Langsung ke konten utama

Tasyakuran

Kira-kira pernahkah Anda dalam satu bulan saja tidak mendapatkan satupun undangan tasyakuran atau kendurenan atau selametan dari tetangga Anda? Nalar wong ndeso pasti menjawabnya belum pernah. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tasyakuran atau selametan atau kendurenan (selanjutnya disingkat TKS) telah menjadi darah daging kita. Ia menjadi tradisi luhur yang digagas nenek dan kakek moyang kita yang masih terjaga hingga sekarang ini.

Tapi jangan pernah bertanya siapa tepatnya yang pertama kali mengadakan TKS di Nusantara ini. Atau lebih pelik lagi, jangan pernah mengulik dengan detail tanggal, bulan dan tahun pertama kali tradisi kolosal ini diadakan. Sebuah tradisi yang sudah dikatakan luhur, hanya menuntut kita untuk sesering mungkin mengadakannya atau segiat mungkin mendatanginya ketika kita mendapat kehormatan diundang para tetangga yang berhajat.

Salah satu poin penting yang menjadikan tradisi ini luhur adalah manfaat. Terutama rekatnya ikatan vertikal dan horizontal sekaligus. Konten TKS yang berisi dzikir dan doa yang melibatkan banyak orang tentulah wujud hubungan vertikal yang sangat kental. Adapun rekatnya ikatan secara horizontal pasti lebih nampak lagi. Tergabungnya si pemilik hajat dan warga dalam satu ruang yang sama, akan menambah kedekatan yang semakin akrab. Memunculkan empati dan simpati satu sama lain.

Apalagi kalau merujuk pada pembagian “berkat” kepada warga sebagai oleh-oleh keluarganya di rumah. Dan sebenarnya inilah sebuah hal yang paling kongkret dari acara tersebut. Anda pasti tahu apa saja isi dari “berkat” tersebut. KH. Said Agil Siraj dalam sebuah ceramahnya pernah mengatakan bahwa yang namanya berkat adalah makanan yang tergolong empat sehat lima sempurna. Sebab protein, vitamin, lemak, karbohidrat dan mineral, benar-benar ada di dalamnya.

Terus terang harus dikatakan pula bahwa bagi sebagian orang menganggap rezeki berupa “berkat” dari acara TKS ini sangat berarti bagi kehidupannya. Bahkan rezeki itulah yang menjadi penolong kebutuhan pangan sehari-hari bagi mereka dan keluarganya. Oleh karenanya, para saudara kita yang diuji keadaan miskin itu, akan merasa sangat bahagia saat dirinya menerima undangan itu. Yang artinya kebutuhan makan untuk keluarganya di hari itu sudah ada yang menjamin. KH. Mas’ud Yunus dalam sebuah ceramahnya beberapa minggu yang lalu mengatakan, jika tradisi TKS ini dianggap sebagai bid’ah sesat, sama artinya tidak membantu kesejahteraan masyarakat miskin.

***

Tadi malam kebetulan aku mendapat kehormatan menghadiri acara tasyakuran seorang tetangga yang akan berangkat haji. Ternyata memang rekat hubungan horizontal dari acara-acara seperti ini benar-benar muncul. Salah satunya berwujud obrolan santeiku dengan seorang tamu lainnya yang kebetulan duduk di kursi sebelah kiriku.

“Mas, sampeyan ini yang namanya Hidayat itu to?” Pria berusia 50 tahunan itu mengawali obrolan setelah bersalaman denganku dan duduk di kursinya.

“Iya, Cak No, aku ini Hidayat.” Jawabku kepada orang yang aku kenal bernama sapaan Cak No.

“Sampeyan kok tambah gemuk. Aku benar-benar pangling dengan perubahan fisik sampeyan. Dulu kecil, sekarang seperti ini.” Sambil pandangan matanya menelusuri sekujur tubuhku. Tapi memang hampir semua orang yang bertemu denganku beranggapan sama tentang tubuhku itu. Padahal aku sendiri tidak menganggap seperti itu. Gemuk badanku ini masih wajar-wajar saja.

Akupun kemudian membalas omongan Cak No,“Halah Cak No. Ya karena memang aku ini makan setiap hari. Makanya jadi seperti ini....he he he.”

Tiba-tiba Cak No mengalihkan fokus pembicaraan. Ia yang dulu aku kenal bekerja sebagai karyawannya bapak, berusaha mengingat-ingat kembali peristiwa yang terjadi puluhan tahun yang lalu itu.

“Mas aku ini dulu karyawannya bapak sampeyan. Aku sering ke rumah sampeyan. Tiap hari aku angkat pasir dari sungai. Bapak sampeyanlah yang menggajiku.”

Ia melanjutkan, “Ya itu lah, Mas. Dulu aku kerja serabutan. Sampai tua seperti sekarang ini masih sama, serabutan. Malah serabutannya selalu kerja rendahan.” Aku mendengar dengan seksama omongan Cak No. Sembari mendengar MC memulai acara.

“Belum pernah aku kerja yang santai, Mas. Dulu setiap hari angkut pasir. Sekarang menjadi penebang tebu. Kadang hati ini merasa sedih. Puluhan tahun pekerjaanku kok ini-ini saja. Apakah ini akibat pendidikanku yang tidak tinggi?”

Aku terhenyak mendengar Cak No berbicara seperti itu. Sepertinya ada duka di batinnya. Ada nelangsa dengan kenyataan hidupnya selama ini. Aku kemudian menghela napas. Benar-benar cerita Cak No membuat batin ini ikut merasakan pula nelangsa itu.

“Ah, gak masalah itu Cak. Itulah hidup Cak. Rekasa orep lan  adus keringet, memang itulah gunanya hidup di dunia ini. Yang paling penting sampeyan bisa membahagiakan anak dan istri di rumah.”  

“Iya Mas. Mungkin itulah yang paling penting dari kenyataan hidupku sekarang ini. Dan alhamdulillah, aku masih bisa bersyukur Mas, kerja di tempat yang dekat dengan rumah. Jadi tiap hari masih bisa pulang, kumpul sama anak dan istri.”

“Betul Cak. Aku yakin kalau sampeyan mampu bersabar dan bersukur dengan kondisi ini, sampeyan pasti akan panen kebahagiaan di sana. Di alam yang lebih nikmat dan enak dibanding dunia ini.” Ucapanku yang mudah-mudahan bisa membesarkan hatinya Cak No. Aslinya sih aku sampaikan kepada diriku sendiri. Untuk membesarkan hatiku sendiri. Sebab aku sendiri kadang berprasangka seperti yang Cak No rasakan.

***

Jadi seperti itulah bulir-bulir betapa bermanfaatnya TKS tersebut. Salah satunya mendengar curahan hati sedulur-sedulur kita yang mungkin selama ini tidak punya “tembok” untuk berkeluh kesah. Dan ketika Anda berposisi sebagai pendengarnya, maka jadilah pendengar yang baik. Serap omongannya, raba batinnya, ambil perasaannya itu dan pindahkan ke hati Anda. Aku yakin empati dan simpati akan muncul tanpa diperintah dari hari kita.

Oh iya, bagaimanapun juga sebuah hajatan TKS tak akan sukses tanpa campur tangan dan kerja sama banyak orang. Disamping si penghajat dan warga yang diundang, sebuah hajatan TKS pasti membutuhkan pula peran serta tukang cetak undangan, kurir undangan, para koki di dapur, dan para pemilik tenda serta sound system. Semua pihak itu membentuk satu rangkaian yang saling berhubungan. Satu saja terputus, maka resikonya sangat fatal.

Misalnya, niat hajat sudah direncanakan, sudah belanja bahan makanan, sudah pesan tenda sound system, sudah cetak undangan, tapi tak satupun orang yang mau membagikan undangan itu. Maka terputusnya rangkaian pada kurir itu akan berakibat besar. Pasti acara tidak akan bisa dilaksanakan, karena tidak ada warga yang hadir akibat undangan tidak menyebar.

Sukurlah selama ini belum pernah terjadi kasus seperti itu. Belum pernah ada hajatan yang gagal oleh sebab terputusnya satu rangkaian. Mungkin semua itu dipengaruhi kuatnya tradisi luhur nenek dan kakek moyang kita. Tradisi ini sudah mengalir dalam darah kita.

Tapi walau begitu kuatnya rangkaian itu, kadang masih saja menyisakan beberapa titik kekurangan. Bahkan titik kekurangan itu kadang menjadi lelucon yang bikin ngakak. Contohnya, pernah aku menerima undangan kenduren dari seorang tetangga yang kebetulan kirim doa 1000 hari wafat bapaknya. Dan lucunya tertulis di kolom acara pada surat udangan itu: tasyakuran 1000 harinya si bapak anu. Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...