Langsung ke konten utama

Harta Mahal itu Bernama Sabar

Dari jauh, terlihat lampu lalulintas di sebuah perempatan menunjukkan tanda jika lampu hijau akan segera menyala. Kendaraan kitapun agak kita kebut, kiranya bisa mengejar nyalanya lampu hijau itu. Ndilalah di depan kita bertumpuk juga kendaraan-kendaraan lainnya. Akhirnya semuanya tak bisa mengebut.

Di situasi itu kita menengok ternyata lampu hijau benar-benar telah menyala. Hati kita bergairah gembira, sebab sebentar lagi kita bisa keluar dari kemacetan melelahkan itu. Manakala kita mendongak lagi barang beberapa detik, ternyata yang menyala ganti yang merah. Mendadak kita kaget dan langsung lunglai. Sebenarnya perasaan kita mendidih, sebab sudah lama kita terjebak kemacetan yang memusingkan. Dan di situlah sikap sabar harus kita kedepankan.

***

Kita ingin berobat kepada seorang dokter andalan. Jadwal praktik sudah kita pegang. Kita juga sudah punya nomor rekam medis di tempat praktik dokter andalan itu. Karena sangat ingin berobat dan konsultasi kepadanya, kitapun ingin segera ke tempat praktiknya itu. Hari, tanggal dan jam sudah kita dapatkan.

Kita pun berangkat dengan perasaan bahagia, sebab dokter andalan kita akan segera bisa kita temui. Kita pun akhirnya sampai di tempat praktik itu, setelah menempuh perjalanan lumayan jauh. Tak dinyana dan tak disangka, ternyata ada informasi baru yang mengagetkan. Dokter andalan kita itu tidak bisa hadir, karena harus mengoperasi pasien gawat di rumah sakit lainnya. Entah mengapa kepala kita langsung cenut-cenut. Dan di situlah sikap sabar harus kita munculkan.

***

Suatu saat kita singgah dan shalat di sebuah masjid di perjalanan bersama keluarga lainnya, setelah menghadiri acara kawinan kerabat di sebuah kota. Namanya kondangan, biasanya sekujur tubuh, mulai kepala sampai ujung kaki, menempel pakaian yang harganya eksklusif. Saat kita shalat di masjid itu, baju keluarga kita pun nampak paling indah, sebab harganya mehong benong (mahal benar).

Kita shalat dengan santai, sambil menikmati tiupan AC dan wewangian ruangan yang aduhai sedapnya. Hati langsung plong, sejuk dan jernih. Shalat serasa khusyuk, karena dibantu suasana masjid yang menyegarkan. Ketika usai, kemudian semua akan pergi dari masjid itu, ternyata ada hal aneh. Hal yang sebenarnya sangat menjengkelkan. Ternyata, sandal milik sebagian keluarga kita yang harganya ratusan ribu itu, raib. Termasuk sandal kita sendiri. Mau teriak melalui toa, tapi teringat sebuah maqalah bahwa tak perlu menyoal sandal yang hilang di masjid. Di situlah sikap sabar harus kita selimutkan ke hati kita.

****

Salah satu kebahagiaan kita sebagai orang tua, ketika berhasil menikahkan anak-anak kita dengan pasangannya yang salih atau salihah. Untuk mewujudkan kebahagiaan itu, kita pun mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Kita sudah berencana menghelat pesta pernikahan dengan mengundang ratusan orang, terdiri teman, sejawat, dan kerabat. Undangan sudah disebar. Tempat penyewaan perlengkapan nikah juga sudah kita pesan. Katering paling maknyus tak lupa sudah kita booking.

Hati sangat bahagia, karena besok hari H resepsi pernikahan anak kita. Apalagi setelah melihat tenda resepsi sudah berdiri megah. Spiker raksasa juga sudah mendendangkan nasyid dan dangdut Rhoma Irama. Kuliner maknyus sedianya sudah siap untuk dihidangkan besoknya. Hati berdebar. Pikiran melayang. Tapi tak pernah dikira, alam berkata lain. Besok harinya terjadi gempa tak begitu kuat. Tapi itu sudah berhasil membuat semuanya porak-poranda. Rencana pestapun menjadi berantakan. Di situlah sabar harus kita panggil menemani kita.

***

Sebenarnya kita ini punya kekaguman kepada salah satu tokoh. Kebetulan tokoh itu tahun ini mengikuti kompetisi politik. Iya, memperebutkan kursi perdana menteri. Namanya kagum dan cinta pol-polan, kita pun mendukung jalan keberhasilan tokoh kita itu. Di medsos, saban hari kita membagi profil dan kehebatan tokoh itu. Kepada rekan, kita sering memprospek mereka supaya mereka memilih tokoh itu. Kalau mereka malah menjagokan tokoh lain, kita tak jarang berdebat panjang dengan mereka. Hingga berakhir bibir atau jari kita kaku dan remuk.

Pada pesta demokrasi yang digelar, kitapun optimis tokoh kita akan memenangkan pertandingan. Bahkan karena itu, semua persiapan pesta kemenangan sudah tersedia. Lokasi sujud syukur juga sudah ditentukan, di sebuah lapangan yang rumputnya lumayan rindang, biar empuk dipakai sujud. Tapi apa yang terjadi? Ternyata fakta berkata lain. Tokoh kita terjungkal, kalah telak. Berdasarkan Quick Count, tokoh kita hancur lebur dengan margin kekalahan di atas 10 persen. Tentu akan banyak hal yang mungkin saja terjadi pada kita, misalnya darah tinggi atau stroke mendadak. Yang perlu kita hadirkan ketika seperti itu, sikap sabar, sabar dan sabar.

***

Sabar, memang terlalu indah untuk dikhotbahkan dan diceramahkan. Sabar memang indah, seperti sebuah pepatah Arab. Pepatah Arab juga mengatakan bahwa sabar tangga awal menuju keberhasilan. Tetapi itu sabar di lisan dan di teks yang sering kita dengar dan baca. Bukan sabar di kelakuan dan pola tindakan kita. Dengan kata lain sabar itu salah satu pelajaran yang sudah kita pahami dan menancap. Tetapi itu hanya di wilayah ide dan imajinasi kita.

Lain halnya ketika kita dihadapkan dengan contoh-contoh situasi yang merakyat seperti saya uraikan di atas. Sebab sering manakala kita berhadapan dengan situasi tragedi itu, tiba-tiba saja sang obat dan terapi ampuh bernama sabar itu, sulit ditemui. Ia hilang. Ia musnah tak tentu di mana persembunyiannya. Tapi kemusnahannya itu bukan salah si sabar itu. Semua adalah kesalahan kita sendiri yang membuat si sabar tadi tak mau sowan ke kita.

Coba seandainya kita mau menyadari bahwa kejadian-kejadian tragedi itu memang takdir Tuhan yang dianugerahkan kepada kita, mungkin akan lain ceritanya. Takdir Tuhan yang dianugerahkan kepada kita, tak jarang memang mengusik kita. Mengaduk-aduk, kadang, keimanan kita. Mengkitik-kitik emosi kita. Dan karenanya mari kita renungkan kejadian tersebut dengan logika biasa.

Tuhan memberikan anugerah yang aneh-aneh itu, tentu sesuai ukuran kita. Kita ditakdir kehilangan sandal, terjebak kemacetan, rencana acara yang porak poranda, bahkan pasangan hidup kita hilang, tentu Dia tahu bahwa aslinya kita ini siap dalam menghadapinya. Kita ini sebenarnya mampu merespon secara tepat atas terjadinya tragedi-tragedi itu. Dan ketepatan sikap itu tiada lain adalah sabar. Ingat ayat, la yukallifullahu nafsan illa wus’aha. Dia tak akan keluar dari koridor yang dibuat-Nya sendiri.

Oleh karena itu, kita selalu bisa menghadapi apapun yang terjadi di dunia ini. Apapun itu. Betapapun di hitungan-hitungan sepele, sepertinya kita tidak mampu mengatasinya. Dan problemnya, menurut buku motivasi entah apa judulnya, karena kita memang sering tidak total, kurang optimis, setengah-setengah, tidak percaya diri, sehingga usaha belum dimaksimalkan, “bendera putih” langsung kita kibar-kibarkan. Dalam bahasa tauhid, kalau kita merasa kalah, berarti kita sudah tidak percaya lagi Tuhan ada bersama kita.

Jadi, sabar yang indah dan pintu pertama menuju kesuksesan itu wajiblah kita bawa sebagai bekal ke manapun kita pergi. Dan artinya ia bukan berada di luar diri kita, terlepas dari jiwa kita. Melainkan ia ada di hati kita. Di hati suci kita. Seperti halnya Dia yang selalu menyertai kita. Hanya persoalannya, kadang kita lupa dengan harta mahal kita itu. Wallahu a’lam bisshawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...