Langsung ke konten utama

Perlu Makan

Manusia itu makhluk fisik dan non fisik. Fisik manusia lebih utama dibanding non fisiknya. Sebab yang urusan fisik adalah penopang urusan non fisik. Kita pasti pernah mendengar untuk urusan memilih mana yang didahulukan antara makan atau shalat, pesan agama mengutus kita untuk lebih mendahulukan makan dari pada shalat. Itu nyata menandaskan, ketika fisik kuat, niscaya kekuatan non fisik akan kuat pula. Salah satu wujud kekuatan non fisik tersebut adalah motivasi untuk beribadah, apapun jenis ibadah itu.

Kekuatan non fisik manusia tertumpu pada kekuatan hati dan akalnya. Hati akan lurus merasakan nikmat jika memang ditopang kebutuhan fisik yang terpenuhi. Akalpun akan mampu berpikir tentang peradaban agung jika ia terasupi gizi. Bahkan iman, yang menjadi software utama setiap pemeluk agama dan keyakinan, akan lebih menancap di hati ketika urusan makan, minum, serta kebutuhan dharuriyah-nya benar-benar tercukupi.

Pelajarilah ungkapan berita nabi tentang kefakiran dekat dengan kekufuran pada banyak peristiwa kesyukuran dan kekufuran nikmat. Jika dilakukan perbandingan, orang kaya yang dicukupkan bahkan dilebihkan hartanya – terutama kebutuhan pokok kehidupannya – akan lebih banyak kesyukurannya dibanding orang miskin yang bersyukur.

Ada memang yang miskin ekonomi dan kesejahteraannya bersyukur dengan situasi kekurangan tersebut. Tetapi perlu disadari jumlah mereka sedikit. Hanya orang-orang tertentu yang kuat menghadapi situasi sulit menghimpit. Orang-orang yang kekurangan hidupnya lebih rentan untuk memungkiri nikmat Tuhan yang diberikan kepada mereka.

Ketika tidak beroleh penghasilan yang mencukupi, ia mengeluh. Ketika sulit mencari pekerjaan, ia ragu dengan kasih sayang Tuhan. Bahkan banyak yang melampiaskan ke jurang kriminalitas oleh sebab kekurangan ekonomi itu. Mencuri, menjambret, menodong, mencopet, merampok, adalah realita macam-macam kriminalitas yang rentan dilakukan sebagian dari kita yang “merasa kekurangan”.

Dulu, sering terdengar kasus Kristenisasi yang menyasar pada kaum muslim yang fakir. Berita itu sebenarnya memang ada, betapapun kita memungkiri atau menolaknya. Banyak kaum muslim yang miskin tiba-tiba berubah ketika hari Minggu tiba, mereka berganti mendatangi gereja. Ini fakta yang perlu dikaji dengan jujur dan pikiran jernih. Bahwa di situ ada sistem kemasyarakatan kita yang salah. Ada sistem ekonomi keummatan kita yang belum menyentuh urusan dasariah itu di banyak saudara-saudara kita.

Mengapa demikian, ingatlah kaum muslim yang berpunya tidak akan banyak memikirkan kebutuhan dasariah itu. Misalnya pegawai, tiap bulan apa yang diperolehnya berupa gaji rutin, sungguh dapat dikalkulasi di awal. Berapa untuk makan dan berapa untuk kebutuhan lainnya. Rata-rata gaji rutin itu akan surplus, kecuali bagi mereka yang bergaya hidup hedonis dengan bermewah-mewah, hasil dari pinjaman bank, sehingga menggerus pendapatan yang sebenarnya impas.

Bagi pegawai yang sudah mapan, coba dilihat diri mereka dengan seksama. Rata-rata ibadah mereka lebih kuat. Dan memang harusnya seperti itu. Urusan duniawi mereka sudah selesai. Semua telah tercover dari gaji yang ia dapat. Tidak perlu berpikir ini itu untuk makan.

Tapi yang perlu dijujurkan, ternyata sebagian besar mereka belum bisa menyadari bahwa ketika terjadi lebih hartanya, iapun punya kewajiban bertindak dermawan kepada yang tidak berpunya. Apa maksudnya? Urusan makan itu urusan semua orang. Kaya dan miskin semua butuh makan. Butuh asupan gizi, protein, mineral, karbohidrat di tubuhnya.

Kaya ataukah miskin, mereka semua manusia yang terkekang kebutuhan badaniyah itu. Oleh karenanya kebutuhan ini duduk di paling atas diantara kebutuhan-kebutuhan manusia lainnya. Istilahnya, kalau anda kebetulan kekenyangan, tetapi ketika anda tahu ada tetangga anda yang kelaparan, maka kekenyangan anda itu sebuah kedzaliman belaka. Sebuah sikap ketidakjujuran yang seharusnya tidak seperti itu. Sebuah makalah ulama bahkan menyebutkan diantara banyak bid’ah agama, yang pertama melanda umat Islam adalah kondisi makan sampai kekenyangan.

Ala kulli hal, kita semua ini perlu makan. Kaya dan miskinkah kita, semuanya butuh makan. Yang miskin sulit makan, maka yang kaya harus tahu irama lagu yang keluar dari perut si miskin yang kelaparan. Lalu iapun menyisihkan beras dan lauk untuk mereka. Sehat dan sakitpun, kita perlu makan. Bahkan yang sedang sakit, makan itu perlu dan merupakan bentuk kesyukuran kita di hadapan Sang Pencipta padi dan ikan-ikan yang ada di sungai. Wallahu a’lam
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...