Langsung ke konten utama

Tuhan, Ampunilah Kelecekan Sajadahku!

Di semua masjid, tiap lantainya adalah sajadah. Bahkan untuk baris tertentu, paling depan dan beberapa baris ke belakang, banyak masjid memasang di lantainya karpet indah dan bersih, yang perannya sebagai sajadah juga. Menurut saya inilah ekspresi istimewa dari umat, sebagai ijtihad yang luar biasa, bahwa lantai masjid yang sebenarnya sajadah dengan sendirinya itu, masih dilapisi karpet, yang juga sebagai sajadah.

Lebih istimewa lagi, ketika umat berangkat salat ke masjid, entah di lima waktu yang fardlu, atau salat Jum’at, serta di dua salat Id di tiap tahunnya, banyak dari mereka, muslim dan muslimah, sama-sama menyangkluk sajadah di pundaknya. Sudah ada sajadah berlapis di masjid, para umat masih membawa sajadah dari rumah.

Fenomena itu tidak bisa dinilai sebagai sebuah tindakan yang terlalu berlebihan. Atau tindakan yang mubadzir. Tapi sebaliknya saya sangat meyakini, itulah ekspresi beragama dalam salat yang menyimbolkan bahwa para umat mempunyai tumpukan rasa cinta kepada Tuhannya. Di manapun mereka berada, mereka tak lupa membawa tempat sujud atau sajadah. Semua demi mewujudkan tumpukan rasa cinta itu kepada Tuhan yang disembahnya.

Perihal sajadah sebagai ekspresi istimewa dalam beragama itu, sudah tiga tahunan ini saya membawanya ketika salat di masjid. Itupun kalau dihitung, hanya ketika salat Jum’at dan dua salat Id saja. Kalau untuk salat jamaah fardlu harian, saya berani memastikan tak pernah membawanya.

Sebelum tiga tahun itu, saya memang sama sekali tidak pernah membawa sajadah. Dan baru membawa sajadah karena sudah tiga tahun ini saya diberi jadwal khutbah di tiap Jum’at Manis. Jika tidak ada beban itu, entahlah saya akan membawa sajadah atau tidak. Kadang saya tersenyum sendiri kalau ditanyakan ke saya tentang motivasi membawa sajadah itu.

Di Jum’at kemarin lusa sayapun membawa sajadah ke masjid, seperti orang-orang lainnya. Seperti yang lainnya sayapun menggelar sajadah yang sebenarnya surban itu di lantai masjid, tepat di baris ke-tiga. Seperti orang-orang, sayapun mengerjakan salat tahiyat al-masjid, salat menghormat masjid karena baru datang dan memasukinya. Setelah itu duduk berdzikir, menunggu waktu sang muadzin mengumandankan adzan.

Sungguh bagi saya, suara setiap orang yang beradzan, keindahannya tidak bisa dinilai secara estetika belaka. Adzan indah secara spiritual. Berturut-turut kemudian, saya melakukan salat qabliyah, lalu duduk mendengar khutbah, dan terakhir berdiri melaksanakan salat Jum’at berjamaah.

Sebelum bilal mengumandangkan iqamah setelah sang khatib mengakhiri doa, biasanya para jamaah yang hadir duduk berbaris, tetapi belum benar-benar tertib. Sebagian besar shaf masih banyak yang kosong. Akan berbeda jika tiba waktunya iqamah, simbol salat Jum’at akan segera dilaksanakan. Saat itulah para jamaah yang hadir akan berdiri, kemudian memenuhi barisan. Dengan indah dan kompak-serempak, mereka mengikuti komando dari sang imam yang berdiri di titik terdepan.

Ketika saya berdiri bersama jamaah yang lainnya, kemudian menggelar sajadah saya, tiba-tiba saya diliputi perasaan yang dipenuhi kegamangan. Kegamangan yang mengagetkan itu muncul, karena setelah saya menoleh ke kanan dan kiri dan menengok ke baris depan saya, saya tersadar, bahwa saya sudah kurang ajar. Saya benar-benar kurang ajar.

Bagaimana tidak kurang ajar, ketika jamaah lainnya yang memasuki masjid, yang kurang lebih jumlah mereka 300 orang, di depannya tergelar sajadah yang rapi, indah dan wangi, justru sajadah saya nampak paling kusut dan lecek. Tidak seindah sajadah mereka.

Sajadah milik orang-orang, ketika saya lihat, ada yang berwarna putih bersih dan rapi. Ada juga yang warna hijau motif Masjid Nabawi. Banyak pula yang memakai sajadah sederhana, tapi warnanya masih nampak utuh dan pastinya rapi pula. Sajadah mereka seperti habis disetrika. Dan ketika disetrika sempat pula disemprot memakai minyak wangi.

Bagaimana sajadah saya? Ya Tuhan, ampuni hamba-Mu ini. Sajadahku, yang sebenarnya surban, itupun bukan beli, tapi oleh-oleh dari tetangga yang habis naik haji, warna coklat dan kuningnya sudah memudar. Dalam bahasa Jawa disebut puyeh. Pokoknya jeleknya terlalu sangat, dibanding sajadah jamaah lain yang rapinya sangat terawat.

Paling memalukan lagi, oh Tuhan benar-benar saya minta ampun dari-Mu, nampak kain sajadahku sangat kusut dan lecek. Ada banyak lipatan di sana sini. Bahkan beberapa kali saya merapikannya, tapi tidak berhasil. Beberapa detik saya merapikannya, sedetik kemudian lecek itu kembali lagi. Begitu terus menerus.

Saya berencana hendak menahannya dengan kaki, namun terkendala lurusnya barisan. Sebab kalau saya paksa menahan sajadah itu dengan cara menginjak ujungnya supaya rapi, maka pasti tubuh saya akan berada terlalu di depan dibanding jamaah lainnya di barisan saya.

Akhirnya pun saya menyerah. Saya membiarkan sajadah itu tergeletak apa adanya. Bersanding dengan sajadah-sajadah milik jamaah lainnya, yang indah dan mempesona. Saya tidak tahu kesan orang yang paling dekat yang ada di kanan kiriku, ketika melihat rupa dan wajah sajadahku. Atau membayangkan bagaimana Tuhan melihatnya!

Dalam pada itu, pikiran dan jiwa saya lunglai. Sebab bagi saya, inilah bukti saya kalah dibanding orang lain, jamaah yang lain, yang tiap Jum’at Manis selalu mendengar ocehan dan nasihat saya. Mereka mendengar nasihat dan langsung praktik. Sedang saya? Untuk sekedar mengekspresikan cinta terhadap-Mu oh Tuhan, menyiapkan sajadah yang rapi saja saya tak sanggup.

Hati saya langsung tiarap. Mengikuti salat Jum’at dengan degub jantung yang cepat. Merembes air mata hati saya. Muncul rasa malu. Tidak saja kepada Tuhan yang saat itu menjadi titik fokus kami semua, tetapi pula kepada jamaah lainnya. Mereka menyiapkan segalanya dengan sempurna, ketika menuju masjid beribadah salat. Sedang saya hanya seperti itu saja. Tidak ada yang luar biasa. Tidak ada yang istimewa.

Di situlah sayapun meragukan diri sendiri, nah kalau untuk urusan sepele ini saja tidak bisa sempurna, lalu untuk apa berkeinginan membahas yang ndakik-ndakik. Membahas yang di luar jangkauan pemikiran orang kebanyakan. Misalnya tentang peristiwa bersejarah Isra’ dan Mi’rajnya Nabi Saw, menghadap Allah Swt. di langit ke tujuh. Untuk apa? Lha wong untuk membeli kain sajadah saja malas. Menyetrikanya saja susah. Menaburkan wewangian di atasnya saja tak pernah.

Saya pun menanyakan kepada diri, apakah salatku yang seperti itu persiapannya, bisa dianggap sudah ber-Mi’raj kepada-Nya? Mi’raj itu naik, lalu bagaimana saya menaiki tangga untuk menghadap dan berbicara dengan-Nya, lha wong untuk urusan bumi yang seperti itu saja saya tidak sanggup? Kalaupun saya berhasil naik, apakah Tuhan mau menemui saya dan berbicara dengan saya?

Setelah saya dalam perjalanan pulang ke rumah dari Jum’atan itu, yang jaraknya cuma beberapa meter, saya pun menimang sajadah itu. Mengatakan kepadanya sebuah permintaan maaf, karena dengan tidak terurus itulah, membuatnya tidak merasa bahagia ketika berbaring berjajar bersama sajadah-sajadah lainnya. Dan kepada-Nya pun saya merayu, “Tuhan, Ampuni dosa dan kurangajarku ini. Ampunilah atas kelecekan sajadahku ini.”

((Refleksi Isra' Mi'raj Nabi Muhammad Saw))

15042018 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...