Langsung ke konten utama

Pemuda Realistis

Saya lihat anak-anak muda yang baru lulus sekolah beberapa tahun terakhir ini banyak yang bingung. Mereka setiap pagi wara wiri dengan motornya. Pulangnya sore, kemudian nongkrong dengan teman tongkrongannya. Nongkrong di tempat favorit mereka. Tertawa, suka ria, jingkrakan, dan seabrek gerakan-gerakan lainnya. Kemudian pulangnya malam, bahkan dini hari.

Jumlah mereka lumayan banyak. Di hampir lingkungan banyak anak muda yang rutinitasnya seperti itu. Yaumiyah-nya diisi aktifitas yang saya yakin mereka sebetulnya paham baik dan buruknya. Cuman mereka perlu dibuka saja pintu kesadarannya, tentang aspek baik dan buruk yaumiyah yang semacam itu.

Setelah ditelusuri, ternyata rata-rata mereka diselimuti bingung level beneran. Sumber kebingungan itu terletak pada kondisinya yang masih nganggur (non job) oleh karena belum mendapat panggilan kerja dari perusahaan yang sudah dilamarnya. Menurut pengakuan mereka, sudah puluhan perusahaan yang sudah dimasuki surat lamaran, tapi belum satupun yang gol. Ada pula yang sudah kerja namun tidak kerasan.

Setelah ditanya apakah akan terus menunggu panggilan walau tidak tahu kapan momen itu akan terjadi.  Mereka tolah toleh, menjawab dengan penuh ragu, “iya”. Ia mau menunggu sampai disms seorang personalia perusahaan tertentu. Kemudian ditanya lagi, sampai kapan harus menunggu panggilan agung itu, seandainya sudah berjalan minimal satu tahun. Apalagi sekarang jika ingin menjadi karyawan baru sebuah perusahaan, sudah berlaku hukum Orde Baru yang namanya nepotisme, saudaraisme dan koncoisme. Lagi-lagi mereka tolah toleh, tak tau harus menjawab apa. Terlihat pertanyaan ini memang sulit buat mereka. Ya, miriplah sama pertanyaan fisika: bumi itu datar apa bulat, hayo?

Di situlah pentingnya mereka diberi pencerahan pada yang namanya REALISTIS. Pertama, bagi yang orang tuanya tergolong kaya, lebih baik kuatkan dan tekadkan diri untuk meneruskan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Mumpung orang tua bisa membiayai. Dengan catatan, kuliah yang serius, belajar yang giat, baca buku sebanyak-banyaknya, ikuti perkembangan zaman, dan jangan lupakan ibadah seraya mendoakan kepada orang tua agar hidupnya berkah.

Kedua, yang orang tuanya berpunya tetapi hasrat hati ingin memperoleh penghasilan, ya gak apa-apa. Coba cari pekerjaan itu dengan syarat apa yang ada pada diri yang apa adanya. Alias hanya bermodalkan ijazah Aliyah, misalnya. Atau berwiraswastalah dengan modal pertama dari harta orang tua. Catatannya,  harus ditegaskan bahwa usaha yang dijalankan diproyeksikan menjadi besar dan sukses. Pula, hanya sekali saja harta orang tua tersebut yang dipakai. Selanjutnya sukses dan bangkrutnya silakan ditanggung sendiri.

Dan ketiga, bagi yang orang tuanya biasa-biasa saja, maka realistislah dalam berkeputusan. Jika ingin kuliah sebaiknya carilah kerja terlebih dulu. Setelah dapat kerja barulah berpikir kuliah.Tetapi ketika dalam proses mencari dan melamar kerja itu tidak jelas kapan dimulainya, lebih baik realistis lagi dalam berpikir dan bertindak selanjutnya.

Artinya, jangan menunggu momen yang tidak diketahui kapan datangnya itu. Maka perlulah untuk berpikir menjadi wiraswastawan, entah apa wujud usaha itu. Modalnya hutang bank, biar hidupnya semangat, dan ketika berhasil lunas, itulah kemerdekaan yang sejati. Artinya lagi, perlulah anak-anak muda untuk memutar otak lebih  keras. Zaman ini banyak enaknya, tapi perlu otak diputar dengan putaran yang kuat. Jangan pernah berpikir otaknya bisa jebol.

Kalau ternyata untuk putar otak saja tidak bisa, nah ini, ini merupakan problem yang tidak bisa dibongkar sekalipun oleh ilmuwan yang paling cerdas. Otak itu ada di kepalanya sendiri, tentu diri sendiri itulah yang memutarnya. Apa perlu saya pusingkan kepalanya, biar otaknya ikut berpusing juga!

Ah, tapi saran itu sekedar usulan. Dan usulan itu juga sekedar saran. Yang mengamalkan kehidupan ya anak-anak muda sendiri. Butuh independensi dan kemerdekaan menentukan sikap.

Kalaulah ternyata punya ide sendiri, itu malah lebih baik. Tentu ide yang harusnya briliyan, semisal menjadi penulis buku, membuat blog yang bisa dikomersilkan, jualan pentol dengan berbagai macam bentuknya yang cantik dan maknyuss, atau bertani di sawah milik orang tua. Pokoknya halal. Atau ada yang milih menghibahkan hidupnya menjadi guru diniyah atau TPQ. Yang satu ini kayaknya akan lebih cepat kaya!

Satu hal, jangan pernah berpikir ide yang menurut kalian brilian, tetapi jebulnya nyolong, ngerampok, jualan narkoba dan minuman keras, atau jadi pengecer togel. Sebab menurut ustad Solikin, itu semua tergolong perbuatan yang dilarang agama. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...