Langsung ke konten utama

Pemilu itu Pengorbanan Rakyat

Kata banyak orang pintar yang sering kita dengar, pemilu adalah pesta demokrasi bagi rakyat. Benarkah definisi itu? Kalau benar, pestanya seperti apa? Berapa malamkah pesta itu dilaksanakan? Apakah rakyat puas dengan pesta itu?

Saya mempersoalkan pengertian yang seperti itu. Makanya muncul banyak pertanyaan saya di atas – sekalipun pertanyaan asal-asalan. Karena menurut pemahaman saya, melihat sebelum dan sesudah pemilu, justru rakyat tidak berpesta, melainkan sengsara. Contohnya, coba saja awasi para petugas kepolisian dan linmas desa. Di setiap pemilu mereka dipaksa terbelalak mata, berhari-hari. Jauh dari rumah. Hiburannya hanya nonton piala dunia. Atau main kartu. Merekalah contoh nyata sebuah kesengsaraan rakyat.

Namun itu sekelumit saja bukti kesengsaraan rakyat. Sebab kalau didaftar, kesengsaraan itu jumlahnya lebih banyak berjajar-jajar. Ibarat sebuah event organizer (EO), pemilu itu sebuah gawe yang super besar. Panitia yang diberikan wewenang, menyiapkan segala tetek bengek-nya. Panitia itu tentulah rakyat sendiri. Mereka menyediakan tempat yang netral. Mereka juga menyiapkan tenaga, fikiran dan mental. Sebab tiada pemilu yang diadakan cuma sejam atau dua jam.

Di setiap perhelatan, posisi anggaran itu penting. Istilahnya logistik dan pendanaan. Kiranya kita semua tahu, logistik dan pendanaan pemilu itu mestilah banyak. Milyaran, bahkan triliunan. Nah, itu uang siapa? Apa uangnya Jokowi atau Prabowo? Jawabannya, itu semua uang rakyat. Rakyatlah yang membiayai.

Berbeda dengan EO perkawinan atau khitanan yang mana ia hanyalah penyelenggara. Sedangkan yang membiayai adalah orang yang punya gawe. Dan biaya itupun masuk ke kantong EO-nya. Kalau pemilu, justru EO-lah yang membiayai. EO dalam konteks ini maksudnya adalah pemerintah. Biaya itu sendiri berasal dari pungutan pajak hasil keringat pekerjaan dan harta benda yang rakyat punyai. Tapi mereka tetap ikhlas, tidak pernah mengungkit-ungkit. Bayar pajak seperti berak.

Ketika semua sarana pemilu dipersiapkan, barulah subjek utama demokrasi, siapa lagi kalau bukan rakyat sendiri, akan mendatangi pusat-pusat pesta demokrasi itu. Mereka berjalan gagah, bagi yang laki-laki. Biar wangi, mereka juga menyemprotkan parfum ke bajunya. Bagi yang perempuan, dandanan sehari-hari diubah cantik dan seksi. Yang bekerja terpaksa meliburkan diri. Yang bertani, sehari itu mereka cuti.

Rakyat datang ke pusat-pusat demokrasi itu tujuannya satu: memilih calon pemimpin. Mereka tidak pernah memilih dirinya sendiri. Mereka selalu mendahulukan orang lain, si calon yang fotonya terpampang di kertas berlipat itu. Padahal mereka bisa saja enak-enakan tidur di rumah. Melancong di pantai-pantai. Main gawai sebebas-bebasnya. Tanpa peduli dengan si calon yang wajahnya selalu sumringah jika menempel di kertas suara.

Tapi rakyat memilih meminggirkan hak asasi kehidupan santainya itu. Rakyat mengenyampingkan aras-arasen-nya, kesakitannya, kerepotannya, kebahagiannya, untuk sekadar menyenangkan hati para calon. Sekalipun terkadang atau sering, calon-calon yang dilombakan, bagi rakyat bukanlah calon-calon yang dia kenal atau yang terbaik. Sering sekali mereka adalah calon yang buruk, diantara pilihan lainnya yang lebih buruk dan terburuk. Rakyat terpaksa legawa, trima ing pandum, tidak memprotes. Hanya ngenes saja di batinnya.

Di obrolan warung kopi, banyak orang yang memperdebatkan buruknya calon. Mereka membicarakan dan menghitung jumlah apa saja keburukan dimaksud. Kemudian membanding-bandingkan dengan orang-orang yang luhur budi dan jujur, tapi tidak punya kesempatan terjun di dunia politik. Lalu mereka menyimpulkan: ini pemilu yang penuh racun. Dipilih salah, tidak dipilih ya kebangetan, karena biaya pemilu selalu berlimpah. Mubazir jika dibuang percuma.

Para aktifis warung kopi itu pada akhirnya bersepakat, mereka akan memilih yang keburukannya lebih sedikit. Karena mereka ingin menjadi warga negara yang baik. Tapi, hukuman tetap diterapkan. Merekapun menyepakati akan mencoblos surat suara pada “obyek vital” foto sang calon yang amit-amit itu. Misalnya di mata, hidung, mulut atau jidat. Kata mereka, biar nyahok.

Sungguh tidak bisa dikira, seberapa besar pengorbanan rakyat itu. Secara kualitas dan kuantitas, lahir dan batin, emosi dan sabar, jerih payah rakyat tidak bisa dikalkulasi. Oleh karena itu, jika ending-nya calon pemimpin yang terpilih kok buruk memimpinnya, bisa diistilahkan, itu rezeki yang harus diterima. Ganteng-jelek, kumisan-tidak kumisan, berkerudung-tidak berkerudung, itu semua harus diterima rakyat tanpa bisa ditolak mentah-mentah. Bahkan calon yang diketahui memaling uang rakyatpun, jika menang, kita wajib menerima, sekalipun sambil elus-elus dada.

Bayangkan bagaimana jika Anda menjadi warga Amerika Serikat kini. Memperoleh pemimpin semacam Donald Trump, yang konservatifnya bukan main, yang kolotnya edan-edanan dan yang selalu memicu kontroversi di dunia internasional, salah satunya menyetujui Jerussalem sebagai ibukota sah Israel. Otak anda tentu akan mendidih. Tapi ya bagaimana lagi, otak boleh mendidih, pemimpin yang seperti itu tetap jalan terus. Baru saat jabatannya habis, bolehlah rakyat “menghabisinya”.

Pertanyaannya dalam konteks kita ini: adakah pemenang pemilu di negeri ini yang ternyata memang buruk dan – meminjam pisuhannya Danarto – siwalan? Kalau saya jawab tidak ada, saya sungguh berbohong. Tapi kalau saya jawab ada banyak, sama juga seperti peribahasa “menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri”. Lha yang kita pilih dan menangkan ya yang itu, mau bagaimana lagi awak hendak terkejut.

Di sinilah sebenarnya konteks tulisan dikhususkan bagi calon yang mengikuti pemilu dan kebetulan menang. Karena yang menang, merekalah yang menikmati pemilu dengan sebenarnya. Merekalah yang akan memegang masa depan kita, rakyat bawahan ini. Wewenang besar akan mereka punyai.

Jika Anda kebetulan yang saya maksud itu, maka bacalah tulisan ini mulai awal. Anda harus menyetujui uraian tersebut. Sebab itu fakta yang tidak bisa ditutupi, misalnya dengan berita munculnya buaya di kali Jakarta atau ikan Arapaima Gigas yang disebar iseng ke Sungai Brantas oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

Anda harus mulai merasakan betapa rakyat ini capeknya sangat luar biasa. Tengoklah tim sukses Anda. Kadang karena muncul sedikit masalah dengan tim sukses calon lainnya, mereka rela “mati” demi Anda. Sedang Anda sendiri tak mungkin rela mati untuk mereka. Tengok pula para petugas KPU mulai atas sampai paling bawah. Tengok pula polisi, tentara dan linmas, yang siap netral dan mensukseskan kemenangan Anda.

Tengok pula warganet yang mendukung Anda. Mereka mendukung Anda tanpa pernah Anda komando. Iya, kan? Mereka mendukung dan menjagokan Anda tanpa pernah dibayar. Sedang sikap Anda, berdoa untuk mereka saja tidak pernah.

Tengok pula bagaimana pemilu itu menguras keuangan negara. Sedang keuangan negara itu sejatinya uang rakyat untuk pembangunan. Rakyat yang keluar modal, rakyat mendirikan tenda perkawinan, rakyat memilih, tetapi Andalah yang memenangkan. Sebenarnya kemenangan Anda itu murni karena mereka kasihan kepada Anda.

Tengok pula jutaan rakyat yang mencoblos gambar Anda saat itu. Pernahkah mereka kenal dengan Anda? Pernahkah Anda kenal dengan mereka dan bersalaman meraih tangannya? Seharusnya kesediaan rakyat yang super ikhlas itu, Anda perlu mengucapkan terima kasih kepada mereka, satu persatu. Hadiah harus dibalas dengan ucapan terima kasih.

Tapi sayang, selama ini Anda yang menang tak pernah seperti itu. Tidak pernah saya mendengar pemimpin yang memenangkan pemilu sebaik dan seideal itu. Ketika mereka diumumkan sebagai pemenang, banyak yang langsung jiwanya terbang tinggi-tinggi. Memimpi dengan kebanggaan jabatannya. Segera mengatur strategi agar balik modal sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya.

Adapun rakyat, biarlah diurus dan dipikir mereka sendiri. Ibarat pesta perkawinan, setelah waktu menunjukkan malam, tidak ada lagi tamu yang hadir. Para pembantu sudah sama-sama pulang. Lampu-lampu akan segera dimatikan, karena tenda akan dibongkar. Saat semua merasa lelah seperti itu, sepasang pengantin itu malah memadu kasih. Mereguk madu kehidupan. Terbang ke awang-awang. Mengabaikan dan melupakan semua yang telah terjadi.

Maka jadilah pemimpin yang selalu eling atas pengorbanan rakyat.

Mojokerto, 02072018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...