidak ada faktanya. Namanya saja mengada-ada. Mengada-adakan sesuatu yang sebetulnya tidak ada.

Karena itu, isu ini bisa dipastikan berintikan sebuah misi. Ia tidak independen sebagai isu. Ia tidak bebas nilai. Ada maksud dibalik pembuatan dan penyebarannya secara massif. Ada udang di balik batu yang sampai sekarang belum ditemukan siapa penaruh udang tersebut.

Logika awam pasti paham dengan dugaan tersebut. Apa mungkin orang sekedar iseng sampai membuat isu super sensitif itu? Apa mungkin orang bercanda dengan cara menyebar isu yang bisa membuat perang saudara terjadi? Ataukah dimungkinkan ada oknum yang ingin mengail di air keruh, yang mana dia yang mengeruhkan dan sekaligus menikmati hasilnya?

Saya kok sangat meyakini jika si pembuat dan penyebar isu ini bukanlah orang-orang yang iseng. Bukan pula orang-orang yang berkantung cekak. Mereka, pastilah kaya raya, paham sisi traumatik bangsa dan tentu mengidam kuasa. Hanya, kita sekedar butuh bukti empiris siapa dan dari kelompok mana mereka sebenarnya. Istilahnya harus ada Operasi Tangkap Tangan ala KPK.

Tapi itu bukan langkah yang menjadi wewenang kita. Tidak penting kita tahu atau tidak identitas dan motif mereka. Sebab yang paling penting bagi kita ialah semuanya sanggup mencerna isu-isu tersebut. Apalah artinya isu disebar dengan strategi yang hebat, dana yang melimpah dan kerahasiaan yang terjaga, namun tidak berhasil menimbulkan keresahan di masyarakat. Itu semua bisa terjadi sebabnya hanya satu; masyarakat semakin mampu memilah bermacam-macam berita.

Apalagi akhir-akhir ini sudah banyak oknum yang tertangkap polisi. Oknum yang sengaja menyebar postingan hoax dan ujaran kebencian demi mengeruk keuntungan. Seharusnya lebih menguatkan lagi jika isu bangkitnya PKI memang hoax dan punya misi meracuni pikiran masyarakat.

Kalau masih saja ada yang percaya dengan isu ini, sebaiknya perlu memeriksa jiwanya. Jangan-jangan telah terjadi penyumbatan di beberapa kelenjar otaknya. Karena sebenarnya untuk menelaah isu yang tidak logis ini, sebenarnya masyarakat awam bisa menggunakan perenungan sederhana. Ya itu tadi, mencari bukti pendukung yang faktual, empiris, yang bisa dilihat dengan mata wadag banyak orang. Bukti tentang ada tidaknya makhluk bernama PKI.

Bahkan perenungan tersebut tidak saja pada obyek isu PKI yang jelas bohongnya. Kitapun butuh menilai atas kemunafikan diri sendiri. Jangan-jangan sifat yang nanti pengidapnya sudah dijanjikan akan ditaruh di kerak neraka, memang nyata ada pada diri kita. Menyusup di otak dan hati. Merembes ke aliran darah kita. Munafik atas kebodohan, keegoisan dan ke-dengkal-an otak kita.

Dan nampaknya sih iya. Buktinya, yang jujur kita tolak dan yang bohong kita terima.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...