Minimal munculkanlah rasa suka cita atas kelahiran Muhammad Saw di dunia ini, biarpun satu noktah. Sekalipun tak memperingatinya dengan peringatan besar-besaran. Mungkin hanya itu yang memang anda bisa lakukan, untuk seorang yang belum ada padanannya di dunia ini. Bahkan tak akan ada lagi yang seperti itu.
Atau kalau punya harta yang lebihnya banyak, bolehlah memperingatinya dengan konsep yang lebih besar. Konsep yang meriah dan meaningfull (penuh makna). Misalkan mengundang warga, kemudian dibacakan Maulid Nabi, kemudian mereka kita beri makan. Memperingati kelahiran sang kekasih Allah dengan cara memberikan kebahagiaan kepada orang lain bisa jadi akan mengena. Tepat seperti sosok beliau yang meaningfull pula.
Peringatan tanpa memberikan makna terutama kepada kita sendiri, saya kira akan muspra belaka. Oleh karenanya salah satu semangat memperingati Muhammad Saw adalah menghidupkan nilai-nilai penting kehidupannya. Kehidupan yang sangat sempurna. Seimbang antara kepentingan dirinya dan orang lain. Bahkan lebih banyak yang beliau korbankan demi perjuangan li i’lai kalimatillah.
Sebagai pemuda biasa, dialah pemersatu di kotanya. Saat kisruh para kepala suku menentukan siapakah yang berhak mengangkat Hajar Aswad saat dipindah-tempatkan, beliaulah yang akhirnya mampu memberikan solusi. Diajaknya mereka bersatu dalam simbol saling memegang kain putih lebar yang di atasnya Hajar Aswad tergeletak. Kemudian ditaruh di tempat yang sudah ditentukan. Mereka rukun, bersatu dan kagum pada sosok Muhammad muda.
Sebagai individu, dari diri Muhammad Saw memancar tingkah laku dan perkataan yang bermakna. Makna yang bermanfaat besar kepada kita. Apa yang dilakukan Muhammad Saw dalam semua dimensi kehidupannya, adalah ajaran dan tuntunan yang disebuat Sunnah. Mengikutinya adalah menelusuri jalan keselamatannya. Sama pula menggondeli baju beliau. Dan kitapun selamat sampai di surga.
Sebagai suami, Muhammad Saw adalah sang pengasih dan pencinta yang sejati. Istri-istri beliau adalah wujud perempuan sejati yang dikerumuni bahagia, sebab beliau pandai mendatangkan kebahagiaan. Tiap kali beliau bepergian, hampir selalu membawa serta salah satu atau beberapa istrinya. Ataupun kalau tidak diajak serta, beliau selalu memberikan mereka buah tangan sebagai wujud kasihnya.
Saya membayangkan seandainya anda, perempuan yang masih remaja, ternyata menjadi istri beliau. Saya meyakini, raut muka anda akan selamanya bahagia. Raut muka yang bersinar alami. Raut muka yang kecerahannya mengalahkan perawatan wajah di jaman sekarang ini, yang ketika berdandan nampak cantik, dan ketika berhenti berdandan, pudarlah kecantikan itu. Kecantikan dan kecerahan wajah istri-istri Rasulullah memancar dari dalam batin dan lahirnya. Percayalah.
Sebagai orang tua, Muhammad Saw adalah ayah yang sangat perhatian. Juga ayah yang sangat adil. Contohnya, kepada Fatimah beliau mewanti-wanti agar jangan melanggar hukum agama, misalnya mencuri. Sebab beliau tak segan akan menghukum sendiri dengan memotong tangan Fatimah. Tidak usah orang lain, cukup beliau sendirilah yang menghukum anaknya. Apakah kita gampang menemui orang tua yang adilnya mirip Rasulullah kepada anaknya itu? Sulit.
Sebagai seorang anggota masyarakat, Muhammad Saw adalah sosok yang disiplin dan memegang teguh kemandirian. Walau derajat kemulyaan berada di pundaknya, tapi kemandirian yang beliau praktekkan sungguh luar biasa. Misalnya, untuk sekedar mengikat tali kekang kudanya, beliau tak mau menerima uluran tangan Ali. Beliau rela mengikat sendiri. Beliau bukan seorang yang cengeng dan manja, yang sedikit-sedikit butuh uluran tangan orang lain. Sekarang!? Semuanya manja.
Sebagai pemimpin, hanya beliaulah yang punya keadilan dan kasih sayang yang dihamparkan kepada umatnya. Dan salah seorang yang mendapat anugerah itu adalah Ukasyah bin Mihshan al-Asadi. Ia hebat, karena mampu merayu Nabi membuka bajunya. Kemudian Ukasyah merangkulnya, tidak jadi mencambuk punggung Nabi. Semuapun menangis. Saya juga. Untuk mengenang ini, saya selalu merasa iri atas ulah Ukasyah. Ukasyah adalah satu-satunya orang yang pantas diirikan.
Sebagai kakek, beliau sangat menyayangi cucu-cucunya. Sayangnya tidak ternilai. Sabarnya tidak tergambarkan. Ketika punggung beliau ditunggangi cucunya ketika bersujud, beliau tidak marah. Kasih sayangnya dirupakan menunggu sampai cucunya itu turun dari punggungnya. Beliau bergerak dengan lamban penuh perhatian, agar cucunya tidak jatuh. Tiada cucu yang sangat bahagia selain Hasan dan Husain bin Ali.
***
Lalu apa salahnya kita memberikan hadiah kepada beliau sekalipun sekedar mengenang Mauludnya? Bisakah dicari berapapun alasan yang mampu mengalahkan bahwa memperingati Maulud adalah manifestasi rasa cinta kita kepada beliau? Tidak ada. Maulud adalah cara mencinta kita pada sosok termulya. Maulud adalah rasa malu kita kalau kita ini punya junjungan yang sempurna, manusia yang baik hati dan pemimpin yang sangat bijaksana, tapi kita sedikit mendzikirnya.
Kepada pemimpin partai politik saja kita taat. Kepada atasan kantor kita saja, kita sungkan. Kepada presiden kita saja, kita hormat. Tapi kenapa kepada Muhammad Saw kita tidak seperti itu! Barangkali maulud itulah satu-satunya sangu kita ketika bertemu beliau nanti di akhirat. Sekalipun sangu yang sangat sederhana dan apa adanya.
Nabi bertanya, “Mat, oleh-oleh apa yang kamu bawa untukku yang pasti aku suka?”
Kita menjawab, “Oh Nabiku, maafkanlah aku. Tidak banyak yang bisa aku bawa. Hanya Mauludmu ini yang bisa aku hadiahkan kepadamu. Mudah-mudahan engkau berkenan. Shollu alaika ya habibiy.”
Atau kalau punya harta yang lebihnya banyak, bolehlah memperingatinya dengan konsep yang lebih besar. Konsep yang meriah dan meaningfull (penuh makna). Misalkan mengundang warga, kemudian dibacakan Maulid Nabi, kemudian mereka kita beri makan. Memperingati kelahiran sang kekasih Allah dengan cara memberikan kebahagiaan kepada orang lain bisa jadi akan mengena. Tepat seperti sosok beliau yang meaningfull pula.
Peringatan tanpa memberikan makna terutama kepada kita sendiri, saya kira akan muspra belaka. Oleh karenanya salah satu semangat memperingati Muhammad Saw adalah menghidupkan nilai-nilai penting kehidupannya. Kehidupan yang sangat sempurna. Seimbang antara kepentingan dirinya dan orang lain. Bahkan lebih banyak yang beliau korbankan demi perjuangan li i’lai kalimatillah.
Sebagai pemuda biasa, dialah pemersatu di kotanya. Saat kisruh para kepala suku menentukan siapakah yang berhak mengangkat Hajar Aswad saat dipindah-tempatkan, beliaulah yang akhirnya mampu memberikan solusi. Diajaknya mereka bersatu dalam simbol saling memegang kain putih lebar yang di atasnya Hajar Aswad tergeletak. Kemudian ditaruh di tempat yang sudah ditentukan. Mereka rukun, bersatu dan kagum pada sosok Muhammad muda.
Sebagai individu, dari diri Muhammad Saw memancar tingkah laku dan perkataan yang bermakna. Makna yang bermanfaat besar kepada kita. Apa yang dilakukan Muhammad Saw dalam semua dimensi kehidupannya, adalah ajaran dan tuntunan yang disebuat Sunnah. Mengikutinya adalah menelusuri jalan keselamatannya. Sama pula menggondeli baju beliau. Dan kitapun selamat sampai di surga.
Sebagai suami, Muhammad Saw adalah sang pengasih dan pencinta yang sejati. Istri-istri beliau adalah wujud perempuan sejati yang dikerumuni bahagia, sebab beliau pandai mendatangkan kebahagiaan. Tiap kali beliau bepergian, hampir selalu membawa serta salah satu atau beberapa istrinya. Ataupun kalau tidak diajak serta, beliau selalu memberikan mereka buah tangan sebagai wujud kasihnya.
Saya membayangkan seandainya anda, perempuan yang masih remaja, ternyata menjadi istri beliau. Saya meyakini, raut muka anda akan selamanya bahagia. Raut muka yang bersinar alami. Raut muka yang kecerahannya mengalahkan perawatan wajah di jaman sekarang ini, yang ketika berdandan nampak cantik, dan ketika berhenti berdandan, pudarlah kecantikan itu. Kecantikan dan kecerahan wajah istri-istri Rasulullah memancar dari dalam batin dan lahirnya. Percayalah.
Sebagai orang tua, Muhammad Saw adalah ayah yang sangat perhatian. Juga ayah yang sangat adil. Contohnya, kepada Fatimah beliau mewanti-wanti agar jangan melanggar hukum agama, misalnya mencuri. Sebab beliau tak segan akan menghukum sendiri dengan memotong tangan Fatimah. Tidak usah orang lain, cukup beliau sendirilah yang menghukum anaknya. Apakah kita gampang menemui orang tua yang adilnya mirip Rasulullah kepada anaknya itu? Sulit.
Sebagai seorang anggota masyarakat, Muhammad Saw adalah sosok yang disiplin dan memegang teguh kemandirian. Walau derajat kemulyaan berada di pundaknya, tapi kemandirian yang beliau praktekkan sungguh luar biasa. Misalnya, untuk sekedar mengikat tali kekang kudanya, beliau tak mau menerima uluran tangan Ali. Beliau rela mengikat sendiri. Beliau bukan seorang yang cengeng dan manja, yang sedikit-sedikit butuh uluran tangan orang lain. Sekarang!? Semuanya manja.
Sebagai pemimpin, hanya beliaulah yang punya keadilan dan kasih sayang yang dihamparkan kepada umatnya. Dan salah seorang yang mendapat anugerah itu adalah Ukasyah bin Mihshan al-Asadi. Ia hebat, karena mampu merayu Nabi membuka bajunya. Kemudian Ukasyah merangkulnya, tidak jadi mencambuk punggung Nabi. Semuapun menangis. Saya juga. Untuk mengenang ini, saya selalu merasa iri atas ulah Ukasyah. Ukasyah adalah satu-satunya orang yang pantas diirikan.
Sebagai kakek, beliau sangat menyayangi cucu-cucunya. Sayangnya tidak ternilai. Sabarnya tidak tergambarkan. Ketika punggung beliau ditunggangi cucunya ketika bersujud, beliau tidak marah. Kasih sayangnya dirupakan menunggu sampai cucunya itu turun dari punggungnya. Beliau bergerak dengan lamban penuh perhatian, agar cucunya tidak jatuh. Tiada cucu yang sangat bahagia selain Hasan dan Husain bin Ali.
***
Lalu apa salahnya kita memberikan hadiah kepada beliau sekalipun sekedar mengenang Mauludnya? Bisakah dicari berapapun alasan yang mampu mengalahkan bahwa memperingati Maulud adalah manifestasi rasa cinta kita kepada beliau? Tidak ada. Maulud adalah cara mencinta kita pada sosok termulya. Maulud adalah rasa malu kita kalau kita ini punya junjungan yang sempurna, manusia yang baik hati dan pemimpin yang sangat bijaksana, tapi kita sedikit mendzikirnya.
Kepada pemimpin partai politik saja kita taat. Kepada atasan kantor kita saja, kita sungkan. Kepada presiden kita saja, kita hormat. Tapi kenapa kepada Muhammad Saw kita tidak seperti itu! Barangkali maulud itulah satu-satunya sangu kita ketika bertemu beliau nanti di akhirat. Sekalipun sangu yang sangat sederhana dan apa adanya.
Nabi bertanya, “Mat, oleh-oleh apa yang kamu bawa untukku yang pasti aku suka?”
Kita menjawab, “Oh Nabiku, maafkanlah aku. Tidak banyak yang bisa aku bawa. Hanya Mauludmu ini yang bisa aku hadiahkan kepadamu. Mudah-mudahan engkau berkenan. Shollu alaika ya habibiy.”
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda