Langsung ke konten utama

Salahnya Orang Dulu dan Orang Sekarang

Tidak ada orang yang tidak pernah salah. Tapi bukan berarti tidak ada satu orangpun yang tidak pernah bertindak benar. Tiap orang pasti pernah melakukan dua hal yang saling bersaing tersebut. Itulah esensi kehidupan manusia sebagai tanggung jawab mengatur dunia ini.

Oleh karenanya jangan pernah mengaku-ngaku banyak benarnya. Sebab, kesalahan justru akan timbul dari pengakuan itu. Merasa diri paling suci, sama pula menunjukkan kesombongan diri. Memang yang ia lakukan selama ini banyak benarnya. Namun dengan hanya satu ungkapan bernada sombong dan merendahkan itu, akan bisa menjadi langit kesalahan yang menutupi banyaknya kebenaran yang sudah ia lakukan.

Salah satu pemandangan sosial tersebut terjadi pada orang-orang di era sekarang ini. Dan itu menjadi pembeda yang sangat tegas dibanding orang-orang dulu.

Mari kita selami perbedaan itu.

Saya dan anda pasti mengetahui bagaimana pengalaman orang-orang tua dulu, terutama wujud salah tindakan yang mereka lakukan. Mereka melakukan kesalahan, tetapi tingkatnya hanya di permukaan belaka. Mereka pernah melakukan dosa, tapi perbuatannya punya argumentasi yang bisa membenarkan kesalahan itu. Salah yang mereka lakukan berskala kecil dan rendahan (dosa kecil).

Contohnya. Orang-orang dulu pernah mencuri. Namun apa yang dicuri sekedar mangga di kebun, ketela di sawah, kangkung di kali, ikan di kolam, kelapa di atas pohon, dan lain-lain. Apa yang mereka curi akan dimakannya, sebagai bahan pengganjal perut. Menurut cerita orang dulu, di zaman yang serba terbatas, kemiskinan hampir menjadi pemandangan masyarakat luas. Sehingga makanpun sulit.

Contoh lainnya. Orang-orang dulu jika mengaji al-Qur’an rata-rata tidak fasih. Inna syaniaka, dalam surat al-Kautsar, mereka baca ni asaniaka. Bismillah, mereka baca semillah. Audzu billah, mereka lafadzkan ngaudubilah. Alhamdulillah, dilafadzkan menjadi alkamdulilah.

Model baca seperti itu disebabkan metode belajar belum sistematis. Sehingga wajar lidah orang dulu sangat tidak sesuai dalam melafadzkan ayat-ayat suci.

Contoh selanjutnya. Anak-anak di zaman dulu, yang sekarang menjadi bapak dan embah kita, merokok merupakan kesalahan yang mereka lakukan. Mereka mencuri-curi waktu untuk sekedar menghisap rokok milik bapaknya atau embahnya. Ada yang berkisah, untuk melunasi nafsu merokok, para bapak dan embah kita dulu sempat pula mengulik bekas-bekas puntung rokok yang dibuang. Hanya itu.

Selebihnya, semua berkisah tentang keisengan-keisengan yang tujuannya menggoda temannya.

----

Sekarang coba bandingkan kesalahan-kesalahan itu dengan orang-orang yang hidup di zaman moderen seperti saat ini. Kesalahan-kesalahan itu memang terulang. Tetapi nampak terus bertambah kuantitas dan kualitasnya, serta variasi tingkat kesalahannya. Boleh jadi, saat inilah modus dan model kesalahan manusia berubah dengan sangat drastis.

Dulu kesalahannya karena naluri. Tapi kini, kesalahan itu sudah keluar dari nilai kesucian diri, sehingga pantas disebut kejahatan, keberingasan dan kekejaman. Bahkan saking tiada tara tingkat keberingasan itu, nalar sehat sulit menentukan kira-kira apa yang melandasi itu semua.

Zaman dulu, mencuri hanya pada benda dan barang yang remeh temeh. Kini, mencuri uang triliyunan atau milyaran dilakukan oleh banyak orang. Rata-rata mereka mempunyai jabatan. Apakah mereka lapar? Apakah mereka tergencet situasi kemiskinan? Tidak, mereka golongan orang yang kenyang dan kaya. Tetapi mereka belum merasa puas.

Berita di tivi-tivi nasional hampir tiap hari melaporkan berbagai kasus korupsi yang terus saja terjadi. Setiap berita yang disiarkan, pasti ada berita tertangkapnya si A, B dan C oleh KPK atau kejaksaan. Dari mulai Kepala Desa sampai para Menteri yang terhormat.

Berapa puluh atau berapa ratus pejabat yang sekarang menjadi pesakitan, yang artinya aksi malingnya ketahuan? Dan berapa juta orang yang sedang berasyik-masyuk menggarong uang rakyat dengan seenaknya dan masih leha-leha menikmati aksinya itu karena belum ketahuan petugas berwenang?

-----

Dulu ketika ada pencuri tertangkap, biasanya akan dibawa ke balai desa untuk diamankan, menunggu polisi datang. Atau diadili secara hukum adat di daerah tersebut. Biasanya hukuman itu berupa sanksi sosial denda dan kerja bakti.

Tapi sekarang, belum tentu yang ditangkap itu pelakunya, sudah dikeroyok lebih dulu oleh massa yang beringas. Dipukul, ditendang, dihantam pakai batu, dibacok dengan senjata tajam apa saja yang mereka pegang. Belum usai, entah mati atau masih hidup, si korbanpun disiram dengan bensin. Dan kemudian dibakar hingga menjerit. Mayatnya pun dibiarkan tergeletak seperti bangkai ayam.

Saya masih merasakan sedih-sesak jika mengikuti kisah Al-Zahra di Bekasi yang dibakar hidup-hidup (01/08) gegara sekotak amplifier yang nilainya tidak seberapa dibanding duka nestapa yang merisak nilai kemanusiaan itu.

-----

Sekarang anak-anak muda usia sekolah yang merokok masih saja ada. Tetapi yang menyalahgunakan narkoba, jumlahnya juga semakin bertambah. Pada periode sekarang inilah, narkoba beredar dengan sangat gampangnya. Narkoba ibarat krupuk yang hampir selalu ada di setiap toples di meja dapur rumah kita.

Tahu sendirilah anda. Baru-baru ini gudang satu juta ekstasi berhasil dibongkar. Ratusan kilo sabu berhasil disita. BNN sudah bekerja keras. Banyak sudah pelakunya yang dibui. Tetapi trend peredaran narkoba bergerak merajalela, tersembunyi, seperti siluman setan yang meriyak setiap lekuk kehidupan. Kasus ini bahkan ratingnya bersaingan dengan korupsi dan kejahatan lainnya.

Tentu di belakang itu ada bandar-bandar besar skala internasional. Konon banyak pula yang memanaje sirkulasi jual beli itu di dalam sel penjara.

Mereka dipenjara, tapi mampu seperti raja. Mereka di dalam bui, tapi geraknya sangat lihai. Setelah diselidik, ternyata yang seperti itu disebabkan “kerja sama” baiknya dengan petugas penjara.

-------

Luar biasa mencekam situasi kita saat ini. Semakin bertambah tua, bukan menjadi santan yang kental, tetapi malah berubah keruh. Apakah kita kembalikan saja kepada masa lalu? Untuk membersihkan bangsa ini menjadi jernih lagi. Seperti bayi masa lalu yang geraknya penuh naluri.

Jujur, ibuku selalu bersedih sesaat setelah beliau melihat berita yang disiarkan di tivi. Apalagi ketika di beberapa bulan lalu beliau mengikuti berita gelut pilkada. Kata beliau, “Dulu tidak pernah ada kejadian seperti sekarang ini. Salahnya orang dulu cuma sekedar saja. Tapi sekarang, kesalahan orang semakin bermacam-macam.”

Aku sendiri bertanya-tanya, apa artinya 72 tahun merdeka jika masih saja seperti ini dan malah semakin parah?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...