Langsung ke konten utama

Jamaah Millenial Memandang Berbagai Isi Khotbah

Bagaimana respon Anda, duhai manusia millenial, jika di sebuah forum shalat Jum’at, khatib yang menyampaikan khotbahnya ternyata berisi anasir-anasir yang menyinggung hati, sekalipun bersifat pribadi? Tentu saja berbagai respon akan muncul dengan bermacam variasi. Salah satunya sakit hati.

Anda sakit hati, karena merasa sudah “digarap” oleh khatib tersebut. Meskipun sebenarnya khatib tersebut tidak kenal Anda. Tetapi materi yang menyentil-nyentil tersebut, jujur saja, membuat otak Anda mendidih. Sehingga badan yang sedianya duduk khusyuk mendengar khotbah, berubah tidak tenang. Kadang keringatpun berontak pula, keluar dari pori-pori kulit tanpa bisa dibendung.

Anda boleh bersikap seperti itu. Namun perlu dipahami oleh semua jamaah Jum’at, bahwa isi khotbah yang menyentil-nyentil nurani jamaah, adalah hal biasa. Khatib, memang tugasnya untuk mengingatkan dan memotivasi para jamaah yang hadir. Khatib tidak terlepas dari basyiran wa nadziran, menyampaikan kabar baik dan peringatan.

Ketika khatib mengingatkan supaya ini-supaya itu, tentu yang menjadi obyeknya adalah seluruh jamaah. Termasuk sang khatib sendiri. Begitupun ketika khatib memotivasi agar selalu melakukan kebaikan, itu pula ditujukan ke semua jamaah. Jadi tidak ada khatib yang menyampaikan khotbah khusus ditujukan kepada satu orang saja.

Makanya, ketika Anda merasa tersentil oleh khatib yang mengingatkan perilaku Anda, janganlah merasa sakit hati. Sebab, yang disentil itu tidak saja Anda, melainkan jamaah lainnya juga. Dan tentu khatibnya sendiri juga. Cara menyentilnya pun tidak dengan bahasa kasar, menghina dan merendahkan. Artinya khatib yang menyentil tersebut sangat paham perbedaan antara khotbah Jum’at dan orasi demonstrasi di tengah jalan.

***

Berbeda lagi ketika Anda dihadapkan dengan khatib yang khotbahnya tidak pernah menyentil. Atau dalam penyampaiannya datar, flat, dan tidak ada intonasi penekanan sama sekali. Apalagi yang disampaikan itu hanya tentang amalan-amalan tertentu, di bulan-bulan tertentu pula.

Saya kok suudzon, ketika mendengar khotbah yang modelnya seperti itu, banyak dari Anda yang otomatis akan menjadi manusia yang tenang dan khusyuk. Maksudnya, Anda seperti tenang dan khusyuk mendengarkan khotbah, sebab Anda memang tertidur. Dan tidur Anda itu sebenarnya bermakna penolakan! Hahaha, akui sajalah.

Ya, menurut hemat saya, sebenarnya banyak sekali para jamaah Jum’at itu yang maunya khatib harus tegas, bernas dan cerdas. Supaya para jamaah bisa mendengar dan memperoleh tambahan wawasan. Artinya, khatib menurut mereka harus memahami wacana terbaru yang terjadi saat itu. Si khatib, setidaknya mau membahas sedikit saja, konteks persoalan apa yang paling mutakhir terjadi di masyarakat. Misalnya saja politik. Tentu politik kenegarawanan, bukan politik praktis.

Atau persoalan lainnya, seperti kasus kenakalan remaja, motivasi bagi penderita sakit, kesuksesan bisnis yang barakah, dan lain sebagainya. Khatib dituntut oleh jamaah – meskipun tidak secara langsung – agar selalu meng-update isi khotbahnya itu. Maklum, zaman semakin maju. Masyarakat sudah berpijak dengan identitas millenialnya. Khatibpun harus millenial juga. Begitulah tuntutan para jamaah millenial.

Namun apa yang terjadi? Ternyata, minimal menurut pengamatan saya, masih ada saja para khatib yang tidak beranjak dari identitasnya selama ini. Sang khatib tidak cepat berubah menjadi khatib yang millenial. Ya, istilahnya, khatibnya al-jadul wal klasik.

Amatan saya ini berdasar materi khotbah yang saya dengar dari beberapa khatib yang memang sering sekali seperti itu: amalan dan hanya amalan yang beliau sampaikan. Sehingga muncul rasan-rasan dari para jamaah, tentu saja di luar forum shalat Jum’ah, bahwa mereka kurang sreg. Dan tak ayal, mereka akan membanding-bandingkan dengan khatib-khatib lainnya yang selalu kontekstual, modern dan millenial.

Apakah Anda memang seperti itu, seperti pula para jamaah yang sering rasan-rasan di luar forum shalat Jum’at, tentang khatib di masjid kampungnya, yang mereka rasa tidak relevan lagi, karena isi khotbahnya hanya tentang amalan-amalan? Tanyakan saja pada rumput gajah yang bergoyang.

***

Di masjid kampung saya, mohon maaf, khatib yang intonasinya datar dan khotbahnya berisi amalan-amalan, memang masih ada. Dan jadwalnya Jum’at kemarin. Beliau bernama H. Abd. Khafidz. Saya biasa memanggilnya Abah Khafidz. Lagi-lagi yang beliau sampaikan kemarin itu adalah, amalan-amalan.

Karena sekarang tepat di bulan Rajab, isi khotbah beliaupun tentang amalan-amalan khas di bulan Rajab. Beliaupun menyampaikan agar para jamaah sedianya memperbanyak beristighfar. Sebab bulan Rajab adalah bulan yang pas untuk meminta ampun atas dosa-dosa.

Tidak lupa beliau melengkapi pula dengan kisah Isra’ M’raj Nabi Muhammad, yang dalam satu bagian, beliau Saw. pernah melihat sebuah sungai susu di dalam surga yang legitnya melebihi madu, wanginya melebihi minyak kasturi. Sungai itulah balasan bagi para penempuh amalan-amalan baik di bulan Rajab.

Bagaimana respon para jamaah mendengar khotbah Abah Hafidz tersebut? Sekali lagi tanya saja pada rumput gajah yang bergoyang dan berdendang. Tetapi satu hal saja yang ingin saya tandaskan, bahwa justru model-model khotbah yang disampaikan Abah Hafidz ini, benar-benar menenangkan dan punya fungsi yang sangat besar.

Menenangkan, jelas sekali isinya menenangkan. Para jamaah diberikan motivasi untuk berbuat kebaikan dan sekaligus wujud balasannya (pahala atau ganjaran). Jelaslah, itu konten yang positif dan menenangkan. Kalau tidak percaya, silakan bandingkan khotbah-khotbah seperti itu dengan ceramah-ceramah penuh emosi dari beberapa ustaz yang kerap manggung di medsos.

Menurut hemat saya, memotivasi jamaah untuk beramaliah, memang lebih baik dibanding diminta untuk berfikir, berfikir dan berfikir. Sebab sekarang, banyak orang yang suka berfikir, tapi lupa beramal. Banyak orang banyak berteori, tapi lupa praktikumnya.

Dalam pengembangan makna lainnya, sekarang ini banyak orang yang suka diskusi, tapi misquen aplikasi dan implementasi. Suka ngopi-ngopi sambil ngerumpi, tapi tak cepat mendatangi mushalla terdekat ketika ada panggilan shalat menghampiri. Dan saya rasakan dalam nuansa batin saya, itulah kebiasaan-kebiasaan manusia millenial. 

Oleh karena itulah isi khotbah amalan-amalan tersebut punya fungsi yang sangat besar pula bagi ummat. Wujud fungsi itu adalah anti tesis dari kebiasaan kurang lengkap yang dilakukan manusia milenial. Gampangannya seperti ini.

“Eh, Anda semua pasti sudah sering membahas sedekah, sudah paham ini itunya. Sebab Anda sering guugling tentang materi keagamaan itu. Maka segeralah lakukan sedekah itu dalam wujud nyata. Datangi fakir miskin, atau minimal masjid dan mushalla, kemudian bersedekahlah. Ada iman dan ada amal.”

Ya, itu maksud yang jelas dan terang disampaikan khatib. Supaya kita semua, jamaah shalat Jum’at, tak hanya seperti pohon yang tak berbuah. Tak hanya menjadi rindu yang tak berujung temu. Makanya, jika ada khatib yang menyentil batinmu, terimalah dengan lapang dada. Dan jika ada khatib yang menjelaskan amalan beserta ganjarannya, dengarkanlah seraya berniat akan segera mempraktikkannya. Dan satu lagi, jangan ketiduran saat khotbah disampaikan. Wallahu a’lam bisshawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...