Pembelahan semakin kelihatan menganga. Anak-anak
muda yang gaweannya membuka-buka gawainya, mereka sudah terbelah. Dalam pembelahan
yang saling dibenturkan. Mereka saling berhadap-hadapan.
Epistemologi mereka benar-benar menjadi berbeda. Hanya
dua yang ia jadikan sandaran berpikir. Kalau tidak epistemologi penguasa yang
terus ingin jadi penguasa, pasti satunya lagi epistemologi anti penguasa yang
sebenarnya sangat mencita-citakan ingin segera jadi pengusa. Dalam urusan
epistemologi saja mereka berbeda.
Padahal epistemologi kita itu Indonesia. Ontologi
kita juga Indonesia. Apatah lagi aksiologi kita, bahkan yang terakhir ini
semuanya untuk Indonesia. Apakah kamu itu kerdil, jangkung, kulit putih, setengah
hitam, pakai bahasa Banjar atau bahasa Bugis, pedagang, politisi atau tukang
jual kerupuk, kalau kamu hidupnya di tanah Indonesia, ya aksiologi kita untuk kalian.
Kita ini kalian, kalian adalah kita.
Tapi heran, aku yang heran, mana Indonesia kita. Mana
nusantara kita. Semua berotakkan junjungannya. Anak-anak muda, ibu-ibu
berhijab, bapak-bapak bersorban, mereka masih saja taat pada yang namanya “junjunganku”.
Tidak bisa berpikir sendiri, tentang apa yang sebaiknya dibangun di Indonesia
yang multi ras ini.
Kamu jangan mengatakan bahwa mayoritas keterbelahan
ini akan sampai pada sepuluh atau dua puluh tahun atau lima puluh tahun yang
akan datang. Bayangkan, pikirkan, andaikata itu betul-betul menjadi wajah kita,
bagaimana nanti respon Kang Jono ketika berpapasan dengan Ustad Zulfikar. Masa mereka
harus hantam-hantaman atau minimal tidak saling sapa, bahkan tidak saling
tatap? Betapa tidak enaknya situasi yang seperti ini jika berlangsung abadi.
Tapi kamu juga jangan selalu pesimis. Biar aku juga
tidak pesimis. Maka mari kita bangun perspektif baru agar yang membelah segera
bertemu. Ngobrol di warung kopi itu penting. Mendedahkan berbedanya kiblat itu
memang boleh. Tapi ya itu, jangan tinggalkan kedudukan asli kita di tanah air
yang kaya ini. Apa demi kursi politik kita mesti perang nuklir? Kan jadi malu
sama Korsel dan Korut. Mereka akan adu nuklir oleh sebab pertarungan merebut
pacar yang bernama “harga diri”. Sedangkan kita saling bom-boman hanya demi urusan
remeh temeh, urusan rebutan makan yang akan menjadi taek, demi kursi yang mudah
lapuk. Buat kursi sendiri kan bisa. Malah sangat bisa dihias, divariasi, dengan
pernak-pernak sesuka hati kita. Kursi pribadi maksudnya, bukan kursi politik. Walaupun
berbeda, tetapi substansinya sama: kursi. Gampang to.
Aku sebenarnya sedang mengintip apa benar ada
orang-orang yang punya potensi besar, yang kini sedang hangat dibalut selimut,
atau asyik masyuk dengan cita-cita sucinya, tapi tidak lalai dengan situasi di
Indonesia. Aku sudah jenuh dan kinipun sedikit gila kalau membaca komentar yang
saling pentung-pentungan di medsos. Masa untuk menghindari ini aku buang saja
facebook di ruang kenangan pikiranku! Eman, Bung.
Jangan kamu bilang mereka itu polisi atau tentara
atau dukun atau paranormal yang akan keluar jalunya kalau memang situasi
mendesak. Mereka bukan aparat yang menenteng senjata api. Mereka bukan penganut
black magic. Mereka bukan tukang tenuh. Mereka itu sedang terasing, teralienasi
dari cuaca yang gak jelas.
Mereka adalah yang sekarang sedang ubek dengan
literasinya. Ubek dengan cintanya merangkul umat. Ubek dengan nilai kesejarahan
nasional yang maunya mereka cari dan ungkap dengan sempurna. Siapa sih mereka? Boleh
dibilang mereka dapat disebut The Silent Man dalam kondisi politik yang
ajur-ajuran. Mereka diam, merahasiakan status, hanya dalam konteks jurang yang
menganga. Tapi untuk Indonesia, untuk bangsa yang konglomerat di bidang jiwa,
penguasa di bidang ketahanan dan siluman di bidang kecerdasan ini, mereka akan
turun gunung. Dan aku yakin turun gunungnya mereka akan berpotensi “mencahayai”
tanah-tanah gelap yang terselimuti awan hitam dan wedut gembel.
Pasti kamu bingung dengan realitas sebenarnya mereka
siapa. Gampang sebenarnya mencarinya. Mereka mengumpul di komunitas-komunitas
literasi yang terdiri para pecinta dan penulis buku serta esai. Mereka terkumpul
dalam organ penting negeri ini, sebab mereka para orang tua yang sangat bijak
dalam bertindak. Mereka para budayawan, seniman dan sastrawan yang sebetulnya sedang
merenungi nasib negerinya, dan segera melukis bagaimana cara mengindahkan lagi
Indonesia. Mereka juga terkumpul dalam komunitas-komunitas ontelis, bikers dan
sederet komunitas lainnya yang kerjaannya baikan dengan orang lain, tidak ada
dendam, semua sama dalam derajat. Aku memasukkan satu lagi, mereka terdiri
anak-anak kita yang sejak sekarang jangan dikasih racun dalam piring sarapan
pagi, makan siang dan makan malamnya. Kasih saja mereka hasil alam yang punya
kandungan omega 3 yang tinggi. Biar berkembang otak kecerdasannya. Atau kasih
mereka contoh tokoh-tokoh “pemahat jiwa”, agar mereka bisa memahat jiwanya
sendiri. Tentu menjadi cita-cita kita, mereka pula yang akan memahat jiwa Indonesia
yang kita cintai ini.
Aku tahu ini hanya harapan dari pembacaan sosial dan
budaya. Untuk selanjutnya bagaimana dengan masa depan negeri ini andaikata
mereka tidak jadi turun gunung? Wah, kalau ini yang kamu tanyakan, maka
jawabanku agak seram: kalau kalian tidak bisa mengindahi dan memahat jiwa Indonesia
lagi tanpa mereka, apa boleh buat, potong saja kemaluanmu. Untuk diri sendiri
saja kalian tak mau menolong!
Twin Towers Lantai 7, 08 November 2017
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda