Masjid jami’ di kampungku berdiri di pinggir jalan besar provinsi. Bangunan dua lantai itu selalu jadi tempat ampiran para tamu yang sedianya salat atau sekedar rehat. Setiap hari, siang, sore dan malam, pasti ada satu dua tamu yang duduk santei di teras. Sembari ngitung laporan penjualan, bagi yang profesinya salesman. Ada juga yang sambil momong anaknya, sementara si bapak tidur lelap di pinggirnya. Sering pula mereka duduk bareng sambil makan nasi bekalnya. Bahkan ada pula yang mampir kencing doang. Tak masalah. Toh masjid memang tempat untuk kemanusiaan, bukan untuk kesombongan.
Sekira senja kemarin, nampak pula beberapa tamu yang sedianya salat maghrib di masjid yang bernama al-Abror itu. Masjid yang diresmikan Sularso, Gubernur Jawa Timur beberapa puluh tahun yang lalu, di sore itu terlihat ramai seperti biasa. Jamaah orang sekitar masjid berdatangan. Anak-anak kecil, bermain sepeda anginnya di halaman, sembari menunggu iqamah dikumandangkan.
Aku bersama putri kecilkupun turut dalam gerak rutin itu. Setelah memakai kerudung kesukaan dan rok panjang lorek hasil pilihannya sendiri, kamipun bergegas menuju tempat pasujudan itu. Ia selalu ceria ketika aku ajak ke masjid yang lumayan luas dan di terasnya berdiri tegak bedug besar yang dibeli beberapa bulan yang lalu.
Saat asik melangkah, dari jauh, tepatnya sebelah selatan jalan besar, berhentilah sebuah mobil Elf putih. Setelah itu turunlah satu persatu beberapa lelaki tegap. Jumlahnya lebih dari sepuluh orang. Mereka berjubah panjang dan bersurban. Sebagian surban disangkluk di bahunya. Yang sama dari mereka, semuanya berjenggot.
Mereka menyeberang jalan besar secara bergantian. Kemudian mereka memilih masuk ke kamar mandi dan tempat wudlu yang ada di sisi selatan masjid. Lebih mudah diakses, sebab tempat itu tepat berhadap-hadapan dengan parkiran mobil. Aku melihat mereka antri pula bersama warga kampung yang berwudlu.
Iqamah dibaca oleh petugas seperti biasanya. Seluruh jamaah menata badannya sendiri-sendiri. Begitu pula para lelaki berjubah tersebut. Terbanyak mereka berdiri si barisan kedua. Barisan paling depan sudah diisi warga kampung, yang rata-rata berpakaian batik. Jadilah suasana dalam masjid di maghrib itu, ibarat toko kain yang memajang berbagai macam kain: polos, batik, berenda, rajutan, dll.
Tentu saja tidak menjadi masalah adanya warna warni baju seperti itu. Yang penting badan dan hatinya condong pada Tuhannya, salat untuk menyembah sesembahan yang sama. Bergerak mengikuti gerakan imam yang kebetulan bapakku sendiri. Warna-warni baju, tapi tujuannya satu, itu luar biasa sebagai salah satu fungsi masjid: menyatukan perbedaan.
Aku dan putriku berdiri di sebelah empat orang berjubah. Mereka di sebelah kiriku. Sementara putriku di sebelah kananku. Namun, namanya anak kecil yang asing melihat model pakaian ala Arab tersebut, akhirnya ia tak kuasa untuk menatapnya. Bahkan ketika kami salat, aku lihat putriku berdiri di depan empat orang tersebut. Melihat, menatap, melongo, mungkin barangkali ia membatin kok bapaknya gak pernah berpakaian yang sangat menyita perhatian itu ya.
Aku sebenarnya tidak pernah menyoalkan model pakaian seseorang. Pokoknya prinsipnya satu: menutup aurat dan tidak mengurangi semangat kerukunan alias toleransi. Terserah memakai kaos, baju batik, baju koko, rompi, seragam tentara atau berjubah. Itu semua urusan bentuk warungnya. Yang penting warung-warung tersebut sama-sama menyediakan makanan halal.
Akan tetapi semua yang tidak aku jadikan masalah, tiba-tiba mewujud menjadi masalah. Pasca imam mengakhiri salat dengan salam, terjadilah masalah itu. Para lelaki berjubah langsung berdiri. Meninggalkan jamaah lain yang terdiri orang kampung yang asik wiridan.
Aku menengok ke belakang. Ternyata para lelaki berjubah tersebut membentuk shaf salat jamaah. Dan, benar dugaanku setelah salam tadi, mereka mengulang salat maghrib. Diimami lelaki berjubah yang lebih tua dan kelihatannya dialah pemimpinnya.
Peristiwa itu sontak membuat otakku mendidih, hatiku berkecamuk. Ini apa-apaan. Salat kok diulang. Apa ada yang salah. Salah dalam hal prinsip atau ideologi. Apa menurut mereka salat yang tadi tidak diterima Allah. Alias salatnya ditolak mentah-mentah. Atau ini. Atau itu. Hambohlah, astaghfirullah.
Berkecamuk tanya, dan beberapa rasa marah yang entah bagaimana aku harus menyatakannya. Ingin aku hampiri mereka, lalu aku adakan bahtsul masa’il dadakan. Karena aku ingin tahu hal apa yang menyebabkan perlakuan yang seperti itu kepada jamaah masjid kampungku yang setiap hari normal-normal saja.
Ketika aku sedang memerah, nampak putri kecilku malah berbaring tengkurap tepat di depan para lelaki berjubah itu mengulang kembali salat maghribnya. Semakin enak ia menikmati pemandangan itu. Apa mungkin bahasa hatinya sama denganku, menanyakan kenapa oh kenapa, mengulang salat yang sudah dikerjakan sebelumnya.
Aku tidak mengutuk. Tapi aku mangkel. Kalau kita ini ummat dari nabi yang sama, mengapa engkau, wahai para lelaki berjubah, tidak menganggapnya sama dalam perlakuan. Apa artinya kami ini lebih rendah dari kalian. Atau kalian yang benar, kami yang salah. Atau kalian yang suci, sedang kami kebagian najis di tubuh kami.
Lha kalau negeri ini mayoritasnya dihuni seperti para lelaki berjubah yang mampir di masjid kampungku saat maghrib itu, bagaimana ya kira-kira?
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda