Langsung ke konten utama

Mahasiswa dan Perpustakaan, Serta Pertemuan Saya dengan Jin LGBT


Saya segolongan orang yang wah woh, di mata para orang cerdas macam Anda dan juga di mata orang wah woh yang sama dengan saya. Dan itu, macam Anda juga. Karena wah woh, saya butuh sekolah. Sekolahlah saya ke jenjang yang lebih tinggi. Supaya wah woh saya berkurang. Sedikit saja sudah lumayan.

Saya sekolah di sebuah kampus yang punya perpustakaan. Alhamdulillah, berkunjunglah saya ke perpustakaan itu. Setelah saya masuk, ternyata di perpustakaan itu mengenakkan. Nyaman. Seger. Ada AC yang membuat gerah saya hilang. Dan hampir semua yang masuk ke dalam perpustakaan pasti ingin menghilangkan “gerah” keingintahuannya akan ilmu yang membuncah dan menggelora.

Eh, ada juga yang ingin agar gerah (ini benar-benar gerah) di badannya hilang oleh hembusan udara dingin dari mesin robot yang berbentuk kotak itu. Sebuah kegerahan yang sangat nyata akibat terlalu banyak ngerumpi di warung kopi. Bersama rekan-rekan sesama pecinta wedang kopi yang jarang mandi. Makanya sumuk.

Ketika saya tengok ternyata di dalam perpustakaan itu banyak bukunya. Luar biasa. Rata-rata bukunya tebal-tebal. Pasti Anda akan kesulitan mencari buku yang tipis dan kecil-mini. Seukuran dengan buku yang selama ini sering Anda baca.

Ya, itu loh sebuah buku yang merupakan paporit Anda semua (saya juga sih). Apalagi kalau bukan kumpulan yasin dan tahlil. Kadang dikomprehensifkan dengan tambahan istighasah dan doa-doa lainnya. Mensurga sekali.

Selama hampir tiga hari berturut-turut saya berkunjung ke perpustakaan kampus itu,  “alhamdulillah ya” saya bisa bertemu dengan banyak hal menarik. Pandangan mata saya berkeliaran melihat, menonton, merenungkan hal-hal menarik itu. Siapa lagi kalau bukan Mahasiswa.

Setelah melalui perenungan di sebuah padepokan si Aa’. Jangan salah sangka, si Aa’ ini bukanlah Aa’ yang “perkasa” itu. Si Aa’ saya maksud adalah kakak saya sendiri yang kebetulan punya gudang kosong dan sering saya pakai tidur-tiduran. Dari tidur-tiduran itulah saya berhasil menelurkan tiga tipologi mahasiswa yang memasuki perpustakaan kampus.

1.    Penyuka buku
Yang model ini akan bisa Anda temui di dalam perpustakaan dengan posisi duduk sendirian. Ia tidak ingin terganggu. Bahasa tubuh yang aktif jarang keluar, ia diam mematung. Gestur tubuhnya seperti orang yang terlelap. Padahal tangan dan matanya siap siaga membaca isi-isi dari buku yang dipinjamnya.

Tangan mereka lebih banyak menempel di buku. Tangan itu akan siap-siap menerima komando kapan lembar demi lembar buku itu dibaliknya.

Mahasiswa yang model ini, mulutnya terkunci. Tidak banyak vokal dan konsonan yang keluar dari lisannya. Yang terlihat sangat kecapekan adalah pikiran yang ada di kepalanya. Akal pikiran itu berlari-lari, mengusung kata per kata, kalimat per kalimat dari buku yang dibacanya.

Jika benar-benar usai barulah ia beranjak. Melangkahkan kaki, bergerak melakukan aktifitas lainnya. Ketika saya melihat wajahnya, matanya memerah dan lelah. Akibat berjam-jam mata itu bekerja. Menyantap sajian literasi yang kaya makna itu.

2.    Penikmat perpustakaan
Tipologi mahasiswa ini seringnya bergerombol. Tak pernah terlihat sendiri masuk ke perpustakaan. Kalaupun sendiri pasti karena terpaksa. Mengerjakan tugas yang dideadline dosennya.

Masuk ke dalam perpustakaan, gerombolan mahasiswa ini seperti maling yang dikejar polisi. Serius mukanya. Sigap langkahnya. Berapi-api.

Nah, setelah mendekati rak-rak buku, barulah mereka lunglai. Berapi-apinya hilang. Sigapnya sirna. Mereka mengambil buku, dibolak balik, dibaca judulnya kemudian dikembalikan lagi ke raknya. Begitu yang sering terjadi.

Judulnya dibaca, lalu bukunya dikembalikan. Mungkin, membaca judulnya thok otomatis isinya juga kebaca, bil ghaib. Mungkin juga ada aplikasi canggih yang ada di kepalanya, sehingga memegang buku saja, aksara-aksara dalam buku tersebut secara otomatis terserap ke dalam otaknya.

Setelah lelah membolak-balik buku, barulah mereka menyatu kembali. Memasuki barisannya lagi. Kemudian mencari tempat yang banyak kursi. Sedetik duduk bersama, kemudian mucullah handphone atau tablet di genggaman tangannya.

Maka mulailah mereka berselancar dalam ruang yang sejuk, kebersamaan yang abadi dan keceriaan yang tiada tara itu. Kadang dilambari lelucon-lelucon yang membuat garr gerr di antara mereka. Kadang disegarkan dengan main game yang paling anyar. Atau juga tertidur nyenyak.

Mereka kerasan di dalam perpustakaan. Ia seperti rumahnya sendiri. Home sweet home. Eh tiba-tiba keluar kentut yang menggelegar yang tidak bisa mereka tahan. Duutt...prett. Dan baunya, alamaakkk....

3.    Pemojok sejati
Jenis mahasiswa yang ini agak sulit diterka di awal. Mereka kadang seperti kelompok pertama, khusyuk. Kadang pula membaur seperti kelompok kedua. Mereka ini lebih cerdas dalam “memonitor situasi.”

Saya sendiri meriset acakadut kelompok yang ketiga ini sejak lama. Dan baru-baru ini saja menemukan banyak hal menarik perihal apa yang dilakukan mahasiswa kelompok ini. Mengesankan, mereka bisa beralih posisi dengan cepat.

Beralih posisi? Ya, kita lihat sekarang ia sedang serius menyendiri dengan tumpukan buku di depannya. Dari mulai buku Das Kapitalnya Karl Marx sampai Lentera Hatinya Prof. Quraish Shihab. Uhh, terlihat mereka seperti menjalankan amaliah para kutu buku.

Nah, barulah semua berubah ketika di depan pintu masuk nongol cewek atau cowok gebetannya. Matanya berbinar. Degub jantungnya berdetak tak karuan. Seperti Kotaro Minami dalam film Ksatria Baja Hitam, mendadak ia berdiri dan langsung berteriak “Berubaahh.”

Ya, jadilah ia berubah tidak seperti kutu buku lagi. Kalau cowok, ia kini seperti kumbang yang didatangi bunga –lho-. Atau kalau cewek ia laksana bunga mekar yang didatangi kumbang, yang mibernya indah.

Setelah itu merekapun mencari habitat tempat yang mengasyikkan. Yang sepi, jauh dari mahluk hidup, dan agak gelap. Dan rata-rata ruang yang seperti itu adanya di pojokan perpustakaan. Tentang apa yang dilakukan mereka di sana?? Wah, saya angkat tangan saja. Sampai di sini agaknya saya mulai tidak bisa mikir.

Tapi pada akhirnya saya berpikir bahwa setiap tulisan itu harus ada kesimpulan penutup. Maunya tadi tak usahlah saya tutup tulisan ini. Biar para pembaca menyocokkan sendiri tentang kenangan kemahasiswaannya dulu, atau kemahasiswaannya sekarang ini.

Salah sebagian penutup dan saran satu hal saja; Tak elok jika perpustakaan kita jadikan area bermain semata. Baik bermain dengan kelompoknya, maupun bermain dengan gebetannya.

Maksud saya, mari jadikan perpustakaan jadi tempat yang sakral, suci dan bersih. Seperti masjid, mushalla, vihara, pura, gereja atau sinagog. Dan percayalah, tempat yang sakral biasanya ada penunggunya, ada jin yang menjaganya. Yakinkan jika mereka semua mengawasi Anda.

Eh sebentar, saya kok melihat sepertinya ada Jin. Dia ada di sudut sana. Tubuhnya kekar, berotot, hulk mania. Mungkin dia aktifis fitnes.

Akhirnya saya samperin terduga jin itu. Ternyata di pinggirnya ada seorang mahasiswa duduk dempet, senyam senyum sendiri, malu. Sayapun bertanya.
“Mas ini (yang kekar) jin apa orang sih? Kok duduknya mojok berdua! Ah pasti Mas ini jin LGBT ya?” Wassalam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...