Politik di negeri ini masih menjadi primadona bagi
banyak kalangan. Padahal suhu politik itu sendiri tetap panas hingga sekarang
ini. Paling dahsyat tentu terpantik Pilkada DKI Jakarta yang dihelat tahun ini.
Demo besar-besaran terjadi beberapa kali. Pro kontra dan pecah belah menjadi
hidangan yang harus ditelan oleh masyarakat. Boleh dibilang saat itulah politik
ibarat sebuah wajan raksasa yang siap merebus kita semua.
Akses informasi yang mudah, ditambah banyak media
massa nasional yang saling berhadap-hadapan satu sama lain, membuat masyarakat
di daerah ikut tersulut pula hawa panas tersebut. Sumber api memang datang dari
Jakarta, tapi kilatannya menyebar jauh sampai ke daerah pelosok. Jujur harus
diakui, konstalasi dan kontestasi politik yang super panas itu menjadi trauma
bagi banyak orang.
Namun perlu diakui pula, sepanas apapun atmosfer di
setiap pesta demokrasi di negeri ini, tidak banyak berpengaruh pada jumlah kandidat
yang turut dalam proses pemilihan umum. Saya sangat yakin di pemilu legisaltif
di 2019 nanti, masih akan banyak kalangan yang mendaftar menjadi caleg di
partai-partai politik pilihannya. Apalagi jika menengok pada beberapa pilkada
yang sudah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan pada 2018. Mencalonkan
sebagai kepala daerah masihlah menjadi mimpi-mimpi bagi banyak kalangan. Tidak
terkecuali kalangan selebritis yang semakin banyak dilirik para politisi.
Menurut catatan Ikhsan Darmawan di tiga kali pemilu
terakhir, kalangan selebritis yang mencalonkan menjadi anggota legislatif
cenderung mengalami peningkatan. Di 2004 ada 38 selebritis yang menjadi caleg.
Di 2009 terjadi peningkatan menjadi 61 orang. Terakhir di 2014 naik signifikan
menjadi 77 selebritis yang maju di gelanggang pesta demokrasi sebagai calon
legislatif partainya masing-masing.
Pilkada dalam beberapa tahun ini juga menunjukkan
geliatnya para selebritis bertarung menjadi kandidat. Diberitakan okezone.com (26/10/2016)
beberapa diantaranya Zumi Zola yang sukses menjadi Gubernur Jambi. Sigit Purnomo Syamsudin Said alias Pasya
“Ungu” menjadi Wakil Wali Kota Palu. Di Trenggalek Jawa Timur, Emil Elestianto
Dardak, suami dari artis Arumi Bachsin memenangkan pemilihan Bupati.
Beberapa ada pula yang kalah dalam pertarungan. Mereka
antara lain Dedi “Miing” Gumelar kalah di Pilkada Kabupaten Karawang, Maya
Rumantir kandas di Pilkada Provinsi Sulawesi Utara dan Helmi Yahya, yang sukses
menjadi produser beberapa acara kuis, justru tidak sukses di Pilkada Kabupaten
Ogan Ilir.
Pemilu Mendatang
Dua tahun mendatang, 2018 dan 2019, pesta demokrasi
akan kembali dihelat. Suasana akan kembali hangat oleh pertarungan politik.
Para selebritis pun akan banyak ikut serta dalam pertarungan tersebut. Yang
paling dekat dan beberapa sudah diketahui adalah pilkada serentak di tahun
2018. Sementara untuk pileg dan pilpres 2019 belum banyak data yang bisa
menguatkan turutnya seleb ikut bertarung.
Paling panas tentu saja pertarungan politik di Jawa
Barat. Sederet selebritis papan atas kemungkinan besar akan ikut bertarung
dalam pemilihan Gubernur tersebut. Sebut saja Dedy Mizwar, yang merupakan calon
petahana, Dede Yusuf yang konon juga ramai dicalonkan. Juga Desy Ratnasari,
salah seorang anggota dewan dari PAN yang digadang ikut nyemplung pula dalam Pilgub
Jabar 2018.
Pada Pilkada daerah lain juga santer diketahui
beberapa artis yang turut serta. Adly Fairuz, seorang aktor sinetron, digadang
akan ikut dalam Pilkada Kabupaten Bandung Barat. Artis cantik Dian Sastro
Wardoyo, kelihatannya akan dilirik Muchtar Muhammad, seorang mantan Wali Kota
Bekasi, yang akan digandeng dalam Pilkada Bekasi.
Bahkan di Pilkada Bekasilah nampaknya akan ramai
ditarungkan beberapa artis papan atas. Antara lain Dude Herlino, Irwansyah dan
Maia Estiyanti. Diberitakan Jawapos.com (14/04), banyaknya figur artis yang
akan ditarik di medan Pilkada, tujuannya untuk menyaingi atau bahkan
memenangkannya melawan petahana yang sangat diunggulkan.
Tidak kalah hebohnya artis kontroversial Vicky
Prasetyo, yang pernah masuk penjara gegara kasus penipuan, santer pula akan
ikut pilkada. Ia pun akan mengikuti pertarungan antar artis lainnya di Pilkada Bekasi.
Jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka “Star Wars” akan tercipta di
Pilkada Bekasi tahun depan.
Paling panas dan mutakhir, santer diberitakan bahwa
PKB akan merekrut diva pop Indonesia, Syahrini, untuk ikut menjadi Cawagub di
Pilkada Jawa Tengah. Ia digadang-gadang akan didampingkan dengan Marwan Jakfar,
politisi senior PKB yang dicalonkan menjadi Cagub Jawa Tengah menyaingi Ganjar
Pranowo, calon petahana.
Popularitas dan Kualitas
Sistem pemilu yang sejak era reformasi menjadi
pemilihan langsung, dimana yang menang adalah yang meraih suara terbanyak, menjadikan
popularitas calon lebih diutamakan ketimbang kualitasnya. Betapapun seorang
calon di pilkada yang piawai dalam leadership dan ilmu birokrasi, bisa
tidak akan dilirik oleh DPP parpol tertentu yang menjadi syarat mutlak pilkada.
Meruyaknya para selebritis di setiap pemilu, pasti
yang dilihat pertama kali adalah popularitasnya tersebut. Ada memang beberapa
seleb yang sudah terbuktikan kemampuan politiknya. Namun sangat sulit mencari
banyak sosok yang seperti itu di kalangan selebritis yang jumlahnya ratusan
itu. Beberapa selebritis yang boleh dibilang piawai kemampuan politiknya: Dede
Yusuf, Desi Ratnasari dan Dedy Mizwar.
Dari aspek legal-formal dan sistem demokrasi,
prasyarat popularitas tersebut merupakan sebuah hal yang absah. Toh
bagaimanapun semua terserah rakyat yang menjadi penikmat setiap pesta demokrasi
yang dihelat. Popularitas yang menjadi senjata utama para parpol di era one
man one vote, tidak mungkin diabaikan. Justru dari sisi itulah parpol
seakan menomorsatukannya menjadi senjata di dalam pesta demokrasi yang ia
ikuti.
Lalu apakah bisa dikatakan politik di negeri ini
menjadi turun derajat gegara menjunjung popularitas an sich? Jawaban itu
sebenarnya berada di dalam pemikiran rakyat sendiri. Sebab, sebagai subjek
utama dalam sistem politik, rakyat memiliki otoritas untuk memilih dan tidak
memilih. Bahkan untuk tidak turut serta sama sekali di pesta demokrasi, alias
golput.
Setiap pemilu, rakyat selalu diberi hidangan
berbagai macam masakan yang didemonstrasikan di depan matanya. Di situlah
otoritas itu dipertaruhkan. Apakah ia hanya akan memilih masakan di atas piring
mewah, penataannya menawan, tapi rasanya tidak jelas? Ataukah memilih masakan
yang berwadah biasa-biasa saja, tetapi rasa nikmatnya nampak akan ia peroleh?
Atau ia akan meninggalkan pesta makan itu, seraya memilih memesan segelas kopi
di warung sebelah? Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda