Suatu ketika saya pernah secara terang-terangan memberi saran kepada seorang kenalan. Supaya ia tidak lagi terlalu serius ikut-ikutan politik. Bahkan saya katakan, di usia yang tidak lagi muda, sebaiknya ia menjauhi dunia politik yang sarat dengan urusan duniawi itu. Usia yang sudah udzur, tak pantas lagi memperjuangkan kekuasaan.
Usia kenalan saya itu memang jauh lebih tua dibanding saya. Ia sepantaran dengan bapak saya, yang kini berusia 72 tahun. Berbanding puluhan tahun dari umur saya. Yang sebenarnya itu menunjukkan bahwa ia pantas saya anggap sebagai orang tua saya.
Saran saya kepadanya itu adalah wujud kristalisasi berdasar pengamatan saya terhadap tindakannya selama ini. Ketika musim pemilu seperti sekarang ini, selalu saja ia bertindak menjadi tim sukses seorang caleg di kampungnya. Begitu pula ketika ada pilkada, lagi-lagi nama dia akan nampang menjadi tim sukses seorang calon pilkada.
Namanya saja tim sukses, maka gerak dan geriknya hanya ingin memenangkan juragannya itu. Ia mengkoordinir massa ketika kampanye. Mengikuti pertemuan rutin dan mengkonsolidasi strategi kemenangan bersama anggota tim sukses lainnya. Yang lebih membuat saya tak habis pikir, ia juga ikut membagi-bagikan “sedekah” politik (money politic) kepada masyarakat yang dituju.
Memang, calon yang menjadi juragannya itu kerap memenangi pemilu. Tetapi ada masalah besar yang menurut saya perlu ia pelajari. Yaitu, kerap juga calon yang diperjuangkan mati-matian itu, pada akhirnya tersangkut kasus korupsi. Setelah ia memperjuangkan mati-matian, ternyata calon yang diusungnya, terlibat pelanggaran pidana. Sebuah pengorbanan yang bisa dinilai sia-sia.
***
Entah lagi kalau misal usia kenalan saya itu masih muda. Mungkin saya tak akan berani memberikan nasihat itu. Sebab menurut hemat saya, orang yang berusia muda lebih pantas menjadi tim sukses, dari pada yang berusia tua. Hitung-hitung pendidikan politik buat mereka.
Penilaian saya itu memang subyektif. Sepertinya saya memberikan batasan usia dalam hal berpolitik itu. Tetapi mohon dimaklumi, batasan subyektif versi saya itu bukan mengemuka di ruang kosong. Ia muncul diakibatkan sebab-sebab tertentu.
Pertama, hingga tahun 2019 ini, wajah pesta politik kita masih saja seperti yang lalu-lalu. Money politic masih menjadi senjata. Para calon tidak memberikan pendidikan politik yang beradab kepada masyarakat. Dan tim sukses sendiri, sama sekali tidak kritis mencermati keadaan. Mereka hanya memikirkan juragannya menang, apapun caranya.
Kedua, hadirnya media sosial yang semakin membuka ruang kehidupan secara lebar kepada siapapun. Media sosial kini sudah seperti ajang kebebasan atau liberalisme yang tak terbendung. Emosi diluapkan di media sosial, kebencian disorongkan kemana-mana, hoax dibumikan kepada khalayak, dan lain-lainnya. Dan perlu diakui, yang merebut keperawanan media sosial itu tak lain kompetisi politik.
Ketiga, bagaimanapun manusia itu makhluk hidup yang nantinya akan berubah menjadi makhluk mati. Artinya, setiap manusia harus mawas diri dengan usianya. Semakin ia tua, maka semakin dekat ia berkawan dengan pak modin yang mengurusi kematian di kampung-kampung. Di usia tua, manusia layaknya pelamar pekerjaan yang menunggu dapat panggilan dari kepala personalia sebuah perusahaan. Ketika ia dipanggil, ia pun akan berpisah dengan kehidupan, alias wafat.
Ah, tapi kan banyak juga orang-orang tua yang masih saja ikut berpolitik, semisal SBY, Jusuf Kalla, Amin Rais, Megawati, dan lain-lainnya. Betul, mereka memang berusia tua juga. Tetapi ada hal yang sangat membedakan antara mereka dan kenalan saya itu. Perbedaan yang saya maksud adalah taraf dan kadar perjuangan.
Para politisi berusia tua tersebut, berpolitik untuk kemajuan bangsa dan rakyat. Apalagi mereka masih menjadi tokoh-tokoh kunci bagi politisi lainnya. Bahasa sederhananya, mereka orang-orang besar, yang setiap ucapannya didengar banyak orang. Mereka punya banyak pengaruh kepada sejarah bangsa.
Nah, sedangkan kenalan saya itu, sekeras-kerasnya perjuangan dan ikhtiar yang ia gelorakan, tak lebih ia hanya menjadi kroco-kroco para politisi. Diperintah a, b, dan c, ia harus mau dan taat. Tak boleh membantah. Namanya saja kroco, sangat sulit menjadi raja. Padahal sangat sering politisi yang menjadi juragannya berusia jauh lebih muda dari usianya.
Oleh karena itu saran saya tersebut sebenarnya ingin ikut mengangkat derajatnya kembali sebagai orang yang tua. Dan tak menutup kemungkinan, sebetulnya banyak para tetangga atau bahkan anak-anaknya sendiri, yang gerah melihat tingkah politiknya selama ini. Mau memberi nasihat, sungkan, sebab ia lebih tua. Mau memberi saran, takut dianggap melawan, sebab ia bapaknya sendiri.
***
Fenomena kenalan saya yang usianya tua itu, juga bisa dianalogikan kepada fenomena-fenomena lainnya. Misalnya, fenomena orang yang sudah pergi haji beberapa kali tapi masih tetap turut lelah di pilpres tahun ini. Mereka juga menjadi tim sukses. Memasang baliho raksasa bergambar capres di depan rumah. Juga ikut menggosip dan menebar berita tentang lawannya, padahal itu berita hoax. Dan lain-lainnya.
Kepada mereka, saran tidak langsung pun layak disampaikan. Bahwa pelakat H (haji) di depan namanya, sebenarnya sebagai pertanda, ia tak lagi disibukkan dengan urusan tak penting. Dalam bahasa agama, urusan tak penting itu urusan duniawi, dan politik masuk di dalamnya.
Apalagi di setiap pesta politik, selalu memunculkan adanya lawan di pihak seberang. Lawan harus dibabat habis, agar calon kita sukses menang. Caranya, sudah saya sebutkan berkali-kali, sebar melalui media sosial tentang kejelekan, keburukan dan kelemahan dia. Tak peduli itu fitnah dan hoax, yang penting serang terus.
Nah kalau Pak Haji yang sudah malang melintang di Makkah dan Madinah untuk beberapa kali itu, kemudian masih saja ikut “kotor” di ranah politik, yang ditakutkan bisa tak berbekas lagi hajinya itu. Sebab, makna haji sebenarnya sebuah kesempurnaan.
Haji adalah rukun Islam yang kelima. Ia sebagai pamungkas (penutup) dari empat rukun sebelumnya. Oleh karena itu ibadah haji sebenarnya adalah manivestasi kesempurnaan ke-Islaman seseorang. Tafsir sederhananya, orang yang berhaji, adalah orang yang sudah selesai dengan urusan dunia, sebab haji itu juga simbolisai kematian. Dilambangkan kain ihram yang berwarna putih itu.
Oleh karena itu, orang yang sudah beribadah haji selayaknya hanya mementingkan urusan akhirat. Atau menurut Aa’ Gym di sebuah video yang sedang viral, seyogyanya tokoh-tokoh agama – dan menurut saya para haji itu tokoh agama juga – lebih menyebarkan semangat kepada masyarakat untuk giat mendekat kepada Allah. Allahlah yang terpenting, bukan politik yang paling penting. Politik hanya salah satu gambar hidup manusia. Ia bisa saja tidak ada, tetapi Allah pasti akan terus ada.
Hayo, bagamana kelanjutannya ini wahai Pak Tua dan Pak Haji?
Usia kenalan saya itu memang jauh lebih tua dibanding saya. Ia sepantaran dengan bapak saya, yang kini berusia 72 tahun. Berbanding puluhan tahun dari umur saya. Yang sebenarnya itu menunjukkan bahwa ia pantas saya anggap sebagai orang tua saya.
Saran saya kepadanya itu adalah wujud kristalisasi berdasar pengamatan saya terhadap tindakannya selama ini. Ketika musim pemilu seperti sekarang ini, selalu saja ia bertindak menjadi tim sukses seorang caleg di kampungnya. Begitu pula ketika ada pilkada, lagi-lagi nama dia akan nampang menjadi tim sukses seorang calon pilkada.
Namanya saja tim sukses, maka gerak dan geriknya hanya ingin memenangkan juragannya itu. Ia mengkoordinir massa ketika kampanye. Mengikuti pertemuan rutin dan mengkonsolidasi strategi kemenangan bersama anggota tim sukses lainnya. Yang lebih membuat saya tak habis pikir, ia juga ikut membagi-bagikan “sedekah” politik (money politic) kepada masyarakat yang dituju.
Memang, calon yang menjadi juragannya itu kerap memenangi pemilu. Tetapi ada masalah besar yang menurut saya perlu ia pelajari. Yaitu, kerap juga calon yang diperjuangkan mati-matian itu, pada akhirnya tersangkut kasus korupsi. Setelah ia memperjuangkan mati-matian, ternyata calon yang diusungnya, terlibat pelanggaran pidana. Sebuah pengorbanan yang bisa dinilai sia-sia.
***
Entah lagi kalau misal usia kenalan saya itu masih muda. Mungkin saya tak akan berani memberikan nasihat itu. Sebab menurut hemat saya, orang yang berusia muda lebih pantas menjadi tim sukses, dari pada yang berusia tua. Hitung-hitung pendidikan politik buat mereka.
Penilaian saya itu memang subyektif. Sepertinya saya memberikan batasan usia dalam hal berpolitik itu. Tetapi mohon dimaklumi, batasan subyektif versi saya itu bukan mengemuka di ruang kosong. Ia muncul diakibatkan sebab-sebab tertentu.
Pertama, hingga tahun 2019 ini, wajah pesta politik kita masih saja seperti yang lalu-lalu. Money politic masih menjadi senjata. Para calon tidak memberikan pendidikan politik yang beradab kepada masyarakat. Dan tim sukses sendiri, sama sekali tidak kritis mencermati keadaan. Mereka hanya memikirkan juragannya menang, apapun caranya.
Kedua, hadirnya media sosial yang semakin membuka ruang kehidupan secara lebar kepada siapapun. Media sosial kini sudah seperti ajang kebebasan atau liberalisme yang tak terbendung. Emosi diluapkan di media sosial, kebencian disorongkan kemana-mana, hoax dibumikan kepada khalayak, dan lain-lainnya. Dan perlu diakui, yang merebut keperawanan media sosial itu tak lain kompetisi politik.
Ketiga, bagaimanapun manusia itu makhluk hidup yang nantinya akan berubah menjadi makhluk mati. Artinya, setiap manusia harus mawas diri dengan usianya. Semakin ia tua, maka semakin dekat ia berkawan dengan pak modin yang mengurusi kematian di kampung-kampung. Di usia tua, manusia layaknya pelamar pekerjaan yang menunggu dapat panggilan dari kepala personalia sebuah perusahaan. Ketika ia dipanggil, ia pun akan berpisah dengan kehidupan, alias wafat.
Ah, tapi kan banyak juga orang-orang tua yang masih saja ikut berpolitik, semisal SBY, Jusuf Kalla, Amin Rais, Megawati, dan lain-lainnya. Betul, mereka memang berusia tua juga. Tetapi ada hal yang sangat membedakan antara mereka dan kenalan saya itu. Perbedaan yang saya maksud adalah taraf dan kadar perjuangan.
Para politisi berusia tua tersebut, berpolitik untuk kemajuan bangsa dan rakyat. Apalagi mereka masih menjadi tokoh-tokoh kunci bagi politisi lainnya. Bahasa sederhananya, mereka orang-orang besar, yang setiap ucapannya didengar banyak orang. Mereka punya banyak pengaruh kepada sejarah bangsa.
Nah, sedangkan kenalan saya itu, sekeras-kerasnya perjuangan dan ikhtiar yang ia gelorakan, tak lebih ia hanya menjadi kroco-kroco para politisi. Diperintah a, b, dan c, ia harus mau dan taat. Tak boleh membantah. Namanya saja kroco, sangat sulit menjadi raja. Padahal sangat sering politisi yang menjadi juragannya berusia jauh lebih muda dari usianya.
Oleh karena itu saran saya tersebut sebenarnya ingin ikut mengangkat derajatnya kembali sebagai orang yang tua. Dan tak menutup kemungkinan, sebetulnya banyak para tetangga atau bahkan anak-anaknya sendiri, yang gerah melihat tingkah politiknya selama ini. Mau memberi nasihat, sungkan, sebab ia lebih tua. Mau memberi saran, takut dianggap melawan, sebab ia bapaknya sendiri.
***
Fenomena kenalan saya yang usianya tua itu, juga bisa dianalogikan kepada fenomena-fenomena lainnya. Misalnya, fenomena orang yang sudah pergi haji beberapa kali tapi masih tetap turut lelah di pilpres tahun ini. Mereka juga menjadi tim sukses. Memasang baliho raksasa bergambar capres di depan rumah. Juga ikut menggosip dan menebar berita tentang lawannya, padahal itu berita hoax. Dan lain-lainnya.
Kepada mereka, saran tidak langsung pun layak disampaikan. Bahwa pelakat H (haji) di depan namanya, sebenarnya sebagai pertanda, ia tak lagi disibukkan dengan urusan tak penting. Dalam bahasa agama, urusan tak penting itu urusan duniawi, dan politik masuk di dalamnya.
Apalagi di setiap pesta politik, selalu memunculkan adanya lawan di pihak seberang. Lawan harus dibabat habis, agar calon kita sukses menang. Caranya, sudah saya sebutkan berkali-kali, sebar melalui media sosial tentang kejelekan, keburukan dan kelemahan dia. Tak peduli itu fitnah dan hoax, yang penting serang terus.
Nah kalau Pak Haji yang sudah malang melintang di Makkah dan Madinah untuk beberapa kali itu, kemudian masih saja ikut “kotor” di ranah politik, yang ditakutkan bisa tak berbekas lagi hajinya itu. Sebab, makna haji sebenarnya sebuah kesempurnaan.
Haji adalah rukun Islam yang kelima. Ia sebagai pamungkas (penutup) dari empat rukun sebelumnya. Oleh karena itu ibadah haji sebenarnya adalah manivestasi kesempurnaan ke-Islaman seseorang. Tafsir sederhananya, orang yang berhaji, adalah orang yang sudah selesai dengan urusan dunia, sebab haji itu juga simbolisai kematian. Dilambangkan kain ihram yang berwarna putih itu.
Oleh karena itu, orang yang sudah beribadah haji selayaknya hanya mementingkan urusan akhirat. Atau menurut Aa’ Gym di sebuah video yang sedang viral, seyogyanya tokoh-tokoh agama – dan menurut saya para haji itu tokoh agama juga – lebih menyebarkan semangat kepada masyarakat untuk giat mendekat kepada Allah. Allahlah yang terpenting, bukan politik yang paling penting. Politik hanya salah satu gambar hidup manusia. Ia bisa saja tidak ada, tetapi Allah pasti akan terus ada.
Hayo, bagamana kelanjutannya ini wahai Pak Tua dan Pak Haji?
Borgata Hotel Casino & Spa Announces The Weekender
BalasHapusBorgata Hotel Casino 천안 출장마사지 & Spa Announces 성남 출장샵 The Weekender All-Star Award-Winning 광명 출장마사지 Poker including the first-ever Borgata 원주 출장마사지 Event in 강릉 출장마사지 Atlantic City.