Saya pernah kecele. Dan kecele tersebut sampai membuat hidup saya tidak tenang, bahkan sampai sekarang. Ada beban yang terasa masih menimpa saya. Bila beban itu tidak saya singkirkan, sekalipun melalui pertolongan orang lain untuk mengangkat dan meminggirkannya, pasti jiwa saya akan terus kesakitan.
Ceritanya, di sebuah sore mampirlah seorang pengemis di depan rumah. Kebetulan dia laki-laki dan masih muda. Seperti pengemis-pengemis lainnya, pengemis muda yang mampir di rumah saya itu juga mengeluarkan kalimat-kalimat yang biasa mereka ucapkan, “Sakwelase, Pak. Saya tidak punya uang Pak. Keluarga saya jarang makan Pak.” Sambil tentu saja wajahnya memelas.
Rumah saya ada di pinggir jalan raya propinsi, sehingga kerap mendapat “kunjungan” tamu-tamu para pengemis tersebut. Juga tidak ketinggalan para pengamen. Jadi kalimat-kalimat khas para pengemis dan peminta yang seperti itu sudah sering saya dengar. Bahkan hafal di luar kepala.
Demikian pula dengan memasang wajah memelas. Menurut saya pasang wajah memelas bagi seorang pengemis dan peminta itu adalah keharusan. Itu sebagai cara ampuh demi meluluhkan hati seseorang yang akan dibidiknya. Jika beruntung, boleh jadi si orang baik hati bidikannya yang luluh hatinya, akan mengeluarkan uang puluhan ribu dan diberikannya kepada pengemis tersebut.
Sebagai orang yang lebih memenangkan rasionalitas dari pada perasaan terpendam, saya kira kalimat-kalimat strategis dan pasang wajah memelas tersebut tidak bisa menjadi penilaian utama. Tentang memenuhi syarat atau tidaknya pengemis tersebut mendapatkan derma dari saya.
Kedua poin yang khas menempel pada pengemis tersebut, bagi saya, hanyalah identitas belaka. Identitas yang menjadi pembeda tajam antara dia sebagai pengemis dan orang lain sebagai perampok. Kan selama ini tidak ada perampok yang merayu orang lain dengan memasang wajah memelas. Karena semua perampok pasti semuanya memaksa dan pasang wajah sangar, agar korbannya menjadi ketakutan. Lalu menyerahkan seluruh harta bendanya.
Oleh karena itulah, saat itu, ketika pengemis muda itu mampir dan memelas, sayapun harus menggunakan parameter sendiri. Saya harus punya standar penilaian tentang kepantasan pemuda yang perawakannya tidak begitu tinggi tersebut bisa memperoleh kucuran uang saya.
Akhirnya dengan mantap, sayapun menilai dia tidak dari dua identitas pokok tadi. Tapi dari hal-hal lainnya. Pertama, dari usia. Saya taksir pengemis muda ini memang masih sangat muda. Perkiraan saya ia belum berusia 30 tahun. Artinya, di usia seperti itu, tenaga masih kuat. Pikiran masih bisa digunakan. Tentu mencari pekerjaan lainnya lebih bisa dilakukan olehnya. Daripada ngemis-ngemis seperti di sore itu.
Kedua, dari jenis kelamin. Disamping muda, dia juga laki-laki. Apapun, laki-laki dan perempuan itu yang menjadi pembeda adalah tenaganya. Apa tidak bisa dia ikut saja nyemplung ke sawah, menjadi buruh tani. Atau kerja di pabrik, sebagai buruh angkut barang. Lha wong tenaganya kuat.
Dan ketiga, dari perkiraan status. Karena ia laki-laki yang masih muda, pasti ia belum berumah tangga. Pasti ia belum punya anak dan istri. Dengan kata lain tidak ada tanggungan ekonomi di dirinya.
Lalu hasil ngemisnya untuk apa? Lha ini, pertanyaan yang terus bergelayut sejak kedatangan pemuda pengemis itu sampai ia pergi. Pertanyaan yang banyak kemungkinan jawabannya.
Boleh jadi hasil ngemis itu akan dikumpulkan bersama teman-teman lainnya. Sebagian dibuat foya-foya, minum-minuman keras, judi dan sabung ayam. Sedang sebagian lainnya ditabung. Tapi tabungan itu, lagi-lagi, akan dibuat foya-foya juga. Wajar, kan masih muda.
Maka dari parameter penilaian saya sendiri itu, akhirnya saya bersikap. Saya bersikap dan memutuskan untuk tidak mendermakan uang saya kepada si pemuda tersebut. Saya takut kalau jadi saya kasih uang, kemungkinan-kemungkinan jelek tersebut bisa saja terjadi.
Kalau seperti itu, hasil ngemis dibuat foya-foya, pesta minuman keras, berjudi dan sabung ayam, pasti uang halal yang saya dermakan menjadi percuma. Bukan pahala yang saya peroleh. Tapi justru dosa, sebab secara tidak langsung saya juga ikut menyokong maraknya kenakalan remaja. Menghancurkan masa depan bangsa dengan cara menyokong ambruknya moral para pemuda.
Karena itulah dengan pede saya mengungkapkan beberapa nasihat kepada pemuda pengemis tersebut.
“Maaf Mas, lama menunggu. Saya sebenarnya iba melihat Mas mampir di sini. Saya tahu sampeyan mau minta uang dari saya. Tapi dengan berat hati, melalui pertimbangan yang bertumpuk-tumpuk, saya tidak bisa memberikannya kepada sampeyan.”
Saya tidak tahu bagaimana perasaan si Mas pengemis muda tersebut. Apakah ia terkejut atau kecewa? Yang jelas, tidak ada perubahan ekspresi wajah saat beberapa kalimat saya sampaikan kepadanya. Sayapun melanjutkan tuturan.
“Untuk memberi sedekah tentu saya harus punya penilaian, Mas. Paling utama yang menjadi penilaian saya adalah kepantasan. Dan saya lihat sampeyan kan laki-laki, masih muda dan masih sendiri, alias belum berumah tangga (meskipun dugaan saja). Jadi sampeyan sebenarnya tidak layak meminta-minta. Saran saya lebih baik sampeyan bekerja saja, banting tulang, cari rezeki yang halal. Saya doakan sampeyan berhasil. Wassalam.”
Setelah itu, tanpa menimpali tuturan saya, diapun pergi meninggalkan rumah saya. Saya sangat meyakini, ucapan saya yang sok itu tadi benar-benar menancap. Dan si Mas pengemis muda tersebut, ketika melangkahkan kaki meninggalkan rumah saya, akan menyadarinya. Mudah-mudahan dia akan mau merubah diri. Begitu kepedean saya saat itu.
Namun apa yang terjadi selanjutnya? Sehari, beberapa hari, atau beberapa minggu kemudian saya mengalami kekagetan. Bahkan muncul rasa malu pada diri sendiri. Semua berawal dari peristiwa bertemunya saya dengan si pemuda pengemis tadi yang ternyata menjadi tetangga satu RT dari bude saya.
Ketika itu saya memang berkunjung ke rumah bude. Dan di pinggir jalan saya bersisipan dengan pemuda tersebut. Karena ingin tahu tentang sebenarnya yang terjadi pada pemuda itu, saya pun menanyakan ke bude. Bude pun menjelaskan dengan detail bahwa pemuda tersebut memang masih lajang, tetapi ia punya tanggungan yang berat. Bapaknya terkena lumpuh. Ibunya juga demikian, terbaring di dipan seadanya, terkena kanker payudara stadium 4. Dia punya dua adik. Satu kelas 4 SD dan satunya lagi masih kelas 1 SD.
Dia sebenarnya pernah kerja di pabrik, tapi beberapa bulan yang lalu memilih mengundurkan diri semenjak orang tuanya sakit. Untuk memenuhi kebutuhan hidup empat anggota keluarga itu, ia pun berwiraswasta seadanya di rumah. Dia menjual es dan jajan-jajan untuk anak-anak tetangga sekitar, di pagi hari sampai siang. Karena kondisi yang mendesak itulah, ia pun akhirnya memilih mengemis di sore harinya.
Mak deg! Tentu para pembaca pasti paham bagaimana jika berposisi seperti saya saat itu. Paling tidak saya pasti menyesal, kenapa kok tidak saya dermakan saja sebagian uang saya dulu itu. Kalau tahunya seperti ini, rasa sesal itu pun benar-benar muncul dan seperti meninju wajah saya. Uppercut, jab, hook, semuanya mengena dengan telak.
Tapi memang pengalaman saya ini sebenarnya sering pula melanda kita. Secara hakiki kita ini aslinya sangatlah mudah ibah dan mudah memberi kepada orang lain. Namun, jiwa sejati itu selalu ada saja yang ingin menghalanginya. Siapa? Ya kita sendiri juga.
Jadi ketika kita sudah berniat berderma ke orang lain, selalu ada saja pertarungan di dalam batin. Tentang jumlah minimal dan maksimal. Tentang wujud pemberian. Tentang siapa yang diberi derma. Tentang waktu pemberian. Tentang pertimbangan kepantasan, seperti saya tadi. Seringnya, sengitnya pertarungan di dalam batin itu akhirnya merubah dengan fatal niat jiwa sejati kita yang sebenarnya mudah memberi itu. Dan akhirnya memberi cuma secuil. Bahkan tidak jadi memberi derma sama sekali.
Saran saya, kalau ingin memberi, ya memberi saja. Tidak usah banyak pertimbangan. Apalagi yang hendak kita beri itu memangg benar-benar miskin secara dzahir, alias kelihatan di pelupuk mata kita. Bedakan antara diri kita yang loman dan diri kita yang medit. Kecuali yang diberi derma itu jelas-jelas seorang koruptor atau penjahat yang merusak ketenteraman di masyarakat kita. Ya, gak Son?
Mojokerto, 7418
Ceritanya, di sebuah sore mampirlah seorang pengemis di depan rumah. Kebetulan dia laki-laki dan masih muda. Seperti pengemis-pengemis lainnya, pengemis muda yang mampir di rumah saya itu juga mengeluarkan kalimat-kalimat yang biasa mereka ucapkan, “Sakwelase, Pak. Saya tidak punya uang Pak. Keluarga saya jarang makan Pak.” Sambil tentu saja wajahnya memelas.
Rumah saya ada di pinggir jalan raya propinsi, sehingga kerap mendapat “kunjungan” tamu-tamu para pengemis tersebut. Juga tidak ketinggalan para pengamen. Jadi kalimat-kalimat khas para pengemis dan peminta yang seperti itu sudah sering saya dengar. Bahkan hafal di luar kepala.
Demikian pula dengan memasang wajah memelas. Menurut saya pasang wajah memelas bagi seorang pengemis dan peminta itu adalah keharusan. Itu sebagai cara ampuh demi meluluhkan hati seseorang yang akan dibidiknya. Jika beruntung, boleh jadi si orang baik hati bidikannya yang luluh hatinya, akan mengeluarkan uang puluhan ribu dan diberikannya kepada pengemis tersebut.
Sebagai orang yang lebih memenangkan rasionalitas dari pada perasaan terpendam, saya kira kalimat-kalimat strategis dan pasang wajah memelas tersebut tidak bisa menjadi penilaian utama. Tentang memenuhi syarat atau tidaknya pengemis tersebut mendapatkan derma dari saya.
Kedua poin yang khas menempel pada pengemis tersebut, bagi saya, hanyalah identitas belaka. Identitas yang menjadi pembeda tajam antara dia sebagai pengemis dan orang lain sebagai perampok. Kan selama ini tidak ada perampok yang merayu orang lain dengan memasang wajah memelas. Karena semua perampok pasti semuanya memaksa dan pasang wajah sangar, agar korbannya menjadi ketakutan. Lalu menyerahkan seluruh harta bendanya.
Oleh karena itulah, saat itu, ketika pengemis muda itu mampir dan memelas, sayapun harus menggunakan parameter sendiri. Saya harus punya standar penilaian tentang kepantasan pemuda yang perawakannya tidak begitu tinggi tersebut bisa memperoleh kucuran uang saya.
Akhirnya dengan mantap, sayapun menilai dia tidak dari dua identitas pokok tadi. Tapi dari hal-hal lainnya. Pertama, dari usia. Saya taksir pengemis muda ini memang masih sangat muda. Perkiraan saya ia belum berusia 30 tahun. Artinya, di usia seperti itu, tenaga masih kuat. Pikiran masih bisa digunakan. Tentu mencari pekerjaan lainnya lebih bisa dilakukan olehnya. Daripada ngemis-ngemis seperti di sore itu.
Kedua, dari jenis kelamin. Disamping muda, dia juga laki-laki. Apapun, laki-laki dan perempuan itu yang menjadi pembeda adalah tenaganya. Apa tidak bisa dia ikut saja nyemplung ke sawah, menjadi buruh tani. Atau kerja di pabrik, sebagai buruh angkut barang. Lha wong tenaganya kuat.
Dan ketiga, dari perkiraan status. Karena ia laki-laki yang masih muda, pasti ia belum berumah tangga. Pasti ia belum punya anak dan istri. Dengan kata lain tidak ada tanggungan ekonomi di dirinya.
Lalu hasil ngemisnya untuk apa? Lha ini, pertanyaan yang terus bergelayut sejak kedatangan pemuda pengemis itu sampai ia pergi. Pertanyaan yang banyak kemungkinan jawabannya.
Boleh jadi hasil ngemis itu akan dikumpulkan bersama teman-teman lainnya. Sebagian dibuat foya-foya, minum-minuman keras, judi dan sabung ayam. Sedang sebagian lainnya ditabung. Tapi tabungan itu, lagi-lagi, akan dibuat foya-foya juga. Wajar, kan masih muda.
Maka dari parameter penilaian saya sendiri itu, akhirnya saya bersikap. Saya bersikap dan memutuskan untuk tidak mendermakan uang saya kepada si pemuda tersebut. Saya takut kalau jadi saya kasih uang, kemungkinan-kemungkinan jelek tersebut bisa saja terjadi.
Kalau seperti itu, hasil ngemis dibuat foya-foya, pesta minuman keras, berjudi dan sabung ayam, pasti uang halal yang saya dermakan menjadi percuma. Bukan pahala yang saya peroleh. Tapi justru dosa, sebab secara tidak langsung saya juga ikut menyokong maraknya kenakalan remaja. Menghancurkan masa depan bangsa dengan cara menyokong ambruknya moral para pemuda.
Karena itulah dengan pede saya mengungkapkan beberapa nasihat kepada pemuda pengemis tersebut.
“Maaf Mas, lama menunggu. Saya sebenarnya iba melihat Mas mampir di sini. Saya tahu sampeyan mau minta uang dari saya. Tapi dengan berat hati, melalui pertimbangan yang bertumpuk-tumpuk, saya tidak bisa memberikannya kepada sampeyan.”
Saya tidak tahu bagaimana perasaan si Mas pengemis muda tersebut. Apakah ia terkejut atau kecewa? Yang jelas, tidak ada perubahan ekspresi wajah saat beberapa kalimat saya sampaikan kepadanya. Sayapun melanjutkan tuturan.
“Untuk memberi sedekah tentu saya harus punya penilaian, Mas. Paling utama yang menjadi penilaian saya adalah kepantasan. Dan saya lihat sampeyan kan laki-laki, masih muda dan masih sendiri, alias belum berumah tangga (meskipun dugaan saja). Jadi sampeyan sebenarnya tidak layak meminta-minta. Saran saya lebih baik sampeyan bekerja saja, banting tulang, cari rezeki yang halal. Saya doakan sampeyan berhasil. Wassalam.”
Setelah itu, tanpa menimpali tuturan saya, diapun pergi meninggalkan rumah saya. Saya sangat meyakini, ucapan saya yang sok itu tadi benar-benar menancap. Dan si Mas pengemis muda tersebut, ketika melangkahkan kaki meninggalkan rumah saya, akan menyadarinya. Mudah-mudahan dia akan mau merubah diri. Begitu kepedean saya saat itu.
Namun apa yang terjadi selanjutnya? Sehari, beberapa hari, atau beberapa minggu kemudian saya mengalami kekagetan. Bahkan muncul rasa malu pada diri sendiri. Semua berawal dari peristiwa bertemunya saya dengan si pemuda pengemis tadi yang ternyata menjadi tetangga satu RT dari bude saya.
Ketika itu saya memang berkunjung ke rumah bude. Dan di pinggir jalan saya bersisipan dengan pemuda tersebut. Karena ingin tahu tentang sebenarnya yang terjadi pada pemuda itu, saya pun menanyakan ke bude. Bude pun menjelaskan dengan detail bahwa pemuda tersebut memang masih lajang, tetapi ia punya tanggungan yang berat. Bapaknya terkena lumpuh. Ibunya juga demikian, terbaring di dipan seadanya, terkena kanker payudara stadium 4. Dia punya dua adik. Satu kelas 4 SD dan satunya lagi masih kelas 1 SD.
Dia sebenarnya pernah kerja di pabrik, tapi beberapa bulan yang lalu memilih mengundurkan diri semenjak orang tuanya sakit. Untuk memenuhi kebutuhan hidup empat anggota keluarga itu, ia pun berwiraswasta seadanya di rumah. Dia menjual es dan jajan-jajan untuk anak-anak tetangga sekitar, di pagi hari sampai siang. Karena kondisi yang mendesak itulah, ia pun akhirnya memilih mengemis di sore harinya.
Mak deg! Tentu para pembaca pasti paham bagaimana jika berposisi seperti saya saat itu. Paling tidak saya pasti menyesal, kenapa kok tidak saya dermakan saja sebagian uang saya dulu itu. Kalau tahunya seperti ini, rasa sesal itu pun benar-benar muncul dan seperti meninju wajah saya. Uppercut, jab, hook, semuanya mengena dengan telak.
Tapi memang pengalaman saya ini sebenarnya sering pula melanda kita. Secara hakiki kita ini aslinya sangatlah mudah ibah dan mudah memberi kepada orang lain. Namun, jiwa sejati itu selalu ada saja yang ingin menghalanginya. Siapa? Ya kita sendiri juga.
Jadi ketika kita sudah berniat berderma ke orang lain, selalu ada saja pertarungan di dalam batin. Tentang jumlah minimal dan maksimal. Tentang wujud pemberian. Tentang siapa yang diberi derma. Tentang waktu pemberian. Tentang pertimbangan kepantasan, seperti saya tadi. Seringnya, sengitnya pertarungan di dalam batin itu akhirnya merubah dengan fatal niat jiwa sejati kita yang sebenarnya mudah memberi itu. Dan akhirnya memberi cuma secuil. Bahkan tidak jadi memberi derma sama sekali.
Saran saya, kalau ingin memberi, ya memberi saja. Tidak usah banyak pertimbangan. Apalagi yang hendak kita beri itu memangg benar-benar miskin secara dzahir, alias kelihatan di pelupuk mata kita. Bedakan antara diri kita yang loman dan diri kita yang medit. Kecuali yang diberi derma itu jelas-jelas seorang koruptor atau penjahat yang merusak ketenteraman di masyarakat kita. Ya, gak Son?
Mojokerto, 7418
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda