Langsung ke konten utama

Jeritan Hati Seorang Ibu: Refleksi Hari Santri

Aku pernah bertemu dengan seorang ibu sepuh beberapa waktu yang lalu. Kami bertemu di situasi tanpa kesengajaan. Saat itu aku sedang mendampingi bapak mengantri giliran fisioterapi di RSI Sakinah, sebuah rumah sakit di Mojokerto, yang sudah tiga tahun menjadi tempat jujugan bapakku berobat. Sementara si ibu sepuh sedang menunggu anaknya yang opname karena tipus, juga di tempat itu.

Kamar anak si ibu berada tepat di belakang ruang fisioterapi, tempat bapakku akan dibenahi otot-otot dan aliran darahnya. Prediksiku mungkin sejak tadi beliau sudah wara wiri di depanku. Tapi aku tidak menyadarinya.  Maklum, aku sedang umek dengan facebook di hapeku.

Beliau melihatku duduk di kursi paling pojok. Memojok diantara para pesakitan yang ingin segera meraih bintang-bintang di langit. Mungkin, beliau sengaja ingin menemaniku di saat keterpojokanku yang sangat lama.

Aku sendiri tidak menyadari tiba-tiba beliau sudah ada saja duduk di samping kananku. Ibu itu menyapaku dengan sebutan Mas. Beliau langsung to the point, menceritakan tentang kesembuhannya dari penyakit mati separuh (ferlong) yang pernah beliau alami. Beliau sendiri heran, mengapa penyakit yang ditakuti banyak orang itu bisa minggat dari tubuhnya.

Kesembuhan total itu didasari ikhtiar yang pantang menyerah dari diri beliau untuk rutin melakukan fisioterapi di tempat yang kami duduki itu. Akupun kemudian menanyakan, gerangan apakah yang membuat beliau ada di sini lagi? Padahal menurut pengakuannya, kondisi fisik beliau sudah normal? Apakah memang hari itu adalah jadwal terapi lanjutan, untuk lebih memulihkan kondisi tubuhnya?

Ternyata pertanyaan itu beliau jawab dengan satu jawaban bahwa beliau sedang menunggu anaknya yang sakit tipus. Aku sebenarnya tidak terkesima dengan jawaban menunggu anak dan sakit tipus, sebab di komplek rumah sakit yang perkembangannya luar biasa itu, toh aku sering melihat banyak pula anak-anak yang opname dan di antara mereka sebagiannya terpapar tipus. Tapi bukan itu yang menjadikan jiwa ini ikut merasakan kesedihannya sebagai orang tua. Ada cerita lain yang lancar beliau kisahkan, atau lebih tepatnya, ingin beliau bagikan kepadaku.

Semua bermuara pada sakit tipus yang mendera putrinya. Si ibu mengkisahkan bahwa putrinya ini sebenarnya salah seorang santri yang sedang mondok di sebuah pesantren di kecamatan Jatirejo (mohon maaf aku tidak bisa menyebut nama pesantrennya). Dia termasuk santri yang aktif, baik di kegiatan sekolah maupun di pesantren. Kebetulan dia juga sedang proses menghafal al-Qur’an, sampai sekarang sudah sampai juz 16.

Beberapa hari yang lalu, beliau mendapat kabar bahwa putrinya sakit panas. Beliau tidak tahu pada awalnya jika ternyata panas yang menyerang itu tipus. Beliaupun sambang ke putrinya itu. Melihat kondisinya yang lemah dan suhu badannya yang sangat panas, beliaupun ingin agar anaknya bisa dibawa pulang untuk diperiksakan ke dokter. Tetapi dengan alasan-alasan tertentu, menurut penuturan beliau, kiyai pengasuh pesantren tak mengizinkannya pulang.

Mendengar ujaran sang kiyai, hati si ibu ini berkecamuk. Beliau tidak tega melihat kondisi mengenaskan putrinya tersebut. Akhirnya berbagai usaha dan rayuan beliau sampaikan kepada sang kiyai. Dalam bahasa si ibu bahkan beliau rela “mengesot” demi izin agar putrinya dipulangkan sejenak untuk memulihkan kondisinya. Alhasil, beliaupun mendapat izin.

Setelah itu beliaupun langsung memeriksakan putrinya di rumah sakit tersebut. Dan ternyata, putri yang beliau sayang itu memang terserang tipus. Oleh karenanya harus ngamar dalam jangka waktu yang tidak bisa diprediksi.

Aku mendengar cerita tersebut, ikut merasakan pula kesedihan beliau. Aku kemudian bertanya kira-kira hal apa yang menyebabkan bisa terjadi hal demikian kepada putrinya? Beliau menjawab dengan tegas, semua itu boleh jadi disebabkan jatah sarapan dari pesantren yang selalu telat diberikan kepada santri-santrinya. Sarapan pagi selalu siap ketika pukul 11.00 WIB. Padahal putrinya itu setiap pagi sebelum jam 7 harus berangkat sekolah.

Sebab tidak terpola dengan baik waktu makannya itulah, menyebabkan anaknya terserang maag dan kemudian tipus. Aku lihat wajah si ibu nanar melihat ke depan. Melihat situasi orang-orang yang berseliweran. Atau melihat para pegawai rumah sakit yang selalu berjalan cepat.

Aku lihat wajahnya menampung sedih. Kelihatan beliau sangat ingin mengungkapkan kecamuk hatinya kepada sang kiyai pengasuh pesantren. Tetapi beliau sungkan. Beliau tak kuat hati untuk menyampaikan keluh kesahnya tersebut.

Aku yang melihat situasi itu berusaha memperlihatkan empatiku yang terdalam.

“Tidak, Bu. Panjenengan harus bisa menyampaikan keluh kesah ini ke beliau, kiyai yang mengasuh putri Panjenengan. Ini masukan yang harus diungkapkan Bu. Biar ada pembenahan.”

“Boten Mas. Hati ini rasanya kok sungkan kalau hendak mengungkap keresahan ke beliau.” Terang beliau kepadaku. Beliau melanjutkan penjelasan, “Saya ini Mas, punya banyak anak, enam jumlahnya. Semuanya saya pondokkan. Ada yang di daerah saya sendiri. Ada pula yang di luar daerah. Saya selalu menghormati dan patuh kepada para kyai yang mendidik serta mengasuh anak-anak saya. Bahkan dua anak saya dijodohkan oleh kiyainya dengan calon yang sebelumnya saya tidak mengetahui seluk beluknya. Ya, untuk urusan akhirat anak-anak saya, semua saya serahkan ke kiyai-kiyainya. Apa ya, Mas. Kayaknya saya kok sungkan kalau sering-sering lapor ke kiyainya anak-anak.”

“Terus, langkah Panjenengan selanjutnya seperti apa? Minimal yang bisa membuat putri Panjenengan tertata pola makannya.”

“Saya ngalah saja Mas. Biar kakak-kakaknya sering-sering saya suruh sambang. Sambil saya bawakan roti sebanyak-banyaknya, agar tiap pagi bisa dimakan anak saya. Biar ada pengganjal perut di sekolahnya. Minimal seperti itu.”

Aku tidak bisa berkata lebih jauh. Ini sudah jadi keputusan beliau. Walaupun dalam batinku masih berharap beliau sudi mengungkap isi hatinya kepada sang kiyai. Aku sangat berbaik sangka bahwa sang kiyai pasti mau mendengar dan merubah manajemen permakanan di pesantrennya.

“Sekarang jam berapa ya Mas? Apakah masih jam sebelasan?” Tiba-tiba beliau menukas ketermenunganku dengan sebuah tanya. Sebuah tanya menjelang berakhirnya dialog antara kami berdua.

“Sebentar Bu (aku melihat hapeku). Oh sekarang sudah jam 12 lebih seperempat. Sudah dzuhur Bu.”

“Oh. Ya sudah Mas, matur nuwon mau mendengar cerita saya.”

“Njeh Bu, santei saja.”

Setelah itu beliaupun beranjak dari tempat duduknya. Melangkah lurus ke depan dan kemudian belok ke kiri, lurus. Sekira 10 meter kemudian sampailah beliau di depan masjid rumah sakit. Beliau pun nampak mengambil air wudlu, kemudian mengerjakan shalat dzuhur. Menurutku, beliau itu tipikal perempuan yang taat kepada Tuhannya. Buktinya terlihat pada kehendaknya untuk sesegera mungkin melaksanakan shalat dalam situasi apapun. Beliau itu juga wali santri yang sangat hormat kepada kiyai yang mendidik anak-anaknya. Buktinya beliau lebih memilih mengalah dengan situasi yang ada, daripada terjadi salah sangka pada sang kiyai yang mendengar laporan yang disampaikannya. Wallahu a’lam

Mojokerto, 21 Oktober 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...