Langsung ke konten utama

Palestina Adalah Perjuangan

Jangan dikira klaim Donald Trump akan sekejap mampu meruntuhkan Palestina. Jangan disangka koar-koar negara-negara maju di Eropa yang menolak klaim Trump, tapi tidak ada bukti nyata, mampu merobohkan nurani perang rakyat Palestina. Jangan dikira pula bantuan negara-negara Islam, sekalipun sekedar dukungan di wilayah-wilayah lain bukan dalam hal politik, akan membuat rakyat Palestina menyerah begitu saja.

Sebenarnya klaim Donald Trump itu hanyalah sinyalemen bahwa presiden bedebah tersebut ingin mengukur, kira-kira berani gak negara-negara lainnya melawan keputusan Amerika Serikat. Ternyata benar menurut perkiraan Trump, bahwa mereka semua tidak ada yang berani melawan Amerika Serikat. Beraninya hanya menolak, menolak dan menolak, sama sekali tidak ada langkah perlawanan. Kecuali rakyat Palestina dan gerakan-gerakan lainnya.

***

Palestina itu negeri dengan wilayah yang sangat sempit. Bahkan hampir tiap tahun mengalami penggerusan oleh langkah sepihak Israel yang terus melakukan perluasan wilayah pendudukan. Tapi tidak lantas yang kecil itu gampang diinjak, digencet dan mati meletet.

Palestina itu tidak bisa diibaratkan seperti David melawan Goliath. Kemudian dalam pertarungan itu Goliath yang raksasa bisa kalah. Membuyarkan nalar kebanyakan kalau yang besar pasti mampu menumpas yang kecil. Tidak seperti itu. Sebab, pertarungan David vs Goliath hanya terjadi beberapa saat. Kalau salah satu kalah, maka yang satunya pasti menang.

Palestina bukan seperti David seorang. Melainkan mereka adalah kumpulan jutaan David yang tiap saat tumbuh. Mereka selalu siap bertarung. Pada pertarungan yang tak pernah terhenti.

Sampai sekarang antara Palestina dan kekuatan-kekuatan besar yang menggasaknya, belum ada satupun klaim kemenangan. Apakah Trump yang kemarin-kemarin mengeklaim Jerusalem adalah ibu kota sah dari Israel, kemudian bisa disebut kemenangan Israel? Tunggu dulu.

Kemarin, Ismael Haniyeh menyerukan kepada anggota faksi Hamas untuk berperang terus menerus melawan Israel. Menurut Haniyeh, tidak ada langkah politik lainnya yang tepat selain perang dan perang.

Gelora itu pasti juga tumbuh pada penduduk Palestina lainnya, baik yang tergabung dengan faksi Fattah maupun yang tidak tergabung keduanya. Di dada mereka muncul semangat keberanian yang tidak bisa diperkirakan oleh siapapun saja. Jiwa perjuangan yang merasuki aliran darah, nalar dan perasaan mereka, membuat mereka lupa pada rasa takut.

Jangan pernah bertanya kepada mereka perihal kematian, hancur leburnya rumah-rumah, kelaparan, dan segala bentuk diskriminasi kemanusiaan lainnya. Mereka sudah kebal dengan itu semua. Mati atau hidup, mereka sudah tidak perduli.

Lihatlah video-video mereka. Hanya bersenjatakan batu dan bom molotov, tapi mereka berani menghadang tank-tank Israel. Ketika salah satu ditembak mati, kematian itu tidak lantas menjadikan lainnya lari terbirit-birit. Mereka berlari hanya untuk menghindar. Sebab mereka akan datang lagi. Membawa pulang jenazah kawannya, lalu memakamkannya dengan penuh kebanggaan. Kemudian mereka akan kembali lagi, mencari para tentara Zionis, memeranginya dengan rasa kebanggaan menjadi syuhadak.

Lihatlah pertarungan itu, sangat tidak seimbang, kan? Batu dan molotov melawan tank dan persenjataan canggih lainnya milik Israel. Dan selama ini di medan pertempuran itu, memang tidak pernah ada sportifitas di pihak Israel. Apa artinya? Itulah bukti bahwa sebenarnya para tentara Zionis Israel memendam rasa takut yang sangat nyata. Mereka takut menghadapi “tawuran massal” warga Palestina yang bergemuruh tanpa setitikpun rasa takut. Ketakutan itu mereka tutupi dengan cara menenteng bedil canggih dan bantuan tank-tank mutakhir yang selalu menyokong mereka.

Bagi kita yang mendoakan dan mendukung perjuangan itu dari jauh pasti tidak bisa menolak, bahwa Palestina adalah perjuangan. Mereka menjadi contoh yang valid tentang esensi kehidupan di dunia ini. Ialah berjuang melawan kebatilan hingga akhir hayat. Wallahu a’lam

Mojokerto, 16-12-‘17

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...