Peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Fahmi
Darmawangsyah – suami artis Inneke Koesherawati yang juga ikut tersangkut kasus
– dan Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen, seperti diberitakan banyak media, dalam
kasus dugaan suap demi memperoleh fasilitas yang mewah di penjara dan izin luar
biasa keluar penjara, benar-benar menghebohkan kita.
Peristiwa itu ternyata membuka fakta-fakta lainnya tentang perilaku
beberapa penghuni penjara di lapas tersebut yang menurut hemat saya lucu dan sekaligus
ironis. Terutama saat Najwa Shihab, host Mata Najwa yang biasa tayang di
Trans7, menyidak beberapa sel yang ditempati para napi korupsi. Hasilnya kita
tahu sendiri, ada laptop, Ipad, TV, printer, springbed, dan perabotan mewah
lainnya di dalam sel mereka.
Jujur, saya terbahak-bahak saat menonton tayangan ketika
Nana menyidak sel yang ditempati Lutfi Hasan Ishaq, Nazaruddin, OC Kaligis dan
Setya Novanto. Betapa yang kita lihat seperti bukan sel penjara yang kita
pahami selama ini sebagai tempat yang sempit, overload dan pengap. Sel penjara
para politisi korup itu justru sangat pantas dikatakan seperti kamar hotel yang
mewah dan berfasilitas lengkap.
Mereka pun seperti bukan sedang melaksanakan hukuman penjara
karena kesalahan yang telah diperbuatnya. Sebab tidak ada pengekangan fasilitas
hidup, yang selama ini mereka nikmati sebelum masuk ke penjara.
Bagi pemerintah tentu saja temuan itu sangat memalukan.
Terutama bagi Menteri Hukum dan Ham, Yasonna Laoly, karena terbongkarnya
skandal lapas tersebut menunjukkan bagaimana sebenarnya kinerjanya selama ini.
Tidak ada respon yang tepat selain merubah “kebiasaan” lapas yang selama ini
terjadi itu. Jika tidak ingin dianggap gagal dan pantas diganti dengan menteri
yang baru.
Bagi kita, skandal ini, menunjukkan keaslian sebagian dari
kita yang tidak memahami bahwa hukuman penjara bagi orang yang bersalah
merupakan konsekuensi yang manusiawi belaka.
Manusia Mahluk Bermoral
Fakta kemewahan sel penjara beberapa napi korupsi yang
terbongkar itu, memunculkan kecurigaan jika mereka selama ini tidak mau
mengakui kesalahannya. Betapapun hakim yang memvonis saat peradilan telah
menunjukkan bukti dan saksi yang kuat, bahwa mereka telah menggarong uang
rakyat atau menyuap pihak berwenang. Mereka, minimal, hanya mengakui sedikit
bukti, dan lebih banyak mengingkari bukti-bukti lainnya.
Hal itu mengarah pada dugaan lainnya, jika mereka selama ini
memang merasa tidak pernah bersalah. Seandainya dugaan ini benar, menunjukkan
kepada kita tentang kebodohan mereka akan jati dirinya sebagai manusia, yang
kadang benar dan kadang salah.
Memang secara kodrati, manusia adalah makhluk yang punya
nilai moral dan kesusilaan dibanding makhluk lainnya. Sehingga dihadapan
makhluk lainnya, manusialah makhluk yang paling sempurna. Konsekuensi dari
makhluk bermoral, manusia selalu siap sedia melakukan semua kebaikan. Bahkan
pelaksanaan kebaikan bagi semua manusia merupakan kewajiban yang paling
mendasar.
Menurut Drijarkara kewajiban itu pada dasarnya adalah
“Kebaikan yang dengan keharusan dibebankan kepada kehendak kita yang merdeka
untuk dilaksanakan”. Dengan demikian kewajiban atau keharusan berbuat baik itu merupakan
tuntutan dari kodrat kita (principium identitatis) sebagai manusia.
(Drijarkara, 1978)
Jika kita tidak
melaksanakan kewajiban dan keharusan itu, maka kita tetap dikatakan sebagai
manusia. Tetapi telah memungkiri kemanusiaannya, memungkiri kodratnya. Dalam
istilah Drijarkara disebut “perbuatan menggila”.
Hemat saya, perbuatan menggila yang dimaksud Drijarkara itu
bisa berbentuk pelanggaran moral yang dilakukan manusia. Sudah tahu menghina, membunuh,
menyiksa, mencuri dan merampok sebagai tindakan yang tidak sesuai moral, tetapi
ia masih saja melakukannya.
Begitu pula orang yang tersandung kasus korupsi – yang
menikmati fasilitas penjara yang tidak lazim itu – yang telah divonis salah
oleh hakim. Mereka tetaplah manusia, tetapi tidak bisa melaksanakan kewajiban
kodrati dan moralnya. Yaitu, kewajiban atau keharusan untuk tidak berbuat
kriminal atau pidana, dalam hal ini merampok uang milik rakyat.
Pelanggaran ini memang kerap terjadi. Manusia tidak bisa
menghindari ini, karena manusia hidup dan menghadapi realitas di luar dirinya.
Kondisi inilah yang menjadi tantangan untuk kita, apakah di semua situasi kita
tetap menjadi makhluk bermoral? Ataukah sering terpelanting menjadi manusia
menggila?
Di sinilah dibutuhkan tanggungjawab manusia dalam semua
tindak lakunya. Sebab disamping ada kodrat moral di dirinya, manusia juga
diberikan kebebasan dalam hidupnya. Kebebasan itu pada dua pilihan saja;
melakukan perbuatan sesuai kodrat moralnya atau tidak.
Hukuman (Penjara): Kelahiran Kembali
Karena itulah semua perbuatan atau perilaku kita, baik atau buruk,
benar atau salah, ada tanggungjawab yang membebani. Jika tindakan atau
perbuatan kita benar, maka kita sudah tepat menjadi manusia yang terinjek moralitas
di dalamnya. Sebaliknya jika menyalahi aturan, kriminal dan pidana, maka kita
telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai moral. Kita telah jatuh dari status
manusia.
Tapi tenang saja, manusia yang salah moral atau jatuh status
manusianya, bisa kembali lagi menuju harkat dan kodratnya, yang luhur dan
sempurna. Caranya, ia harus bertanggungjawab, yang salah mengakulah merasa
salah.
Pengakuan salah ini memang sangatlah sulit. Karena pengakuan
yang jujur itu akan mendatangkan konsekuensi yang jelas, misalnya hukuman dan
cibiran dari masyarakat. Tetapi hendak bagaimana lagi, sebab jalan menuju
kembali kepada fitrah manusiawi bagi orang yang salah memang hanyalah
itu. Tidak ada cara yang lain yang absah.
Pengakuan salah tersebut, dalam hukum positif negeri kita,
wujudnya adalah pelaksanaan hukuman sesuai pasal yang dilanggar. Kalau
kesalahan ringan, hukumannya pun ringan. Kalau berat karena merugikan bahkan
menghilangkan nyawa orang lain, maka hukumannya pun berat: dipenjara
bertahun-tahun, seumur hidup dan bahkan eksekusi mati.
Max Scheler, seorang filsuf Jerman – seperti diungkapkan
Drijarkara, melahirkan istilah Reue und Widergeburt, yang artinya
menyesal dan lahir kembali. Menurutnya, menyesali kesalahan itu “Suatu gerak
kodrati, artinya gerak yang datangnya dari dalam, dari pribadi atau persona
sendiri”.
Orang yang mau mengakui kesalahan akan muncul penyesalan (jera)
dari dalam jiwanya. “Oh aku telah melanggar HAM”, “Oh aku telah bertindak
sembrono menghina dia”, “Oh aku telah membunuhnya dengan keji”, “Oh aku telah
menilap uang negara dengan cara merekayasa proyek”, adalah gambaran pengakuan
bersalah dan penyesalan dengan upaya tidak mengulangi kesalahannya lagi. Dalam
bahasa agama disebut taubat.
Adapun penjara atau yang paling puncak, eksekusi mati,
sebagai hukuman bagi orang yang bersalah – sekalipun sudah merasa menyesal –
bisa dimaknai sebagai jalan kedua menuju ke status manusiawinya lagi. Dalam
arti, orang yang menjalani hukuman, ia sejatinya sedang melaksanakan proses
kelahirannya kembali. Setelah status manusiawinya luntur dan luruh pasca
melakukan pelanggaran moral tersebut.
Sehingga hal yang tepat dilakukan bagi para pelaku kesalahan
dalam mengarungi proses kelahiran kembali di dalam penjaranya, ia akan ikhlas
mau menjalani hukuman itu apa adanya. Biarlah keterbatasan, kesumpekan dan
“penyiksaan” penjara itu dilakoninya. Demi kelahirannya lagi, menjadi manusia
yang sejati dan bersih dari kesalahan.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda