Langsung ke konten utama

Kisah-kisah Gus Dur dan Coklat

Sumber foto: suaraislam

Mengetahui kisah tentang Gus Dur, yang diperoleh bukan dari buku atau referensi tertulis lainnya, menurut saya lebih terasa berkesan. Kisah tentang seorang tokoh yang tak lekang oleh zaman dan terus dibicarakan di mana-mana, berdasar cerita tutur itu, memberikan satu gairah tersendiri. Minimal menurut kesan saya. Apalagi kisah itu berdasar sumber A1, wah sungguh sebuah anugerah yang istimewa.

Seperti halnya pernah saya mendapat cerita dari seorang kepala madrasah di sebuah desa sebelah kampung saya. Bapak kepala madrasah tersebut menceritakan bahwa di sebuah malam puluhan tahun yang lalu, ia pernah menjemput Gus Dur di terminal Mojokerto, dan kemudian dibonceng menuju rumah seorang Gus di kampungnya itu, yang terletak di utara Sungai Brantas.

Gus Dur blusukan malam-malam ke rumah Gus kelas kampung tersebut bukan bertujuan politik. Melainkan Gus Dur hanya ingin silaturrahim dan ngobrol santai. Serta ingin pijat-pijatan dengan Gus tersebut. Begitu yang dilihat dan diceritakan bapak kepala madrasah tersebut kepada saya.

Di kali lain seorang tetangga saya yang aslinya dari Jombang, juga bercerita tentang Gus Dur. Ia dulu pernah menjadi santrinya Gus Dur, ketika Gus Dur mengajar kitab al-Hikam di Pesantren Tambak Beras Jombang. Tetapi menurut ceritanya lagi, Gus Dur hanya sebentar mengajar kitab karya ulama besar Syeikh Ibnu Athaillah al-Sakandari tersebut, sebab sering pergi ke Jakarta.

Ada juga cerita lainnya tentang Gus Dur yang beberapa minggu ini baru saya dengar. Kali ini yang bercerita Pak Carik desa saya sendiri. Menurut penuturannya yang pernah lama tinggal di Jakarta, kakaknya Pak Carik tersebut adalah mantan sopir Gus Dur. Nama kakaknya Pak Carik itu Pak Ilyas, orang asli Nganjuk dan sekarang tinggal di Tangerang. Ia menjadi sopir pribadi keluarga Gus Dur sebelum Gus Dur diangkat menjadi presiden.

Sebuah cerita musykil pun muncul. Sebenarnya Pak Ilyas itu ingin sekali menjadi tentara. Maka ia pun sudah mempersiapkan diri mendaftar tentara. Tetapi saat ia minta izin ke Gus Dur, beliau serta merta menjawab bahwa ia tak akan bisa menjadi tentara. Dan benar, ia tidak jadi tentara hingga saat ini.

Cerita yang paling akhir tersebut, membuat saya kaget juga. Sebab sebenarnya saya sering ngobrol dengan Pak Carik. Tapi baru tahu kisah hidup kakaknya yang mantan sopir Gus Dur itu beberapa minggu ini. Itupun karena ia bermurah hati mau menceritakannya. Makanya saya menilai cerita yang ini sangat mahal harganya.

Tetapi ada cerita lainnya yang menurut saya juga sangat mahal dan menunjukkan salah satu kepribadian yang tak terlihat dari Gus Dur. Walaupun sebenarnya sedikit dari banyak kisah-kisah lainnya. Karena saya sangat meyakini, banyak orang yang lebih paham pribadi yang tak terlihat lainnya dari Gus Dur, yang diketahui dalam realitas yang berlimpah. Salah satunya KH. Husein Muhammad yang mengumpulkannya dalam buku berjudul Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur.

Lantas cerita apa lagi yang boleh dinilai mahal tentang Gus Dur itu?

Begini Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Cerita ini saya awali dari keberadaan tanaman coklat (kakao) di kebun milik bapak saya. Tanaman coklat tersebut sudah berumur sekira enam tahunan, persisnya saya sudah lupa. Dengan usia tanaman selama itu, boleh dibilang kebun coklat yang tidak seberapa luas itu bisa memberikan hasil kepada bapak saya. Meskipun belum maksimal.

Yang perlu diketahui mengapa bapak saya memilih menanam coklat, yang sebenarnya jenis tanaman yang belum dikuasai ilmunya, dibanding tanaman lainnya yang sudah familier di masyarakat? Ternyata tanaman yang tidak tergantung musim ini bapak tanam, berawal dari ikut sertanya beliau pada pelatihan kemandirian ekonomi yang diadakan PC NU Kab. Mojokerto beberapa tahun silam.

Di dalam pelatihan tersebut, budidaya tanaman coklatlah yang menjadi materi utamanya. Sebagai usaha kemandirian ekonomi, hasil dari budidaya tersebut kiranya mampu mengangkat perekonomian nahdliyin. Juga bisa memberikan kontribusi kepada NU secara organisatoris.

Untuk mensukseskan program tersebut, PC NU menurunkan beberapa pengurus yang memang ahli di bidang percoklatan. Ada dua orang yang sepengetahuan saya memang ahli: Pak Mulyono pemilik Wisata Desa Dlanggu dan Pak Nawawi. Mereka berdualah yang turun ke lapangan memberikan pengarahan semaksimal mungkin kepada petani binaan.

Seingat saya Pak Mulyono pernah menengok kebun coklat milik bapak saya dua kali. Tetapi kalau Pak Nawawi, beliau ini sangat sering meninjau langsung dan memberikan pengarahan. Walhasil, seperti uraian sebelumnya, tanaman coklat milik bapak saya tergolong sehat. Sekalipun akhir-akhir ini terkendala adanya tupai yang berkeliaran memakan biji coklat. Sehingga sangat mengganggu. Harapan saya, saya bisa meng-OTT tupai-tupai itu secepatnya. 

Nah, beberapa kali saya berbincang dengan Pak Nawawi. Tentu saja lebih banyak tentang coklat, yang konon lebih berfaedah dibanding kopi itu. Di dalam perbincangan yang terakhir, sekira satu bulan yang lalu, ada satu pengakuannya yang mengagetkan saya. Pengakuan tentang siapa sih sebenarnya yang pertama kali menggelorakan nahdliyin diminta menanam coklat.

Menurut tuturan Pak Nawawi, sebenarnya ia dan Pak Mulyono, bukan sebagai pioneer penanam coklat, khususnya di Jawa Timur, lebih khusus lagi dari struktur NU kabupaten. Mereka baru mendalami seluk beluk coklat setelah keduanya belajar ke seorang yang lebih awal menguasai pengetahuan menanam coklat ini. Kalau tidak salah dengar ia bernama H. Kholid, orang Blitar yang punya kampung coklat yang terkenal itu.

Saya sempat bertanya ke Pak Nawawi, siapa sih sebenarnya yang pertama kali menjadikan coklat sebagai tanaman yang punya progres bagus. Pak Nawawi pun menjawab, Gus Dur. Iya Gus Dur, beliaulah yang punya impian agar coklat menjadi tanaman yang mampu memandirikan ekonomi NU, pada khususnya. Dan masyarakat luas pada umumnya.

Niat suci dan bervisi ke depan itu Gus Dur wujudkan dengan mengirim dua orang kader NU, H. Kholid dan satunya lagi saya lupa, untuk mengenyam pendidikan di Singapura. Pendidikan khusus pendalaman tanaman coklat. Dan hasilnya, lagi-lagi menurut Pak Nawawi, Jawa Timur kini segera akan menjadi penghasil terbesar coklat Nasional. Mojokerto sendiri, dalam hal ini Wisata Desa yang kini menjadi pengepul dan pabrik pengolahan coklat, sedianya akan menjadi percontohan dan pusat coklat di Jawa Timur.

Dengan prestasi tersebut, lantas Pak Nawawi pun berani mengatakan, inilah salah satu bukti betapa ucapan Gus Dur itu keramat. Gus Dur ingin menjadikan coklat sebagai tanaman penghasil ekonomi, ternyata menemui kenyataan yang benar. Dan itulah yang membuat saya antusias menuliskan ini.

Gus Dur dekat dengan kehidupan riil di masyarakat. Gus Dur membaca masa depan, hal-hal yang positif dan bermanfaat besar bagi masyarakat. Gus Dur membumi di semua level kehidupan manusia: internasional, nasional, lokal, bahkan dari kampung ke kampung. Gus Dur seorang humanis sejati, terlihat dari ajaran-ajaran dan praktik kehidupannya. Wajar saja ia abadi.
   
25 Maret 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...