Peringatan Isra’ Mi’raj dihelat di banyak tempat.
Kemarin, hari ini dan mungkin juga beberapa hari mendatang, peristiwa kenabian
yang sungguh bersejarah itu, akan diperingati dengan berbagai konsep khas
masyarakat kita.
Para bapak kerap memperingatinya dengan cara membawa
ambeng (nasi dan lauk-pauk lengkap
empat sehat lima sempurna) ke masjid atau musholla. Ambeng-ambeng itu akan
dikumpulkan jadi satu di teras masjid, kemudian seorang pemuka agama akan
memimpin ritual peringatan itu. Paling sering dibacakan shalawat nabi.
Lain para bapak, lain pula para murid sekolah. Karena
kemarin libur tanggal merah, maka peringatan Isra’ Mi’raj di sekolah-sekolah
akan dilaksanakan hari ini, besuk dan mungkin ada juga lusa. Para murid itu diminta
oleh gurunya supaya memakai baju muslim dan muslimah. Bukan seragam sekolah
seperti biasanya.
Para murid itu juga diminta membawa kue sendiri-sendiri
dari rumah. Ini yang seru, sebab pasti akan banyak variasi kue yang terkumpul
di sekolah yang akan dibagikan lagi kepada mereka. Volume terbanyak tentu saja
roti, yang memang lebih praktis, tidak perlu ribet membuatnya, cukup beli di
toko kelontong milik tetangga.
Para murid itu akan dikumpulkan di masjid dan
halaman sekolah. Mereka akan diajak membaca shalawat nabi oleh guru agamanya.
Biasanya guru agama itu juga akan menceritakan dan menjelaskan hikmah peristiwa
kenabian ini. Tujuannya menancapkan pemahaman mendalam kepada murid, supaya
mereka mengerti sejarah.
Kenyataan
Hidup
Memperingati peristiwa bersejarah, apalagi sebuah
peristiwa yang berhubungan dengan keimanan, cara terbaik menurut hemat saya
adalah dengan merenung. Merenungkan atau merefleksikan tentang eidos atau inti yang bisa
diserap dari peristiwa itu. Dan selalu inti peristiwa keimanan itu multi
interpretatif, bukan tafsir tunggal.
Peristiwa Isra’ Mi’raj yang terjadi di tahun ke-10
kenabian Rasulullah Saw ini, juga memiliki multi inti atau substansi hikmah
yang bisa kita renungkan. Salah satunya saya peroleh dari isi ceramah yang
disampaikan KH. Imam Hambali dan saya selipkan di tulisan sederhana ini.
Menurut KH. Imam Hambali dalam sebuah ceramahnya di
Driyorejo, Gresik – tapi saya lupa kapan waktunya – bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj
tersebut adalah sebuah realitas atau kenyataan hidup, meskipun kebenarannya
banyak dibantah oleh orang-orang musyrik saat itu. Terhadap semua kenyataan
kehidupan itu – bukan hanya Isra’ Mi’raj – kita diminta untuk menerimanya
dengan hati yang tulus.
Selama ini kita memang suka pilih-pilih dalam hal
menerima kenyataan hidup. Yang kita pilih, seringkali hanya yang cocok dengan
kehendak kita. Sedang yang dirasa kontraproduktif, kita banyak menolaknya.
Salah satu misal yang boleh jadi ada di kehidupan
kita, ketika karir atau pekerjaan kita dihiasi kesuksesan, itu kita terima dan
yakini sebagai kenyataan hidup. Kita menjadi bangga dan bahagia. Terkadang sering
pula menceritakan kebanggaan itu kepada orang lain. Bahwa kesuksesan itu adalah
kisah hidup yang riil ia alami.
Seandainya ia hobi menulis di buku harian,
kesuksesan itu akan kerap ia catatkan dalam buku harian yang ia simpan di kamar
pribadinya. Ia menuliskan berbagai cerita harian itu. Tentang keberhasilannya,
proses melelahkannya dan harapan-harapan besar di depannya.
Kesuksesannya itu juga akan dianggap sebagai kenyataan
hidup oleh keluarganya. Istrinya akan bahagia dan bangga. Orang tuanya juga
bangga dan bahagia. Mertuanya tidak kalah heboh, mereka akan meneruskan cerita
kebanggaan atas kesuksesan anak mantunya itu ke para tetangganya. Sambil membusungkan
dada mereka berkoar, “Dialah menantu kebangaanku.”
Tetapi di kali lain, saat kesuksesan tersebut
dilanda masalah besar. Berupa kebangkrutan yang amat sangat. Sehingga menghabiskan
cadangan modal yang ia simpan. Sontak, suasana batin menjadi berubah pula.
Si sukses tidak menerima kenyataan itu. Hingga ia
stres berat, menuju kegilaan. Istrinya dirundung kalut. Sekalipun masih
menyisakan setitik asa. Orang tua kandung mengalami kurus badan, sebab
kesusahan anaknya adalah kesusahannya juga.
Mertuanya kini, tidak lagi menyimpan kebanggaan. Yang
ia ceritakan kepada tetangganya hanya umpatan-umpatan kepada anak mantunya,
yang dibilangnya bodoh, karena tidak bisa memelihara kesuksesannya itu.
Mereka semua, yang berubah suasana batin itu, mau
menerima hanya salah satu jenis kenyataan hidup. Sementara satu jenis lainnya, mereka
tolak. Padahal dua jenis kenyataan hidup – yang mengenakkan dan tidak
mengenakkan – itu akan selalu ia hadapi di dunia ini.
Agaknya tepat jika dibahasakan ala generasi
millenial, kenyataan hidup yang kontraproduktif tersebut sama levelnya dengan
hoax. Banyak orang yang tidak menyukai kenyataan hidup yang kontraproduktif,
dan banyak pula orang yang menolak hoax. Namun ada yang membedakan yang
sifatnya mendasar: kenyataan hidup yang kontraprodukfif itu nyata dan hoax itu tidak
nyata.
Dengan demikian Isra’ Mi’raj merupakan kenyataan
hidup yang wajib diyakini muslim. Jangan pernah lupa juga, Isra’ Mi’raj adalah salah
satu mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah. Dan sudah menjadi
kebiasaan, standar otak manusia tak akan sanggup menerima kebenaran mukjizat
yang diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Oleh karena itu hanya hati
yang tulus dan penuh keyakinan yang bisa menerima kebenaran peristiwa metafisika
nan sakral tersebut.
Pelatihan
Jiwa
Syeikh Said Ramadhan al-Buthy menceritakan dalam bukunya
The Great Episodes of Muhammad Saw.:
Menghayati Islam dari Fragmen Kehidupan Rasulullah Saw., di pagi hari
setelah malam peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut, Malaikat Jibril menemui
Rasulullah dan mengajari beliau tata cara shalat dan ketentuan waktunya,
seperti yang dijalankan muslim saat ini. Setelah sebelumnya beliau melaksanakan
shalat dua rakaat di waktu pagi dan sore, seperti halnya yang dilakukan Nabi
Ibrahim a.s. Jadi, shalat lima waktu itulah oleh-oleh yang dibawa Rasulullah
pasca Isra’ Mi’raj.
Jika dimaknai sebagaimana Mi’raj, bahwa sebenarnya shalat
– dan ritual ibadah lainnya – merupakan cara terbaik menaikkan derajat kita. Dengan
satu catatan, kita harus berikhtiar dengan keras agar ritual ibadah itu
benar-benar mampu menaikkan derajat kita, di hadapan sesama dan lebih-lebih di
hadapan Allah. Supaya derajat kedirian kita tidak satgnan.
Salah satu syarat menaikkan derajat kedirian itu, kita
harus menjadikan seluruh ritual ibadah sebagai wahana pelatihan jiwa. Tanpa upaya
pelatihan jiwa tersebut, niscaya ritual ibadah yang kita lakukan tak akan bisa
bernilai apapun, terutama mereformasi jiwa kita.
Sebenarnya, menurut KH. Said Agil Siraj dalam buku Berkah Islam Indonesia: Jalan Dakwah
Rahmatan Lil’alamin, setiap ritual ibadah kita mengandung integrated system yang bisa melatih jiwa
kita, antara lain: jihad (pelatihan
fisik), ijtihad (pelatihan rasio) dan
mujahadah (pelatihan batin). Ketiga pelatihan
jiwa tersebut tidak boleh diputus dari keterkaitannya. Sebab ketiganya adalah
cara holistik untuk menaikkan derajat kedirian kita tersebut.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda