Langsung ke konten utama

Pendapat Seimbang Tentang Ucapan “Selamat Natal”

Beberapa hari mendatang, tepatnya 25 Desember 2017, umat Kristiani seluruh dunia akan melaksanakan perayaan Natal. Perayaan tersebut sebenarnya adalah hari raya memperingati kelahiran Yesus atau Isa al-Masih, menurut anggapan mereka. Gegap gempita kebahagiaan mereka sudah nampak di beberapa minggu ini.

Di negeri kita, perayaan Natal ini selalu diwarnai dengan pro kontra yang sepertinya sulit dihilangkan. Salah satunya dihembuskan oleh beberapa kalangan muslim yang berpendapat keharaman mengucapkan “selamat Natal”. Bahkan MUI juga telah memfatwakan haram pada muslim yang mengucapkan itu. Dengan alasan akan menodai ketauhidan, sebab umat Kristiani menganut trinitas.

Di sekian media juga telah ditayangkan beberapa pendapat para ustad dan habib tentang keharaman tersebut. Mereka mendasari keharaman tersebut dengan berbagai macam argumentasi yang dikutip dari ulama-ulama terdahulu. Mereka mengambil hujjah dari kitab yang dibaca dan dijadikan referensinya.

Tidak ada yang salah dengan pendapat tersebut, karena memang itu bentuk ijtihad yang sah. Apalagi, setahu saya yang bukan ahli hukum Islam, tidak ada dalil yang sharih (jelas) baik di al-Qur’an maupun Hadis tentang pelarangan atau pengharaman tersebut. Sehingga wajar,  menyikapi sesuatu hal dari umat yang berbeda keyakinan, akan menimbulkan ijtihad. Walaupun perlu pula dipampangkan hasil ijtihad yang berbeda dari pengharaman tersebut.

Saya kira ini penting sebagai pembelajaran kepada umat. Bahwa keberbedaan pendapat hasil ijtihad itu biasa dan normal. Sebab perbedaan itu sebuah keniscayaan hidup yang tidak bisa ditolak. Sejak dulu perbedaan pendapat di kalangan muslim sudah terjadi. Bahkan sudah terjadi dalam sejarah saat peristiwa pengangkatan Sayyidina Abu Bakar r.a sebagai pengganti Rasul Saw. sesaat pasca kewafatan beliau.    

Dengan kesadaran bahwa pandangan muslim tidaklah monolitik, kiranya akan membuka kesadaran yang lain tentang menghargai pendapat-pendapat yang berbeda. Siapapun yang mengharamkan wajib menghargai pendapat yang membolehkan, dan begitupun sebaliknya. Ada semacam toleransi pendapat yang terbangun dengan baik. Dan hal ini kiranya menjadi cita-cita yang memang harus digelorakan di tengah situasi yang selalu menghangat ini.

Salah satu perbedaan hasil ijtihad tentang mengucapkan “selamat Natal” ini bisa dibaca dalam buku Menyusuri Jalan Cahaya: Cinta, Keindahan & Pencerahan yang ditulis Abuya KH. Husein Muhammad dan diterbitkan Bunyan pada tahun 2013.

Buku tersebut sangat menarik, sebab spirit yang dijadikan idea moral adalah pencampuran antara cinta, keindahan dan pencerahan, seperti sub judul buku tersebut. Adalah keahlian sang penulisnya, sehingga buku ini, walaupun menuliskan beberapa pendapat yang berbeda dari mainstream, tapi nuansanya tentap saling menghargai.

Tentang pendapat berbeda mengenai ucapan “selamat Natal” dari Muslim untuk umat Kristiani, bisa dibaca di halaman 95. Dalam tema Natal: Pernghormatan untuk Sang Nabi, Abuya Husein memberikan kalimat yang indah sebagai abstrak:
Sikap toleran, menyambut liyan, menghargai ragam pendapat atau pikiran, tak gampang menuduh atau mencurigai orang hanya lahir dari keluasan, kemendalaman pengetahuan dan kebersihan diri.

Kemudian Abuya menukil beberapa pendapat ulama kesohor tentang kebolehan mengucapkan “selamat Natal” kepada umat Kristiani.

Syekh Yusuf al-Qardhawi mengatakan:
“Adalah hak setiap kelompok untuk merayakan hari-hari besarnya dengan cara tidak melukai orang lain. Juga hak setiap kelompok untuk menyampaikan ucapan selamat atas hari besar orang lain. Islam tidak melarang kaum muslimin menyampaikan ucapan selamat kepada warga negara dan tetangga yang beragama Nasrani berkaitan dengan hari besar keagamaan mereka, karena hal ini termasuk dalam pengertian al-Birru (kebajikan) sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah Surat al-Mumtahanah ayat 8: Allah tidak akan melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari tempat tinggalmu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.
Dan Surat al-Nisa’ ayat 86: Jika kamu mendapat kehormatan, balaslah penghormatan itu dengan cara yang lebih baik atau minimal dengan penghormatan yang sama. Akan tetapi, kaum muslimin dalam ini tidak boleh mengikuti ritual keagamaan mereka.

Syekh Mushtafa al-Zarqa:
“Seorang muslim yang mengucapkan selamat kepada teman-temannya atas kelahiran Isa al-Masih a.s, menurut saya merupakan hal yang baik dan etika dalam pergaulan sosial. Islam tidak melarang sikap ini, apalagi Isa al-Masih yang dalam akidah Islam adalah Rasul besar dan salah satu Ulu al-Azmi. Mereka sangat dihormati dalam agama kita. Namun sayang, mereka (kaum Nasrani) terlalu ekstrem dengan meyakininya sebagai ‘Tuhan’.”

Dr. Muhammad Abdullah al-Syarqawi dari Universitas Qatar:
“Dalam momen hari raya umat Kristiani, Natal, tidaklah mengapa seorang muslim menyampaikan ucapan Natal kepada tetangganya, guru, murid, teman kantor, atau teman sekolahnya yang beragama Nasrani. Ini merupakan tuntunan Islam yang bijaksana yang menegaskan keharusan kita bertindak adil dan berbuat baik kepada warga negara beragama Kristen Koptik sesuai irman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 8: Allah tidak akan melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari tempat tinggalmu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.”
 
***

Adanya keberbedaan itu memang suatu kenyataan yang tidak bisa ditutupi. Tinggal bagaimana muslim memahami masing-masing argumentasi yang melandasi pendapat ijtihadnya. Di sinilah dibutuhkan kedewasaan sikap, bahwa sesama kita saja dilingkupi pluralitas dalam memahami fenomena keagamaan. Juga sikap tidak saling menyalahkan dan menganggap pendapat lainnya kurang tepat.

Tapi tentunya harus ada yang disepakati, terutama di wilayah kebangsaan. Bahwa yang mendiami dan menjadi penduduk negeri ini terdiri dari banyak kultur dan agama. Masing-masing butuh dukungan dari golongan lain ketika melaksanakan agenda keyakinannya. Tanpa itu maka toleransi yang sejati tidak akan pernah terjadi.

Saya memimpikan jika sikap kita sudah seperti di atas, maka akan tercipta suasana yang benar-benar cair antara satu golongan dan golongan yang lain, antara pemeluk agama satu dan lainnya. Seperti dinukil Abuya Husein (lihat halaman 101), tentang pengalaman Cak Nur di Mesir. Ceritanya terjadi pada Desember 1991. Saat itu Cak Nur sedang berada di Mesir, dalam suasana Natal yang ia lihat di mana-mana. Banyak terpampang ucapan selamat Natal, tentunya dalam bahasa Arab, bertengger di banyak titik.

Di sebuah restoran yang dikunjungi Cak Nur saat itu juga diperindah dengan selebaran-selebaran ucapan selamat Natal. Banyak punya selebaran lainnya yang mengajak para pengunjungnya untuk bersyukur kepada Tuhan atas kelahiran Nabi Isa atau Yesus. Baru diketahui kemudian oleh Cak Nur bahwa sang pemilik restoran tersebut adalah seorang muslim taat dan baru saja menunaikan ibadah haji. Sungguh indah, bukan?    


Mojokerto, 23-12-2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...