Kemarin malam saya begadang. Memulainya ketika anak
sulung saya baru tertidur pulas. Anak saya yang ragil sudah lebih dulu tidur
setengah jam lebih awal. Istriku, juga tertidur mendampingi anak saya yang
ragil. Saya sendiri baru bisa memejamkan mata sekira pukul 02.30 dini hari.
Setelah usainya aktifitas begadang saya.
Saya begadang ditemani laptop kesayangan. Tapi kemarin
malam tidak ada tulisan yang saya susun. Saya sengaja untuk tidak menulis. Lebih
khusus, saya memang ingin meluangkan waktu untuk menonton film yang sudah beberapa
minggu saya koleksi tapi belum sempat diputar.
Hampir semua koleksi film di hardisk laptop saya tergolong film serius, yang basicnya kisah
nyata. Saya menggolongkannya sebagai film serius karena tidak ada eksien tembak
menembak atau bela diri. Tidak ada pula animasi. Sangat sedikir komedi. Film
yang basisnya true story memang
tergolong serius, alurnya berurutan, lambat, dan terkadang ampang bagi sebagian
orang.
Sayapun tidak heran kalau film seperti itu jarang
disukai. Paling yang suka nonton hanya para maniak film, yang memang ingin menyerap
seluruh alur cerita dan mendapat input dari film tersebut. Saya mungkin tidak
masuk golongan itu. Tapi saya terkadang sangat senang menonton film yang
genrenya true story.
Seperti kemarin malam saya berkesempatan menonton
dua film. Pertama, film yang berjudul
Hannah Arendt, sosok filsuf Yahudi yang hidup di zaman Nazi. Jujur, Hannah
Arendt adalah filsuf perempuan idola saya. Tidak saja idola, bahkan dialah yang
berjasa membuat saya bisa lulus S1 dulu. Saya memang mengangkat pemikiran
beliau yang dikenal berhasil membongkar sistem totalitarianisme di Eropa ketika
jaman perang dunia, di skripsi saya.
Tapi film yang berjudul Hannah Arendt tersebut, tidaklah
mengangkat kisah keseluruhan dari si filsuf penganut idealisme itu. Film
tersebut fokus pada potongan kehidupan Arendt ketika ditugaskan sebuah majalah
bernama Newyorker untuk menulis artikel laporan tentang proses peradilan
Adolf Eichmann, seorang Jenderal
kepercayaan Adolf Hitler, di Israel.
Jenderal tersebut dituding telah membunuh kurang lebih 6 juta jiwa orang Yahudi
(semit). Tapi terpaksa saya putus di sini saja. Kapan-kapan akan saya lengkapi.
Kedua,
film yang berjudul The Man Who Knew
Infinity. Film ini juga true story,
kisah seorang pemuda India yang sangat mahir rumus matematika. Pemuda itu
bernama Srinivasa Ramanujan, berasal dari Madras. Seorang anak muda yang punya
kemampuan matematika murni secara
intuitif yang luar biasa.
Ada dua setting tempat di film ini: India dan
Inggris. Di India lebih menunjukkan kisah-kisah pekerjaan Ramanujan sebagai
juru tulis sebuah perusahaan dan kisah kasihnya dengan istri tercintanya,
Janaki. Serta dengan ibu mertuanya yang biasa ia panggil Amma. Tapi justri di
setting India ini kita ditunjukkan keunikan dari sosok Ramanujan.
Salah satu keunikan tersebut, ia sering
berkontemplasi, merenungkan rumus-rumus baru , di sebuah kuil Hindu di desanya,
layaknya matematikawan tingkat dunia. Keunikan lainnya, setiap kali ia
menemukan rangkaian rumus baru, pasti akan ia tuliskan di lantai kuil tersebut
dengan kapur putih. Jadilah seluruh lantai kuil penuh dengan tulisan angka dan
simbol-simbol matematika khas Ramanujan. Disamping itu pula ia menuliskannya di
dua buku tulis tebal yang ia sediakan.
Suatu ketika, atasan langsung Ramanujan di
perusahaan tempat ia bekerja tahu tentang karyanya. Atasan itu sedikit paham
dengan temuan Ramanujan. Ia sangat kagum dengan kejeniusan pemuda itu. Oleh
karenanya, ia menyarankan kepada Ramanujan agar tidak diam saja di Madras.
Ramanujan harus hijrah. Kalau bisa ke Inggris, negeri induk persemakmuran India yang di tahun-tahun itu (1914) sangat
dikenal sebagai penghasil ilmuwan tingkat dunia dan perguruan tinggi
bonafidnya.
Ramanujan pun mengiyakan saran tersebut. Tapi ia mempunyai
i’tikad agar sebelum ia berangkat ke Inggris, terlebih dahulu akan mengirimkan
beberapa lembar karyanya ke sebuah kampus terkenal di Inggris bernama Trinity
College, Cambridge. Ada seorang profesor matematika terkenal di situ yang
bernama GH. Hardy, serta Littlewood, ilmuwan yang menjadi karib si Hardy.
Kepada Hardylah lembaran karya Ramanujan dikirimkan.
Saat Hardy menerima lembaran karya matematika dari
seorang anak muda India itulah, ia merasa terhenyak. Ia ditimpa keheranan yang
luar biasa. Sebab beberapa teori yang selama ini belum bisa ia pecahkan, justru
mampu dipecahkan oleh Ramanujan, pemuda yang tidak jelas sekolahnya di mana. Ia
benar-benar kaget, ternyata di belahan dunia lainnya, ada seorang yang mampu
membongkar sebuah “misteri dunia” itu.
Hardy pun kemudian berhasrat mengundang Ramanujan
hadir ke Cambridge. Ia ingin tahu tentang kemampuan sebenarnya anak itu. Ia
juga ingin mempublikasikan karya si jenius India tersebut. Tetapi satu catatan,
posisinya tak boleh melebihi Hardy. Oleh karena itulah di adegan selanjutnya,
nampak Hardy selalu menghalang-halangi kebebasan Ramanujan di kampus yang
pernah melahirkan sosok Isaac Newton tersebut.
Menarik, Ramanujan pun menerima undangan Hardy untuk
pindah ke Cambridge. Niat keberangkatan itupun
disampaikan Ramanujan ke mertua dan istrinya. Tentang kebulatan tekadnya untuk
pergi ke Inggris, minimal bisa mempublikasikan karya matematikanya yang sudah
tersusun di dua buku tebal. Istrinya mengiyakan demi masa depan suaminya. Beda
dengan mertuanya, Amma, malah melarangnya. Menurut Amma, orang yang masuk
golongan Brahmana tidak boleh keluar daerah terlalu jauh. Sama pula menyalahi
adat istiadat.
Tapi setelah Ramanujan merayu, dengan alasan akan
bangganya masyarakat Madras nanti ketika mengetahui ia berhasil di Inggris,
membuat si Amma akhirnya mengizinkan, asalkan Janaki tidak dibawa serta.
Ramanujan mengiyakan, sembari menata persiapan kepergiannya ke Inggris. Terlihat
Ramanujan sangat bahagia. Ia teringat omongan bosnya di Madras, bahwa “Karya
itu jangan sampai dibawa mati. Ia harus dipublikasikan ke seluruh dunia.”
Setelah itu setting tempat berpindah ke Cambridge, Inggris.
Di sinilah kemudian terjadi kisah-kisah yang penuh dinamika bagi Ramanujan.
Kisah yang kadang membanggakan, tapi sering pula membuat pilu kehidupannya. Ia
pun sampai di Cambridge dan diterima profesor Hardy dan Littlewood.
Profesor Hardy dan Profesor Littlewood pun
menerimanya dengan bangga. Ia pun langsung ingin melihat bagaimana Ramanujan
bisa menyelesaikan teori sulit itu. Ternyata tanpa banyak berpikir, Ramanujan
menuliskan urutan teori tersebut dengan sangat lancar. Membuat Hardy dan
Littlewood merasa keheranan.
Cerita demi cerita, kisah demi kisah berlangsung,
yang intinya menunjukkan Hardy secara terbuka segera mempublikasi karya
Ramanujan ke publik, dalam bentuk artikel jurnal di kampus tersebut. Ada
beberapa adegan dimana Russell yang akrab dengan Hardy selalu menanyakan masa
depan Ramanujan. Ketika seperti itu, Hardy selalu mengelak. Russell pun selalu
menimpali elakan Hardy agar jangan mengekang Ramanujan. Biarkan kecerdasannya
dikenal dunia. Jangan takut kalah dengan dia.
Tentang proses publikasi lebih luas karya Ramanujan
yang tarik ulur, membuat Ramanujan kelimpungan. Ia depresi berat. Apalagi tidak
ada surat cinta dari Janaki yang ia terima. Padahal dia sangat butuh surat itu.
Hal itu membuatnya tersesak. Apalagi kondisi di Inggris saat itu sedang
mengalami perang. Sehingga ia harus mengamankan diri.
Dalam kegundahan dan depresi itulah, iapun semakin
terjengkang sebab mendadak terserang TBC akut. Sehingga di suatu hari, tanpa
memberitaukan kepada Hardy, ia opname di rumah sakit dan tidak bisa bekerja di
tempat Hardy.
Sekali lagi dalam situasi Ramanujan depresi, bahkan
pernah saling tengkar dengan Hardy, sering Russell menanyakan tentang kabar pemuda
India itu kepada Hardy. Dan selalu ia menyarankan agar Hardy membebaskan
Ramanujan. Bertrand Russell seorang filsuf agnostik, dalam film tersebut
terkesan sopan, tenang, tetapi setiap omongannya selalu meyakinkan. Omongan
yang pasti membawa akibat Hardy harus berpikir beberapa kali. Hardy biasa
menyapa Russell dengan kata Beart.
Hardypun merasa ada yang aneh di hari tersebut.
Mengapa Ramanujan tidak hadir di kantornya? Padahal setiap hari biasanya ia
disiplin? Setelah dicari di rumah sakit, barulah ia menemukan Ramanujan
tergeletak di atas brankar. Iapun diberitahu oleh dokter bahwa Ramanujan demam
tinggi dan terkena TBC parah. Sepertinya masa hidupnya tidak akan lama.
Hardy merasa bersalah dengan situasi itu. Hardy
merasa sudah terlalu lama menggantung nasib publikasi karya Ramanujan secara
besar-besaran. Iapun ingin membayarnya dengan cara menunggui Ramanujan sampai
siuman.
Di kala Ramanujan siuman, terjadilah dialog yang
luar biasa damai antara keduanya. Dialog penuh pengertian. Ramanujan yang taat
pada dewa Hindunya membincang persoalan kasih Tuhan, dengan Hardy yang ateis,
yang menganggap matematika itulah Tuhannya.
Ramanujan mengatakan mau menceritakan bagaimana ia
sangat mudah menulis dan menemukan teori-teori matematika yang sudah lama sulit
dibongkar ilmuwan lainnya itu. Hardypun terperangah, sebab memang jawaban
itulah yang ia tunggu sejak lama.
Ramanujan menjelaskan bahwa gagasan yang selalu
muncul di kepalanya dengan sendirinya adalah sebuah pertolongan Namagiri, dewa
yang selama ini ia puja. Baginya satu persamaan yang ia temukan adalah wujud
kasih dari Tuhan. Ia percaya Tuhanlah yang memberikan intuisi tersebut. Ia
meminta agar Hardy percaya dengan pengakuan religiusnya itu.
Hardy menjawabnya dengan sangat intelek. Memang ia
tidak percaya adanya Tuhan. Tetapi sebagai teman, ia mempercayai apa pun yang
dikatakan Ramanujan. Semenjak itu
hubungan keduanya yang sebelumnya tarik ulur, menjadi saling mendukung. Hardy
membuktikannya saat ia mengajukan permohonan dan memperjuangkannya dihadapan
dewan profesor Cambridge, agar Ramanujan
memperoleh Fellowship, sebuah
raihan prestisius yang hanya diberikan kepada para ahli-ahli di bidang ilmu
tertentu. Dan saat itu karya Ramanujan benar-benar membuat mereka terpukau, amazing. Bahkan Ramanujan disamakan
dengan prestasi Isaac Newton, penemu hukum gravitasi bumi.
Di akhir film, setelah mendapat Fellowship itu, Ramanujanpun ingin pulang kembali ke Madras.
Menemui Janaki, istrinya, karena begitu besar kerinduannya. Iapun berpisah
dengan Hardy dan komunitas Cambridge lainnya.
Setahun kemudian, terkirimlah surat dari Madras
untuk Hardy. Betapa ia tersentak dan membuat matanya sembab setelah membaca
surat tersebut. Ternyata setelah pulang ke India, sakit TBC yang diderita
Ramanujan semakin parah. Sampai pada datanglah kematiannya di usia yang sangat
muda. Ramanujan, ahli matematika otodidak yang luar biasa dan diakui ilmuwan dunia,
telah meninggalkan segala kebesarannya.
Ramanujan diperankan dengan sangat apik oleh Dev
Patel. Dan Hardy diperankan dengan memukau oleh Jeremy Iron. Diangkat dari buku
dengan judul yang sama The Man Who Knew
Infinity karya Robert Kanigel. Rilis tahun 2015, produksi Inggris.
(Tulisan panjang, sepanjang angan-angan melancong ke
Honolulu)
Moxer, 24-11-2017

JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.cc
dewa-lotto.vip