Film Baywatch yang tahun ini kembali dibuat versi terbaru, merupakan film yang sangat populer. Dulu film produk Amrik ini terkenal sebagai serial televisi yang disukai banyak orang. Bahkan masyarakat kita juga sangat doyan menonton film yang jam tayangnya di atas pukul 21.00 WIB. Pokoknya kalau ada nuansa pantainya, masyarakat kita pasti suka.
Saya masih teringat zaman saya kecil, ketika asyik-asyiknya nonton tivi di rumah tetangga, tiba-tiba mereka meminta kami pulang. Alasannya sepele dan ada benarnya juga. Mereka mengatakan di hadapan kami yang ketika itu masih SD, bahwa film Baywatch akan tayang dan ini tak patut ditonton anak kecil.
Awalnya saya tidak bisa terima, lha wong nonton film saja memakai batasan dan larangan segala. Saya mengintip apa sih sebenarnya film Baywatch. Halah, ternyata film yang hanya menayangkan orang-orang yang berjemur di pantai. Mereka diawasi oleh polisi pantai, yang merupakan lakon utama dalam film tersebut. Yang aneh itu memang bajunya. Mayoritas mereka memakai bikini.
Dengan kekolotan saya saat itu, sempat saya bergumam dalam hati, “Kok gak ada yang pakai kebaya atau daster ya?” Lambat laun saya bisa memahami dengan bertambahnya waktu, bahwa di dunia film itu memang ada etika. Ada batasan umur yang diberlakukan. Film yang cenderung banyak beradegan “dewasa” maka anak kecil sampai batasan usia tertentu dilarang menontonnya. Setelah itulah saya menjadi paham apa itu film dewasa.
Nah, kemarin sore saya sempat bertemu orang yang model pakaiannya mirip aktor-aktor Baywatch. Alias memakai celana dalam doang. Hanya memakai celana dalam saat berjalan di depan umum, tapi pedenya minta ampun. Nama orang itu Paidi. Si embah yang beberapa kali saya jadikan salah satu bumbu tulisan. Bahkan menjadi tema besar sebuah tulisan.
Ceritanya, di sore yang menuju maghrib, saya hendak masuk ke gedung panti asuhan yang kami ramut. Ketika berada di depan itu, saya melihat pintu yayasan terbuka. Saya yakin pasti mbah Paidi sedang mandi. Dan memang betul, malah sebenarnya ia sudah rampung mandi.
Tapi, ya Tuhan, ini apa apaan. Ketika keluar dari kamar mandi, melintasi ruang tengah dan aula, akan menuju kamarnya yang ada di depan yayasan, saya dapati si mbah hanya memakai celana dalam. Kaget melihatku tiba-tiba ada di depannya, dia merasa malu. Ditutuplah apa yang perlu ditutupi dengan tangannya. Saya lihat wajahnya cengengas cengenges. Agak-agak bad boy pula si mbah ini.
Peristiwa amit-amit tersebut membuat emosi di batin sedikit naik. Tapi tidak ada luapan omongan. Saya hanya menatapnya tajam, kemudian saya tinggal begitu saja. Kesan tidak sreg dengan ke-Baywatch-an si mbah memunculkan rasa malu, sebab di depan gedung yayasan banyak berdiri rumah warga. Dan pastinya mereka pada nonton tingkah nyeleneh mbah Paidi.
Sebenarnya kelakuan yang sekarang tidak separah dulu. Bahkan yang dulu benar-benar parah. Awal-awal ia menetap ikut “ngawula” di yayasan, ia pernah saya dapati mandi di keran pancuran depan gedung yayasan. Nahasnya, sambil bertelanjang. Padahal hari masih siang. Banyak orang yang lalu lalang di jalan sebelah barat yayasan. Saya yakin mereka juga melihat ulah si mbah yang tidak senonoh. Memajang kemaluan tanpa rasa malu.
Kalau perilaku ini menjadi aktifitas harian, artinya pagi, siang dan sore ia mandi di keran pancuran, maka setiap hari masyarakat melihat tingkahnya itu. Tak boleh dibiarkan. Ini harus mendapatkan teguran.
Sayapun, di malam harinya, mengajaknya ngobrol. Intinya cuma satu; mulai besuk tak usah mandi di keran depan, dan harus masuk ke kamar mandi di dalam gedung jika ingin mandi. Ia montak mantuk, dan taat dengan komando saya. Taat sampai beberapa bulan hingga terjadinya kasus kemarin sore.
Kejadian kemarin sore baru bisa aku respon ya malam tadi. Saya dekati si mbah sesaat setelah usainya ngaji bareng dengan pengurus dan anak-anak. Saya bilang ke si mbah, “Tolong, kalau mandi di jeding belakang wajib bawa sarung atau celana pendek. Pokoknya saya tidak kepingin ada Baywatch di gedung ini.”
Si mbah kaget tiba-tiba saya menyebut baywatch, lalu ia menyahut, “Baywatch, itu sejenis gorengan ta, Nak?”
Tepok jidat. Dan kemudian saya terangkan, “Kalau baywatch itu gorengan, tentu sampeyan sore tadi sudah mateng, dan bisa disantap. Tapi dicelupin dulu dalam mangkuk yang isinya sambal yang terdiri 50 cabe rawit.”
Mulutnya si mbah menganga. Pasti ia tak paham. “Aku kok gak paham to Nak?”
Sayapun menerangkan, “Begini lho mbah, baywatch itu seorang anak manusia yang hanya memakai celana dalam di tubuhnya. Dan dia sudah renta.”
Barusan tersadar dengan sindiran saya, si mbah menyahut, “Oh..oh...oh aku ngerti pasti kejadian yang tadi sore, to?”
“Betul Mbah. Sampeyan ini paham apa tidak, salah apa benar tindakan sampeyan tadi?”
“Ya jelas salah Nak. Kan aku hanya pakai CD, lalu berjalan santai di depan umum. Gitu to?”
“Bener-bener betul. Nah, oleh karena sampeyan tahu kesalahannya, tolong mulai besuk jangan seperti itu lagi. Aurat harus ditutup. Kalau tidak pasti akan saya kasih hukuman.”
Mbah Paidi ketakutan sambel mulutnya mewek. “Dihukum Nak, apa hukumannya?”
“Tolong didengar dengan teliti. Kalau sampeyan terus seperti itu lagi, maka saya tidak segan-segan untuk menghitankan sampeyan untuk kedua kalinya.”
Mendengar itu, sontak si mbah ngacir dari tempat obrolan. Sempat menabrak kucing yang sedang leyeh-leyeh di atas keset.
Pada saat seperti itulah tiba-tiba saya punya kesimpulan dengan kejadian itu. Saya berpikir bahwa yang dilakukan si mbah adalah sikap bentuk rendah diri (inferior) di hadapan orang lain. Dan ini sebuah patologi jiwa yang tak boleh diteruskan.
Sebagai embah-embah zaman now, si mbah seharusnya tak boleh menganggap fisik yang sudah “tidak menjual” itu bisa direndah-rendahkan begitu rupa. Miskin itu nasib, tidak lagi punya kerabat itu juga nasib, fisik tak menjual itu juga realita, tetapi bukan berarti semua nasib yang tidak enak dilengkapi pula dengan menganggap diri tidak bernilai. Terutama batas aurat yang memang harus diperhatikan.
Aurat itu luar biasa. Ia itu penghargaan dari Tuhan yang diberikan-Nya kepada kita. Ia itu sebuah nilai pembeda dengan segala makhluk yang tidak mempunyai konsep aurat dalam kehidupannya. Seseorang yang masih menancap konsep aurat di dirinya akan berusaha menutupi penghargaan itu, dengan rasa bangga. Berbeda dengan orang-orang yang sudah hilang sense of aurat di dirinya, sehingga dengan pedenya bertelanjang di depan umum. Memvideo dan menyebar pula ke publik. Sungguh orang-orang tersebut tidak punya lagi warisan berupa harta aurat dan tingkahnya lebih memalukan dari sekedar kambing-kambing yang diangon pemiliknya.
Apatah lagi aurat politik dan jabatan. Sebagai politisi atau pejabat zaman now, banyak kita dapati orang-orang yang tidak memakaikan lagi pakaian penutup untuk auratnya. Politik tanpa aurat berpengaruh pada munculnya sikap “seenak gue”, persetan dengan kepentingan dan kebutuhan orang banyak. Jabatan tanpa aurat membuat orang tidak malu mengumpulkan harta segunung-gunungnya, sekalipun hasil nyolong. Untunglah dengan adanya KPK yang selalu gerilya OTT, membuat banyak pejabat ditangkap. Biar tobat.
Kembali ke si mbah, saya melihat sebenarnya ada satu nilai baik dalam diri si mbah yang patut saya apresiasi yang menunjukkan bahwa jiwa raganya itu masih sangat bernilai. Ialah jasanya kepada yayasan berupa kebersihan pekarangan dan halaman depan yang selalu dirawatnya. Saya sendiri bukan orang yang bisa istiqamah menyapu atau “mbesik’i” pekarangan. Adanya si mbah membuat kebersihan di yayasan setiap hari terjaga dengan baik. Oleh karenanya saya ibaratkan si mbah itu Superman yang turun dari planet crypton, kemudian minta ngawula di yayasan.
Jadi untuk apa pakai rendah diri . Rendah diri jangan, rendah hati silakan.
Saya masih teringat zaman saya kecil, ketika asyik-asyiknya nonton tivi di rumah tetangga, tiba-tiba mereka meminta kami pulang. Alasannya sepele dan ada benarnya juga. Mereka mengatakan di hadapan kami yang ketika itu masih SD, bahwa film Baywatch akan tayang dan ini tak patut ditonton anak kecil.
Awalnya saya tidak bisa terima, lha wong nonton film saja memakai batasan dan larangan segala. Saya mengintip apa sih sebenarnya film Baywatch. Halah, ternyata film yang hanya menayangkan orang-orang yang berjemur di pantai. Mereka diawasi oleh polisi pantai, yang merupakan lakon utama dalam film tersebut. Yang aneh itu memang bajunya. Mayoritas mereka memakai bikini.
Dengan kekolotan saya saat itu, sempat saya bergumam dalam hati, “Kok gak ada yang pakai kebaya atau daster ya?” Lambat laun saya bisa memahami dengan bertambahnya waktu, bahwa di dunia film itu memang ada etika. Ada batasan umur yang diberlakukan. Film yang cenderung banyak beradegan “dewasa” maka anak kecil sampai batasan usia tertentu dilarang menontonnya. Setelah itulah saya menjadi paham apa itu film dewasa.
Nah, kemarin sore saya sempat bertemu orang yang model pakaiannya mirip aktor-aktor Baywatch. Alias memakai celana dalam doang. Hanya memakai celana dalam saat berjalan di depan umum, tapi pedenya minta ampun. Nama orang itu Paidi. Si embah yang beberapa kali saya jadikan salah satu bumbu tulisan. Bahkan menjadi tema besar sebuah tulisan.
Ceritanya, di sore yang menuju maghrib, saya hendak masuk ke gedung panti asuhan yang kami ramut. Ketika berada di depan itu, saya melihat pintu yayasan terbuka. Saya yakin pasti mbah Paidi sedang mandi. Dan memang betul, malah sebenarnya ia sudah rampung mandi.
Tapi, ya Tuhan, ini apa apaan. Ketika keluar dari kamar mandi, melintasi ruang tengah dan aula, akan menuju kamarnya yang ada di depan yayasan, saya dapati si mbah hanya memakai celana dalam. Kaget melihatku tiba-tiba ada di depannya, dia merasa malu. Ditutuplah apa yang perlu ditutupi dengan tangannya. Saya lihat wajahnya cengengas cengenges. Agak-agak bad boy pula si mbah ini.
Peristiwa amit-amit tersebut membuat emosi di batin sedikit naik. Tapi tidak ada luapan omongan. Saya hanya menatapnya tajam, kemudian saya tinggal begitu saja. Kesan tidak sreg dengan ke-Baywatch-an si mbah memunculkan rasa malu, sebab di depan gedung yayasan banyak berdiri rumah warga. Dan pastinya mereka pada nonton tingkah nyeleneh mbah Paidi.
Sebenarnya kelakuan yang sekarang tidak separah dulu. Bahkan yang dulu benar-benar parah. Awal-awal ia menetap ikut “ngawula” di yayasan, ia pernah saya dapati mandi di keran pancuran depan gedung yayasan. Nahasnya, sambil bertelanjang. Padahal hari masih siang. Banyak orang yang lalu lalang di jalan sebelah barat yayasan. Saya yakin mereka juga melihat ulah si mbah yang tidak senonoh. Memajang kemaluan tanpa rasa malu.
Kalau perilaku ini menjadi aktifitas harian, artinya pagi, siang dan sore ia mandi di keran pancuran, maka setiap hari masyarakat melihat tingkahnya itu. Tak boleh dibiarkan. Ini harus mendapatkan teguran.
Sayapun, di malam harinya, mengajaknya ngobrol. Intinya cuma satu; mulai besuk tak usah mandi di keran depan, dan harus masuk ke kamar mandi di dalam gedung jika ingin mandi. Ia montak mantuk, dan taat dengan komando saya. Taat sampai beberapa bulan hingga terjadinya kasus kemarin sore.
Kejadian kemarin sore baru bisa aku respon ya malam tadi. Saya dekati si mbah sesaat setelah usainya ngaji bareng dengan pengurus dan anak-anak. Saya bilang ke si mbah, “Tolong, kalau mandi di jeding belakang wajib bawa sarung atau celana pendek. Pokoknya saya tidak kepingin ada Baywatch di gedung ini.”
Si mbah kaget tiba-tiba saya menyebut baywatch, lalu ia menyahut, “Baywatch, itu sejenis gorengan ta, Nak?”
Tepok jidat. Dan kemudian saya terangkan, “Kalau baywatch itu gorengan, tentu sampeyan sore tadi sudah mateng, dan bisa disantap. Tapi dicelupin dulu dalam mangkuk yang isinya sambal yang terdiri 50 cabe rawit.”
Mulutnya si mbah menganga. Pasti ia tak paham. “Aku kok gak paham to Nak?”
Sayapun menerangkan, “Begini lho mbah, baywatch itu seorang anak manusia yang hanya memakai celana dalam di tubuhnya. Dan dia sudah renta.”
Barusan tersadar dengan sindiran saya, si mbah menyahut, “Oh..oh...oh aku ngerti pasti kejadian yang tadi sore, to?”
“Betul Mbah. Sampeyan ini paham apa tidak, salah apa benar tindakan sampeyan tadi?”
“Ya jelas salah Nak. Kan aku hanya pakai CD, lalu berjalan santai di depan umum. Gitu to?”
“Bener-bener betul. Nah, oleh karena sampeyan tahu kesalahannya, tolong mulai besuk jangan seperti itu lagi. Aurat harus ditutup. Kalau tidak pasti akan saya kasih hukuman.”
Mbah Paidi ketakutan sambel mulutnya mewek. “Dihukum Nak, apa hukumannya?”
“Tolong didengar dengan teliti. Kalau sampeyan terus seperti itu lagi, maka saya tidak segan-segan untuk menghitankan sampeyan untuk kedua kalinya.”
Mendengar itu, sontak si mbah ngacir dari tempat obrolan. Sempat menabrak kucing yang sedang leyeh-leyeh di atas keset.
Pada saat seperti itulah tiba-tiba saya punya kesimpulan dengan kejadian itu. Saya berpikir bahwa yang dilakukan si mbah adalah sikap bentuk rendah diri (inferior) di hadapan orang lain. Dan ini sebuah patologi jiwa yang tak boleh diteruskan.
Sebagai embah-embah zaman now, si mbah seharusnya tak boleh menganggap fisik yang sudah “tidak menjual” itu bisa direndah-rendahkan begitu rupa. Miskin itu nasib, tidak lagi punya kerabat itu juga nasib, fisik tak menjual itu juga realita, tetapi bukan berarti semua nasib yang tidak enak dilengkapi pula dengan menganggap diri tidak bernilai. Terutama batas aurat yang memang harus diperhatikan.
Aurat itu luar biasa. Ia itu penghargaan dari Tuhan yang diberikan-Nya kepada kita. Ia itu sebuah nilai pembeda dengan segala makhluk yang tidak mempunyai konsep aurat dalam kehidupannya. Seseorang yang masih menancap konsep aurat di dirinya akan berusaha menutupi penghargaan itu, dengan rasa bangga. Berbeda dengan orang-orang yang sudah hilang sense of aurat di dirinya, sehingga dengan pedenya bertelanjang di depan umum. Memvideo dan menyebar pula ke publik. Sungguh orang-orang tersebut tidak punya lagi warisan berupa harta aurat dan tingkahnya lebih memalukan dari sekedar kambing-kambing yang diangon pemiliknya.
Apatah lagi aurat politik dan jabatan. Sebagai politisi atau pejabat zaman now, banyak kita dapati orang-orang yang tidak memakaikan lagi pakaian penutup untuk auratnya. Politik tanpa aurat berpengaruh pada munculnya sikap “seenak gue”, persetan dengan kepentingan dan kebutuhan orang banyak. Jabatan tanpa aurat membuat orang tidak malu mengumpulkan harta segunung-gunungnya, sekalipun hasil nyolong. Untunglah dengan adanya KPK yang selalu gerilya OTT, membuat banyak pejabat ditangkap. Biar tobat.
Kembali ke si mbah, saya melihat sebenarnya ada satu nilai baik dalam diri si mbah yang patut saya apresiasi yang menunjukkan bahwa jiwa raganya itu masih sangat bernilai. Ialah jasanya kepada yayasan berupa kebersihan pekarangan dan halaman depan yang selalu dirawatnya. Saya sendiri bukan orang yang bisa istiqamah menyapu atau “mbesik’i” pekarangan. Adanya si mbah membuat kebersihan di yayasan setiap hari terjaga dengan baik. Oleh karenanya saya ibaratkan si mbah itu Superman yang turun dari planet crypton, kemudian minta ngawula di yayasan.
Jadi untuk apa pakai rendah diri . Rendah diri jangan, rendah hati silakan.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda