Langsung ke konten utama

ANUGERAH KEAWAMAN BAGI ORANG NDESA

Sumber foto: Dok. eLSoRYA

“Mas, yang namanya Gus Durian tadi itu yang sebelah mana?” Tanya seorang teman yang mengikuti halal bihalal tiga hari silam.

“Mereka, ya yang ada di dalam itu,” saya menjawab sambil menunjuk letak mereka duduk dan berdiri.

“Dia itu orang mana sih Mas?” Tanya teman satunya lagi yang duduk di sampingnya.

“Rumah mereka ya di mana-mana. Ada yang di kota sono, di desa situ dan ada juga di kampung sana.” Jawab saya sekenanya, karena saya tidak begitu nyantol dengan substansi pertanyaan dua teman itu tadi. Baru nyantol ketika salah satu dari mereka lebih spesifik menyampaikan penjelasan.

“Itu lo yang sampeyan omongkan pas sambutan tadi. Katanya ada juga di sini Gus Durian. Kan kalau saya tahu orangnya, bisa saya ajak ngobrol. Kalau beliau punya pesantren, kan bisa saja anak saya, saya pondokkan ke Gus Durian tersebut. Saya juga pingin tahu beliau itu putranya kiai siapa.”

“Oh, iya ya. Maafkan saya. Saya belum sempat menjelaskan ke sampeyan semua, bahwa Gus Durian itu bukan seseorang. Tapi Gusdurian itu sebuah organisasi atau perkumpulan yang semangatnya ingin di setiap perjuangannya terilhami nilai-nilai yang dilakoni mendiang Gus Dur. Makanya, Gusdurian itu berisi banyak orang, banyak individu. Ia bukan seorang gus anak dari seorang kiai.” Begitu penjelasan yang telat saya sampaikan kepada mereka, para warga kampung yang hadir. Saya lihat, merekapun sedikit banyak memahami apa yang saya jelaskan. Sekalipun sebenarnya mereka butuh mendapat penjelasan yang lebih dalam.

***

Realita kesalahpahaman yang melanda warga kampung, karena ketidaktahuan, seperti cerita di atas, sebenarnya merupakan satu gambaran sosial-budaya yang unik. Keunikan tersebut menunjukkan bahwa orang kampung atau ndesa memang punya ciri khas, yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya, dan dari dulu sampai sekarang masih terjadi.

Salah satu ciri khas orang ndesa antara lain keawaman informasi tersebut. Mereka juga tidak begitu mengikuti banyak wacana yang berkembang di kalangan tertentu. Oleh karena itu mereka tidak sempat membahas diskursus yang menjadi perdebatan. Kecuali  wacana politik yang memang diberitakan di televisi. Mereka tidak tahu, tidak paham atau tidak mengerti, karena banyak faktor yang mempengaruhinya.

Pertama, kurang begitu intens mengakses informasi. Walaupun sebenarnya faktor pertama ini kurang begitu relevan dicantumkan. Terutama jika yang dibicarakan adalah orang ndesa yang usianya masih muda, yang sekarang bisa dikatakan pengakses informasi terbesar melalui jaringan internet yang menyebar pula ke desa-desa. Tetapi kalau yang dibicarakan generasi tua, maka sangat besar kemungkinan mereka memang enggan mengakses banyak informasi tersebut, sekalipun sarananya sudah dipermudah.

Kedua, keengganan golongan tua tersebut saya kira disebabkan prioritas hidupnya yang lebih memberatkan konsentrasinya untuk hal-hal lainnya yang menurutnya lebih penting, selain informasi yang berlimpah itu. Boleh jadi mereka terkonsentrasi dalam hal keluarga, pekerjaan, pertanian dan penataan lingkungan sekitar. Area yang mereka prioritaskan dalam pemikiran dan tenaga, lebih kecil jika dibanding anak-anak muda di desa itu sendiri. Apalagi dibandingkan kalangan akademis dan orang kota yang memang dikenal senang menyerap informasi dan berdebat wacana. Sebab bagi mereka, itu merupakan salah satu kebutuhan hidup.

Dan ketiga, keengganan menyerap banyak informasi dan berwacana, karena memprioritaskan skup kecil kehidupan di lingkungannya, menjadikan mereka tidak begitu memahami seluk beluk dan pentingnya organisasi. Yang dimaksud di sini organisasi yang secara struktural mendukung perubahan situasi yang lebih besar: nasional dan internasional. Organisasi yang model seperti itu sangat sulit diwujudkan di desa.

Orang ndesa sebenarnya beberapa mengikuti organisasi, tetapi tidak yang berorientas pergerakan dan perlawanan wacana (demonstrasi). Mereka lebih mengikuti dan aktif dalam organisasi yang sifatnya menunjukkan kesamaan hobi. Misalnya ontelis karena kesamaan hobi bersepeda angin, motor karena hobi mengoprek-oprek mesin motor, mobil karena memiliki mobil yang sama jenis dan tahun, dan lain sebagainya. Perkumpulan tersebut sekarang lebih dikenal sebagai komunitas.

Keawaman orang ndesa yang terjadi secara lumrah tersebut tentu saja mempunya banyak akibat kepada mereka sendiri. Namun di tulisan ini penulis tidak ingin mengulas akibat negatifnya, tapi hanya akibat positifnya saja. Sebab menurut penulis, setiap realita di masyarakat pasti mempunyai ekses negatif dan positif, sehingga menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari banyak kelompok masyarakat itu sendiri. Jadi tidak ada keunggulan sempurna, misalnya antara orang kota dibanding orang ndesa, atau cerdik-cendekia dengan orang yang biasa-biasa saja. Karena terkadang, bahkan sering, orang ndesalah justru yang punya keunggulan dalam beberapa aspek.

***

Keawaman orang ndesa atas informasi yang berkembang karena mereka memprioritaskan lingkup kecil lingkungannya sendiri, menurut penulis menjadi hal yang sangat positif bagi mereka. Keawaman yang merupakan kultur orang ndesa, bisa disebut pula sebagai pembatasan diri. Mereka sangat membatasi diri dari informasi-informasi atau wacana-wacana yang menurut mereka di luar kemampuannya.

Salah satu contoh paling jelas keawaman atas keberadaan organisasi Gusdurian tersebut. Padahal organisasi ini telah menyebar ke mana-mana. Sudah mempunya hirarki struktur pusat sampai daerah. Jargon yang diperjuangkan pun cukup jelas, bahwa mereka mengikuti jejak Gus Dur, tokoh panutan mereka.

Banyak daerah yang di dalamnya sering pula diadakan kegiatan khas organisasi Gusdurian. Paling banyak tentu saja pertemuan atau dialog lintas iman. Kegiatan-kegiatan itu pun sering pula terberitakan di media. Sehingga banyak orang yang mengikuti dan membaca warta itu. Tetapi ironinya, eksistensi mereka – dan pula organisasi atau wacana sejenis – tidak banyak diketahui orang ndesa. Sebabnya bisa berbeda-beda. Bisa jadi karena pergerakan itu belum sampai ke desa. Bisa pula sebenarnya pergerakan itu sudah hinggap di masyarakat desa, tetapi mereka tidak sepandangan. Alias model pergerakan tersebut tidak mereka terima.

Penolakan dan tidak sepandangan orang ndesa, itu yang penulis maksud sebagai membatasi diri. Alhasil, pembatasan itu mempunyai dampak yang sangat baik bagi mereka. Mereka bisa berkonsentrasi penuh membuat sistem bagi diri dan lingkungan kecilnya dengan sangat baik. Dan itu sebagai sebuah kearifan lokal yang pada akhirnya mengakar kuat. Bahkan menjadi keunggulan mereka.

Salah satu manifestasi utama kearifan lokal tersebut adalah keguyuban. Jika diurai, keguyuban itu berisi banyak hal; pengetahuan akan situasi lingkungan yang kuat, interaksi antar warga sangat intens, adanya problem bisa dipecah-selesaikan secara bersama-sama, terbangunnya sistem saling mengingatkan jika terjadi masalah, dan lain sebagainya. Sistem yang dibangun di masyarakat desa tersebut daya gedornya sangat kuat bagi semua anggotanya.

Dalam arti yang lain, orang ndesa di dalam urusan privasi dan lingkungannya telah sangat mandiri dan tidak membutuhkan lagi uluran tangan dari pihak luar. Atau menurut Gus Dur dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, rakyat di lapisan bawah lebih arif dibanding lainnya. Mereka sudah punya polanya sendiri untuk menghadapi berbagai tekanan atau masalah, baik kemiskinan dan keterbelakangan. Ataupun belenggu kehidupan yang bersifat kultural.

Dengan demikian, orang ndesa atau rakyat lapisan bawah bisa disebut awam dalam persoalan di luar dirinya. Tapi sangat memahami dan arif tentang diri dan lingkungannya. Dan itu merupakan anugerah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.  

Mojokerto, 18072018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...