Sumber foto: darunnajah.com
Menjadi sebuah kebanggaan bagi setiap orang, ketika ada
orang yang bertanya, ia bisa menjawabnya. Dengan jawaban yang terang, jelas dan
bermutu. Dalam makna yang lain, jawaban itu sangat berbeda dibanding
jawaban-jawaban orang lain. Unik dan luar biasa.
Di acara tivi, terutama talk show, kita sering berdecak kagum
kepada narasumber yang berhasil menjawab pertanyaan sang host, tanpa cela. Bahkan
ketika jawaban tersebut sanggup menutup logika berpikir sang host, untuk
menanyakan soal-soal yang lebih sulit lagi. Ketika itu terjadi, kita langsung
mengunggul-unggulkan narasumber itu.
Dalam catatan saya, para narasumber yang kerap “mengalahkan”
host acara-acara tivi itu; Gus Dur dan Yusril Ihza Mahendra. Iya, Gus Dur dan
Yusril, sering sekali membuat host sebuah acara kelabakan. Minimal menurut
kacamata pandang saya. Anda semua pasti juga punya jagoannya sendiri-sendiri.
Sangat sering terjadi, pada pertanyaan pertama saja di
sebuah acara, sudah bisa diterka bahwa sang host akan berhasil merajai acaranya
itu. Tetapi terhadap Gus Dur dan Yusril, rata-rata untuk pertanyaan pertama
saja, sang host sudah menunjukkan ketakberdayaannya.
Mereka seperti ayam jantan yang kehilangan pasangan
betinanya. Daya pikirnya melemah. Maunya ingin mengajukan pertanyaan mahal, eh
yang muncul malah yang receh-receh. Ibaratnya stok seluruh pertanyaan penting seperti
sudah dijawab hanya di pertanyaan pertama. Kalau tidak salah ingat host yang pernah
kalah telak itu Andy Noya dan Ira Koesno.
Saya, sering pula bermimpi kapan bisa seperti dua tokoh tersebut.
Menjadi narasumber yang bisa menjawab semua pertanyaan dengan sangat logis dan makjleb.
Menjadi manusia yang dikenal punya talenta dan kecerdasan yang luar biasa. Sehingga
pada akhirnya membuat saya, minimal, berhasrat menjadi Gus Dur atau Yusril, di
forum-forum lainnya. Forum itu forum kampung.
Bersama orang kampung, sering sekali saya menerima
pertanyaan aneh-aneh dari mereka. Seperti misalnya soal pernak-pernik pilpres
yang sedang panas-panasnya dan sebentar lagi akan dihelat. Dan untuk
pertanyaan-pertanyaan tentang bahasan politik itu, saya sudah siap 200 persen.
Nampaknya saya akan sanggup menjadi narasumber yang kaya wawasan. Tentu saja
dibanding orang-orang kampung. (lambemu)
Hal itu tidak aneh, sebab memang setiap hari berseliweran wacana
dan berita politik yang tak henti saya telaah. Oleh karena itu dengan adanya pilpres,
membuat diri saya bisa menjadi “menteri penerangan” bagi orang kampung, dengan
sangat mudah. Semudah nyuci baju bayi anak saya yang terkecil: bajunya
dimasukkan bak penuh air, setelah itu dicuci dengan memakai sedikit air dan
detergen. Sungguh mudah, bukan?
Dan saya berani memastikan, di waktu menjelang pilpres ini,
banyak juga orang yang wawasan politiknya bertambah mekar. Mereka laksana
komentator dan narasumber yang mentereng pangkat kesarjanaannya. Mereka kuat
dalam berdebat atau mempertahankan pendapatnya. Tapi itu dalam omongan politik,
lain halnya ketika diajak membayar pajak PBB. Banyak dari mereka yang langsung
tutup mulut. Kalau tidak percaya, silakan tanya pada perangkat desanya
masing-masing... wkkwkkkk.
Kembali ke pertanyaan yang ditujukan ke saya. Demikian pula
ketika ada orang kampung yang bertanya tentang problem rumah tangga. Atau persoalan
agama, yang bagi mereka memusingkan kepala, dan bagi saya tidak. Di moment seperti
itu, saya selalu bisa menjawab dan mengulas pertanyaan-pertanyaan tersebut, dilengkapi
banyak aspek yang terkait. Sehingga nampak di wajah para penanya, tatapan
optimisme dan progresifitas yang menggelegar! (opo ae iki)
Mengapa saya kok bisa menjawab semua pertanyaan itu? Halah
mudah diterka, itu sih karena pertanyaan mereka saja yang memang tidak sesulit
yang saya kira. Jadi bukan karena sayanya yang punya banyak wawasan. hahahaha.
Tetapi seandainya pertanyaan mereka sulit, dan saya tak bisa
menjawab, maka mungkin saya akan menelepon kawan yang lebih pandai dari saya. Kemudian
minta penjelasan yang detail agar ketika saya menjawab kepada orang kampung,
saya punya penjelasan yang utuh. Kebetulan yang ini belum terjadi.
Nah, kemarin saya mendapat satu pertanyaan yang sungguh
sulit saya jawab. Pertanyaan yang kayaknya sepele, tapi ternyata jawaban saya
tak bisa memuaskan hati si penanya itu. Si penanya adalah anakku sendiri,
Dzakirah.
“Ayah, apa sih rombongan itu?” Sebuah pertanyaan yang ia
sampaikan ketika kami bermotor mengelilingi Alon-alon Kota.
Sebagai ayah yang telah saya ulas sebelumnya – punya cukup
wawasan dan sering bisa menjawab pertanyaan orang kampung, saya pun menjawab
pertanyaan anakku itu.
“Rombongan itu ya beberapa atau banyak orang yang ada di sebuah
kendaraan.”
Tak kusangka ia kembali bertanya lagi.
“Ayah rek. Apa kok rombongan itu?”
Saya jelaskan lebih spesifik lagi, “Rombongan itu banyak
orang. Kalau satu dua orang bukan rombongan.”
Dan ternyata jawaban tersebut seperti tidak memuaskan
batinnya. Ia pun kembali bertanya lagi.
“Hiiiih. Apa kok Yah, rombongan itu?”
Setelah itu, tak ada jawaban lagi dari saya. Saya jadi
bingung sendiri harus menjawab apa. Dan sepertinya ulasan saya di
paragraf-paragraf sebelumnya, yang membahas Gus Dur, Yusril, Andy F. Noya, Ira
Koesno, pilpres, persoalan agama dan lain sebagainya itu, saya rasakan seperti
menguap begitu saja. Bagaimana tidak menguap, lha seekspresifnya saya
menjelaskan diri saya tersebut, diberi pertanyaan anakku yang TK itu saja, saya
seperti tak sanggup memberikan jawaban yang bisa memuaskannya.

Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda