Langsung ke konten utama

Hidayah Orang Tua di Tangan Anaknya

Sebutlah namanya Pak Anton (bukan nama asli). Usianya sekira 50 tahun. Dia ini bekerja sebagai sopir serabutan. Pokoknya kalau ada order atau job yang hubungannya dengan setir menyetir, pasti dia sanggup diajak bekerjasama. Aku sendiri beberapa kali menyewa jasanya.

Suatu saat, ketika aku menyewa jasanya mengantarkan kami ke Surabaya, entah apa yang mendasarinya menceritakan banyak hal dihadapanku. Yang menurutku cerita itu banyak yang berisi pengalaman menarik. Pengalaman kehidupan yang berwarna warni, baik ia sebagai suami dari istrinya maupun bapak dari anak-anaknya. Juga sopir sewaan bagi pelanggannya.

Menjadi tanggung jawab sebagai pendengar yang baik, akupun dengan seksama mendengar uraian lancar itu. Mulai dari hal-hal yang biasa-biasa saja, sampai cerita yang dipenuhi jungkir balik dalam mengarungi hidup di buminya Tuhan ini. Cerita Pak Anton benar-benar menjadi catatan buatku, terutama bagaimana sebenarnya sikap kita kepada keluarga.

Pak Anton mengawali cerita tentang betapa bebal kehidupannya. Ia pernah berselingkuh. Ia pernah meninggalkan keluarganya demi seorang perempuan yang menjadi selingkuhannya itu. Mereka hidup di suatu daerah, di sebuah rumah kontrakan. Mereka tak sanggup menahan hasrat cinta terlarang itu. Bahkan sampai terjadi Pak Anton tega menceraikan istrinya dan menikahi secara sirri selingkuhannya.

Keluarganya yang semuanya tahu itu pun menjadi oleng. Istri dan anaknya kecewa. Banyak pula saudara yang kecewa. Menurut mereka, Pak Anton sebenarnya sudah menjadi orang yang mapan. Ekonomi terjamin dari lancarnya jasa sopir serabutan yang ia lakoni. Apalagi Pak Anton juga sudah punya mobil sendiri. Ia juga sedang menguliahkan anaknya di Bogor. Pokoknya menurut semua kerabatnya, tindakan Pak Anton benar-benar tidak pantas. Tapi mengapa ia rela seperti itu?

Dia menjalani hidup yang ngawur itu sampai beberapa tahun. Setiap hari ia pontang panting. Batinnya selalu was was, biarpun setiap hari ia berkumpul dengan istri barunya itu. Dan itu memang wajar, model hidup yang diawali menyeleweng tidak akan pernah membuat hidup menjadi tenang. Hidup terasa banyak diawasi dan dibenci banyak orang. Itu sangat dirasakan oleh Pak Anton dan ia tidak bisa mengelak. Dia memakluminya.

Selepas Pak Anton selesai di cerita itu, akupun menyelanya dengan sebuah pertanyaan tentang siapakah yang membuatnya bisa kembali ke jalan yang benar seperti sekarang. Mendengar pertanyaanku, aku lihat mata Pak Anton mendadak berkaca-kaca. Pasti ada kisah yang lebih menarik lainnya di balik air mata yang menyelubungi matanya itu.

Iapun kembali meneruskan cerita yang terputus itu. Bahwa yang menjadikannya kembali pada pelukan keluarga adalah anaknya sendiri. Tepatnya anak mbarep yang saat itu sedang kuliah. Yang sebentar lagi akan wisuda. Anak lelaki yang menurut Pak Anton merupakan sosok anak yang sangat baik mulai kecil sampai sekarang ini. Diapun sempat merasa keheranan dengan kebaikan anaknya itu.

Pak Anton memang heran dengan putranya yang bernama Galih (bukan nama asli) tersebut. Iapun menceritakan ketika Galih masih kecil, ia merupakan tipikal anak yang tidak gampang mengikuti arus. Saat anak-anak kecil lainnya sedang asik bermain di luar rumah, Galih memilih belajar di rumah, membaca pelajaran-pelajaran sekolahnya. Saat teman-temannya menikmati main sepeda angin sampai lupa waktu, Galih memilih taat waktu. Ketika waktunya shalat fardlu ia sering pergi ke musholla di dekat kediaman mbahnya, ikut berjamaah.

Lalu bagian mana yang menjadi pemicu tobatnya Pak Anton? Apakah Galih pernah marah kepada bapaknya? Lalu memukuli Pak Anton dan membuatnya tobat? Begitu pertanyaan-pertanyaanku kepada Pak Anton, agar ia lebih fokus pada tema pembicaraan.

Pak Anton mengela napas dalam. Kemudian menjawab bahwa Galih putra tercintanya itu, sama sekali tidak menunjukkan rasa marah dan emosi tingkat tinggi atas kelakuan rusak bapaknya. Galih tetap hormat dengan bapaknya. Tidak pernah ia memarahi, apalagi sampai bertindak kasar kepada bapaknya. Itu sangat dirasakan Pak Anton dan saat bercerita itu, aku lihat kembali matanya sembab.

Galih tidak henti-hentinya menasihati bapaknya agar segera berhenti dari laku yang salah itu. Ia sering menelepon dari Bogor yang isinya nasihat-nasihat tersebut. Galih sangat berharap bapaknya bisa kembali ke pangkuan ibunya lagi. Ia sangat kasihan melihat ibunya yang setiap bertemu atau meneleponnya, selalu menangis. Galih merasa ibunya itu masih sangat sayang kepada Pak Anton, bapaknya.

Entah kesadaran tersebut kapan munculnya, tiba-tiba saja nasihat Galih itupun berhasil menusuk batin Pak Anton. Iapun kemudian memutuskan diri membangun komunikasi lagi dengan mantan istrinya, ibunya Galih. Syukurlah, niatan baik itu diterima keluarga. Dan yang lebih penting lagi, sebenarnya Pak Anton benar-benar luluh dengan nasihat Galih yang sangat menghormatinya itu.

Singkat cerita, akhirnya Pak Anton kembali rujuk dengan istrinya. Saat itu terjadi, Galih sudah selesai menempuh kuliah sarjana strata satunya. Bahkan sudah bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Beberapa kali, menurut keterangan Pak Anton, bisnis jasa drivernya banyak yang disokong Galih. Dan lagi-lagi ia merasa benar-benar takjub dengan akhlak anaknya itu. Rasa syukurpun terucap beberapa kali.

Aku mendengar cerita apik itu, juga merasakan rasa bahagia yang sama seperti dialami Pak Anton. Akupun menanyakan lagi kepada Pak Anton tentang resep atau tipsnya, bagaimana bisa memperoleh anak yang begitu baik seperti Galih? Mendengar pertanyaanku Pak Antonpun tersenyum. Ia merasa tidak ada resep yang aneh-aneh tentang cara mendidik Galih. Sebab ia sadar, Pak Anton bukanlah ahli pendidikan.

Akupun berusaha mengulik lagi, sebab menurutku jelas ada yang mempengaruhi keshalehan Galih. Tidak ada akibat tanpa sebab di dunia ini. Itulah hukum alam yang dibuat Tuhan di alam semesta ini.

Pada akhirnya Pak Antonpun mengulas, mungkin, karena ia tidak pernah kasar terhadap Galih. Sedari kecil ia selalu sabar terhadap Galih. Iapun tidak pernah perhitungan dengan kebutuhan Galih, apapun itu. Mulai sandang, pangan dan papan, juga pendidikan. Makanya sejak kecil untuk urusan pendidikan sekolahnya Galih, Pak Anton selalu melengkapinya. Mungkin itulah sebabnya sehingga Galih tumbuh menjadi anak yang sangat baik.

Akupun mencatat ulasan yang terakhir itu, bahwa jika ingin anak menjadi baik, maka bapaknya juga harus baik kepada anaknya. Di situlah inti pendidikan bapak kepada anaknya. Yang terus terang aku sendiri masih tahap belajar menuju tataran Pak Anton dengan Galihnya itu.

Aku kemudian sadar ini merupakan kisah hidup yang luar biasa. Betapa setelah ia terpendam lumpur kotor, tetapi kemudian ia mampu keluar dan menyelamatkan diri. Tentu saja ia selamat karena ada uluran tangan Galih, anaknya. Sebuah hidayah Tuhan melalui lantaran si anak shaleh.

Saat aku mencatat poin-poin kisah tersebut di memori otakku, tiba-tiba Pak Anton menyela. Ada satu lagi cerita tentang Galih yang paling membuat Pak Anton terharu. Ia menguraikan bahwa beberapa minggu yang lalu Galih menelponnya. Galih memberi tahu bahwa di tanggal tertentu ia ingin mengajak jalan-jalan, tapi hanya dengan bapak dan ibunya.

Setelah tanggal itupun tiba, Pak Anton dan istrinya diajak serta Galih menuju kota. Tepatnya menuju sebuah bank. Ternyata di momen itulah Galih sebenarnya ingin mendaftarkan bapak dan ibunya itu pergi haji ke baitullah. Galih ingin bapak dan ibunya mempunyai rekening di bank itu sebagai biaya Ongkos Naik Haji (ONH) nantinya, dan Galihlah yang akan mengisi seluruh saldo rekening bank tersebut. Ulasan yang terakhir ini lagi-lagi membuat Pak Anton bersyukur beberapa kali, sambil tangannya memegang stir mobil dengan lincah. Wallahu a’lam
Mudah-mudahan bermanfaat....

Mojokerto, 21-01-2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...