Sekarang koleksi buku saya berjumlah lima ratusan judul. Terdiri dari beberapa kategori: agama, sains, filsafat, sosiologi, sejarah, sastra, antrolopogi, populer, dan lain-lainnya. Yang paling banyak tentu saja buku-buku agama, yang selama ini telah memberikan kepada saya manfaat yang luar biasa besar.
Diantara buku-buku tersebut,
ada satu yang menjadi favorit saya. Buku itu berjudul Ganti Hati, sebuah buku
populer yang ditulis Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos, yang menarasikan
peristiwa cangkok liver yang pernah ia jalani di rumah sakit Yi Zhong
Xin Yi Yuan (First Centre Hospital) di Kota Tianjin Tiongkok, dengan begitu
detail. Karena buku populer maka saya berani menggaransi semua orang pasti
sanggup membaca isi buku tersebut. Tulisannya begitu renyah dan mudah dipahami.
Itulah kelebihan pak Dahlan yang mampu menyuguhkan tulisan remeh temeh tapi
mendalam.
Sebetulnya buku ini
sudah terbit sepuluh tahun silam sekira tahun 2007. Tapi saya baru
memperolehnya beberapa minggu yang lalu di sebuah toko loakan di Surabaya. Bagi
saya memperoleh buku loakan memberikan manfaat besar, yaitu saya bisa mendapat
harga lebih hemat dari harga asli ketika buku tersebut baru diterbitkan. Jujur,
bagi saya harga buku ini ketika pertama kali terbit terlampau mahal. Dan itu
menunjukkan kondisi saya dulu hehehe.
***
Setelah membaca
keseluruhan isi buku ini, saya menemukan tiga hal penting yang dihadirkan pak
Dahlan. Pertama, sosok pak Dahlan
yang luar biasa. Ia ini sosok pekerja keras yang hampir tak menemukan waktu kosongnya.
Kehidupannya dipenuhi target yang luar biasa, baik itu target untuk
perusahaannya, maupun untuk kesehatan livernya. Salah satunya bisa ditemukan di
tulisan ke- 8 di halaman 46:
“Saya
ingat waktu itu waktu mulai membangung Jawa Pos dari sebuah koran yang hampir
bangkrut, saya harus bekerja sepanjang malam. Besoknya tidak pakai libur.
Bahkan, sudah harus bekerja sejak pagi hingga sampai malam lagi. Begitu
seterusnya. Tidak libur. Besoknya sepanjang malam lagi, sepanjang siang lagi
dan sepanjang malam lagi. Tujuh hari seminggu, 30 hari sebulan, 350 hari
setahun – dikurangi saat bepergian. Selama kira-kira 15 tahun berturut-turut.”
Pak Dahlan juga sosok
yang luas pergaulannya. Dalam buku ini betapa kita mendapat banyak informasi
jika pak Dahlan sejak lama telah membangun kerja sama di bidang bisnis dengan
para pejabat dan pengusaha di Tiongkok. Untuk memuluskan targetnya itulah ia
sering berkunjung di banyak kota di Tiongkok, antara lain Beijing, Guangzhou,
Jinhua, Wenzhou, Hanzhou, dan lain-lainnya (halaman 90). Bahkan kerja sama itu
tidak saja bagi kemajuan perusahaan, tapi juga dalam rangka membantu pemerintah
daerah, antara lain Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Demi memperlancar
komunikasi dengan orang Tiongkok, pak Dahlan tidak berhenti belajar bahasa
Mandarin bahkan ketika dalam kondisi perawatan di rumah sakit.
Karena sangat luasnya
pergaulan, iapun mampu merangkul seorang teman yang berasal dari Singapura,
bernama Robert Lai. Robert Lai adalah seorang pengacara di Singapura, dialah
yang punya peran penting atas keberhasilan cangkok livernya pak Dahlan. Robert
Lai inilah yang memfasilitasi semua kebutuhan pak Dahlan dan istri, mulai hulu
sampai hilir. Semua diperjuangkan demi kesembuhan teman Indonesianya itu.
Kedua,
lewat buku yang awalnya berupa artikel yang dimuat di Jawa Pos beberapa edisi
ini, pak Dahlan sepertinya sedang berkampanye, bahwa menulis itu gampang. Asalkan
punya kemauan dan mengetahui secara detail bahan materi apapun yang akan
dijadikan tulisan. Buku ini berisi pengalaman pribadi pak Dahlan, sehingga yang
beliau hadirkan adalah detail-detail apa saja yang telah ia alami di Tianjin.
Untuk urusan detail,
saya rasa pak Dahlan sangatlah luar biasa. Walau sebenarnya terkesan sepele,
ternyata catatan detail itu mampu menyempurnakan tulisan yang aslinya memang
renyah. Yang detail-detail itu antara lain: perbedaan ukuran lift di rumah
sakit Tianjin (halaman 16); istilah-istilah kedokteran seperti esofagus,
peritonium, tri lumen dan sonde (halaman 30-31); rute terbang mulai
Surabaya-Jakarta-Pontianak-Kuching-Singapura-Guangzhou-Wenzhou-Jinhua-Hangzhou-Nanchang-Guangzhou-Jakarta-Makassar-Ambon-Makassar-Kendari-Makassar-Jakarta-Surabaya
(halaman 90), dan lain-lainnya.
Hal-hal yang terkesan
sepele tapi dinyatakan sangat detail itulah yang menjadi salah satu kekuatan
dari buku ini. Mempengaruhi kepada pembaca bahwa si penulis buku sangat pandai
dalam hal memfungsikan segala apa yang ada menjadi materi tulisan. Tulisan nampak
hidup, sebab dipenuhi obyek-obyek kecil tapi sangat mendukung. Di halaman 57
ada pula catatan kedetailan pak Dahlan yang sekali lagi berhasil menghidupkan
suasana tulisan:
“Lalu, slang yang masuk
ke rongga perut melalui pinggang kanan juga dicabut. Rasanya juga sakit, tapi
sakit yang menimbulkan kelegaan. Alat pengukur tekanan darah juga dilepas. Kabel-kabel
yang menempel di dada kanan dan dada kiri dicabut. Juga kabel yang dihubungkan
ke ujung-ujung jari. Semuanya hilang sudah. Rasa plongnya bukan main.”
Dalam persoalan
kedetailan materi tulisan, hampir keseluruhannya bisa ditemukan di banyak
tempat. Hal itulah bisa menjadi inspirasi kepada kita tentang bagaimana menulis
yang baik dan seperti hidup.
Dan ketiga,
penulis buku ini dengan jelas ingin memberikan pesan kepada pembaca agar
menengok kesehatan diri. Pak Dahlan sadar betul bahwa kesehatan tubuh sangatlah
penting. Sekalipun kesadaran ini ia peroleh di kala liver yang menempel di
dalam tubuhnya sudah dalam taraf tidak berfungsi. Liver yang terkena kanker
akut. Yang diakibatkan kerja yang terlampau keras, hingga melalaikan istirahat.
Tidak bisa tidak, solusinya harus dicangkok, sebab belum ditemukan obat untuk
penyakit itu.
Sedangkan untuk urusan
cangkok liver di Indonesia sendiri belum ada rumah sakit yang sanggup. Teknologi
kedokteran di negeri ini belum canggih dalam menangani kanker liver. Jadi yang
bisa hanya di luar negeri. Otomatis ongkosnya sangatlah mahal.
Salah satu rumah sakit
yang sangat berpengalaman dari sisi tenaga medis, kelengkapan alat, prosedur
yang memadai, juga terapi pasca operasi, di tingkat Asia adalah First Centre
Hospital di Tianjin Tiongkok. Di tempat itu terdapat seorang dokter terkenal di
bidang transplantasi hati (liver) dan berpengalaman menangani ratusan pasien,
ia bernama Prof. Shen Zhong Yan. Dialah yang meyakinkan pak Dahlan akan
keberhasilan rencana mengganti hati lawasnya dengan hati yang baru.
Seseorang telah membuat
pak Dahlan tersadar tentang sesegera mungkin penyakitnya ditangani adalah
temannya sendiri yang juga orang Tiongkok. Namanya Prof. Shao, seorang dokter
wanita yang lama dikenal pak Dahlan. Kedekatan dan keakraban pertemanan dua
orang berbeda bangsa itu nampak dari keprihatinan Prof. Shao pada penyakit yang
diderita pak Dahlan. Di halaman 108 dicatatkan:
“’Dahlan, Anda ini
sudah gawat. Saya tidak mau kehilangan Anda,’ katanya. Berkata begitu, dia
seperti setengah menegur setengah mengiba. Dia kembali menarik napas panjang
sekali. Matanya berlinang. Dia keluarkan tisu di sakunya. Dia usap air matanya.”
***
Resensi buku yang saya
susun ini memang tergolong timeless. Tapi saya menjamin apabila anda
diberikan kesempatan membaca buku ini, saya yakin anda akan banyak diliputi
pengalaman baru yang luar biasa dari sosok yang luar biasa pula, Dahlan Iskan. Minimal
anda akan sadar bahwa ambisi yang menyala-menyala dalam kehidupan akan
mempunyai konsekwensi yang nyata. Ia berbentuk batas perlakukan kepada fisik
dan psikis diri kita sendiri.
Setiap karya pasti
tidaklah sempurna. Begitu pula buku ini. Satu-satunya ketidaksempurnaan yang
berhasil saya catat adalah kenapa harga jual buku ini dulu ketika pertama kali
terbit tidak familier di kalangan bapak-bapak muda seperti saya. Padahal buku
ini berhasil memberikan penyadaran kepada banyak orang. Dan problem harga buku
mahal inilah yang belum terpecahkan hingga sekarang ini. Wallahua’lam
Judul Buku : Ganti Hati
Penulis : Dahlan Iskan
Penerbit : JP Books Surabaya
Tahun terbit : 2007
Isi :
336 hal.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda