Tidak
ada orang yang tidak pernah salah. Tapi bukan berarti tidak ada satu orangpun
yang tidak pernah bertindak benar. Tiap orang pasti pernah melakukan dua hal
yang saling bersaing tersebut. Itulah esensi kehidupan manusia sebagai tanggung
jawab mengatur dunia ini.
Oleh
karenanya jangan pernah mengaku-ngaku banyak benarnya. Sebab, kesalahan justru
akan timbul dari pengakuan itu. Merasa diri paling suci, sama pula menunjukkan
kesombongan diri. Memang yang ia lakukan selama ini banyak benarnya. Namun dengan
hanya satu ungkapan bernada sombong dan merendahkan itu, akan bisa menjadi
langit kesalahan yang menutupi banyaknya kebenaran yang sudah ia lakukan.
Salah
satu pemandangan sosial tersebut terjadi pada orang-orang di era sekarang ini. Dan
itu menjadi pembeda yang sangat tegas dibanding orang-orang dulu.
Mari
kita selami perbedaan itu.
Saya
dan anda pasti mengetahui bagaimana pengalaman orang-orang tua dulu, terutama
wujud salah tindakan yang mereka lakukan. Mereka melakukan kesalahan, tetapi
tingkatnya hanya di permukaan belaka. Mereka pernah melakukan dosa, tapi
perbuatannya punya argumentasi yang bisa membenarkan kesalahan itu. Salah yang
mereka lakukan berskala kecil dan rendahan (dosa kecil).
Contohnya.
Orang-orang dulu pernah mencuri. Namun apa yang dicuri sekedar mangga di kebun,
ketela di sawah, kangkung di kali, ikan di kolam, kelapa di atas pohon, dan
lain-lain. Apa yang mereka curi akan dimakannya, sebagai bahan pengganjal
perut. Menurut cerita orang dulu, di zaman yang serba terbatas, kemiskinan
hampir menjadi pemandangan masyarakat luas. Sehingga makanpun sulit.
Contoh
lainnya. Orang-orang dulu jika mengaji al-Qur’an rata-rata tidak fasih. Inna
syaniaka, dalam surat al-Kautsar, mereka baca ni asaniaka. Bismillah,
mereka baca semillah. Audzu billah, mereka lafadzkan ngaudubilah.
Alhamdulillah, dilafadzkan menjadi alkamdulilah.
Model
baca seperti itu disebabkan metode belajar belum sistematis. Sehingga wajar
lidah orang dulu sangat tidak sesuai dalam melafadzkan ayat-ayat suci.
Contoh
selanjutnya. Anak-anak di zaman dulu, yang sekarang menjadi bapak dan embah
kita, merokok merupakan kesalahan yang mereka lakukan. Mereka mencuri-curi
waktu untuk sekedar menghisap rokok milik bapaknya atau embahnya. Ada yang
berkisah, untuk melunasi nafsu merokok, para bapak dan embah kita dulu sempat
pula mengulik bekas-bekas puntung rokok yang dibuang. Hanya itu.
Selebihnya,
semua berkisah tentang keisengan-keisengan yang tujuannya menggoda temannya.
----
Sekarang
coba bandingkan kesalahan-kesalahan itu dengan orang-orang yang hidup di zaman
moderen seperti saat ini. Kesalahan-kesalahan itu memang terulang. Tetapi
nampak terus bertambah kuantitas dan kualitasnya, serta variasi tingkat
kesalahannya. Boleh jadi, saat inilah modus dan model kesalahan manusia berubah
dengan sangat drastis.
Dulu
kesalahannya karena naluri. Tapi kini, kesalahan itu sudah keluar dari nilai
kesucian diri, sehingga pantas disebut kejahatan, keberingasan dan kekejaman.
Bahkan saking tiada tara tingkat keberingasan itu, nalar sehat sulit menentukan
kira-kira apa yang melandasi itu semua.
Zaman
dulu, mencuri hanya pada benda dan barang yang remeh temeh. Kini, mencuri uang
triliyunan atau milyaran dilakukan oleh banyak orang. Rata-rata mereka
mempunyai jabatan. Apakah mereka lapar? Apakah mereka tergencet situasi
kemiskinan? Tidak, mereka golongan orang yang kenyang dan kaya. Tetapi mereka
belum merasa puas.
Berita
di tivi-tivi nasional hampir tiap hari melaporkan berbagai kasus korupsi yang
terus saja terjadi. Setiap berita yang disiarkan, pasti ada berita
tertangkapnya si A, B dan C oleh KPK atau kejaksaan. Dari mulai Kepala Desa
sampai para Menteri yang terhormat.
Berapa
puluh atau berapa ratus pejabat yang sekarang menjadi pesakitan, yang artinya aksi
malingnya ketahuan? Dan berapa juta orang yang sedang berasyik-masyuk
menggarong uang rakyat dengan seenaknya dan masih leha-leha menikmati aksinya
itu karena belum ketahuan petugas berwenang?
-----
Dulu
ketika ada pencuri tertangkap, biasanya akan dibawa ke balai desa untuk
diamankan, menunggu polisi datang. Atau diadili secara hukum adat di daerah
tersebut. Biasanya hukuman itu berupa sanksi sosial denda dan kerja bakti.
Tapi
sekarang, belum tentu yang ditangkap itu pelakunya, sudah dikeroyok lebih dulu oleh
massa yang beringas. Dipukul, ditendang, dihantam pakai batu, dibacok dengan senjata
tajam apa saja yang mereka pegang. Belum usai, entah mati atau masih hidup, si
korbanpun disiram dengan bensin. Dan kemudian dibakar hingga menjerit. Mayatnya
pun dibiarkan tergeletak seperti bangkai ayam.
Saya
masih merasakan sedih-sesak jika mengikuti kisah Al-Zahra di Bekasi yang
dibakar hidup-hidup (01/08) gegara sekotak amplifier yang nilainya tidak
seberapa dibanding duka nestapa yang merisak nilai kemanusiaan itu.
-----
Sekarang
anak-anak muda usia sekolah yang merokok masih saja ada. Tetapi yang menyalahgunakan
narkoba, jumlahnya juga semakin bertambah. Pada periode sekarang inilah,
narkoba beredar dengan sangat gampangnya. Narkoba ibarat krupuk yang hampir selalu
ada di setiap toples di meja dapur rumah kita.
Tahu
sendirilah anda. Baru-baru ini gudang satu juta ekstasi berhasil dibongkar. Ratusan
kilo sabu berhasil disita. BNN sudah bekerja keras. Banyak sudah pelakunya yang
dibui. Tetapi trend peredaran narkoba bergerak merajalela, tersembunyi, seperti
siluman setan yang meriyak setiap lekuk kehidupan. Kasus ini bahkan ratingnya
bersaingan dengan korupsi dan kejahatan lainnya.
Tentu
di belakang itu ada bandar-bandar besar skala internasional. Konon banyak pula
yang memanaje sirkulasi jual beli itu di dalam sel penjara.
Mereka
dipenjara, tapi mampu seperti raja. Mereka di dalam bui, tapi geraknya sangat
lihai. Setelah diselidik, ternyata yang seperti itu disebabkan “kerja sama”
baiknya dengan petugas penjara.
-------
Luar
biasa mencekam situasi kita saat ini. Semakin bertambah tua, bukan menjadi
santan yang kental, tetapi malah berubah keruh. Apakah kita kembalikan saja
kepada masa lalu? Untuk membersihkan bangsa ini menjadi jernih lagi. Seperti
bayi masa lalu yang geraknya penuh naluri.
Jujur,
ibuku selalu bersedih sesaat setelah beliau melihat berita yang disiarkan di
tivi. Apalagi ketika di beberapa bulan lalu beliau mengikuti berita gelut
pilkada. Kata beliau, “Dulu tidak pernah ada kejadian seperti sekarang ini.
Salahnya orang dulu cuma sekedar saja. Tapi sekarang, kesalahan orang semakin
bermacam-macam.”
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda