Untuk ukuran kyai yang sering mengisi pengajian di beberapa tempat, selayaknya Gus Ahmad memfasilitasi diri dengan kendaraan yang proporsional. Maksud saya, Gus Ahmad harusnya memiliki kendaraan roda empat (mobil) untuk mempermudah tugas dakwahnya itu. Namun hingga sekarang beliau masih seperti dulu. Istiqamah menggunakan motor andalannya, Honda Beat.
Santri Gus Ahmad jumlahnya ratusan. Alumninya bahkan sudah ribuan. Mereka berasal dari berbagai pelosok daerah di Jawa Timur. Sering ketika ada acara pernikahan santrinya, Gus Ahmad kerap diundang untuk memberi nasihat. Jika tempatnya dekat, dalam lingkup daerah sendiri atau pula kalau luar daerah tapi masih bisa ditempuh memakai motor, maka Gus Ahmadpun memakai motornya itu. Jika tempatnya jauh maka biasanya beliau menyewa mobil carteran.
Teman saya pernah punya pengalaman mobilnya disewa Gus Ahmad. Kebetulan dirinya sendiri yang menjadi driver-nya. Yang lucu ia pernah diminta Gus Ahmad mengantar ke sebuah pesantren di luar daerah, padahal masih baru bisa menyetir. Ia tidak bisa menolak permintaan itu karena sungkan. Sekalipun dalam hatinya keluar perasaan dag dig dug der saat ada di jalan, maklum barusan bisa nyetir. Tak dinyana, Gus Ahmad tahu dengan kondisi itu, dan beliaupun menghibur teman saya, “Yang penting sampai tujuan, lambatpun tidak apa-apa Mas.” Sontak, ucapan penuh hibur itupun membuat teman saya malu.
Dibanding para kyai lainnya, ini sepengetahuan saya, Gus Ahmad ini cenderung lebih sederhana. Dapat diukur dari apa yang beliau pakai setiap hari. Yang lebih utama diukur dari kendaraan yang beliau punya. Para kyai lainnya banyak yang punya mobil, bahkan banyak yang harganya mahal dan jumlahnya lebih dari satu. Sementara Gus Ahmad, mobil Suzuki Carry lawas saja yang harganya sekarang sekira 30 jutaan, beliau tidak memiliki. Dan ini sudah berjalan sejak lama.
Anda semua pasti paham, mobil itu sekarang menjadi kebutuhan pokok menurut banyak orang. Karena itulah mereka berusaha bermimpi-mimpi memilikinya. Sekalipun aslinya besar pasak dari pada tiang. Alias mobil terbeli dengan menumpuk-numpuk hutang di koperasi atau bank. Ketika ditanya untuk apa berapi-api kepingin mempunyai mobil tapi dengan jalan hutang beratus juta atau kredit dengan cicilan yang tidak rasional? Mereka pun menjawab bahwa mobil itu sebuah life style. Siapa yang punya mobil derajat hidupnya otomatis terangkat. Walau kondisi ekonominya tergencet hutang ratusan juta.
Jawaban lainnya, mobil tersebut akan mereka gunakan untuk berekreasi di setiap hari libur. Jadi mereka akan meluangkan waktu di hari tersebut untuk melancong ke tempat yang mereka sukai. Mereka menganggap, di samping kepemilikan mobil, salah satu life style lainnya itu ya rekreasi, refreshing atau berwisata. Sekalipun, sekali lagi, mengakibatkan bengkaknya hutang piutangnya demi ongkos bepergian yang sering dilakukan itu. Karena gaji bulanan yang ia terima tak mampu menutupi melimpahnya biaya pengeluaran yang sifatnya tersier itu.
Kecuali bagi orang yang memang secara modal sangatlah berlimpah. Kalau seperti ini boleh jadi memiliki mobil memang sebuah kemaslahatan. Disamping terutama bagi keluarganya agar tidak kepanasan dan kehujanan saat bepergian, juga bisa digunakan menolong para tetangga yang barangkali butuh diantar ke rumah sakit saat mereka sakit. Jadi kepemilikian mobilnya tidak saja maslahah untuk dirinya sendiri, namun maslahah pula untuk lingkungan.
Kalau begitu, apakah ketidakpunyaan Gus Ahmad, walau semata mobil sederhana, menjadikan beliau lebih wirai dari kyai lainnya? Pangkat ruhani ini tidak mungkin saya ketahui. Sebab menurut saya penilaian tersebut adalah hak Allah dalam memandang hamba-Nya. Saya hanya bisa melihat wadag lahiriah yang menempel pada fisik beliau. Dan ketika saya amati, beliau itu memang sangat sederhana.
Suatu ketika beliau pernah membela kondisinya itu di sebuah forum. Disampaikannya ketika beliau mengisi acara pengajian di sebuah instansi. Sambil berkelakar, Gus Ahmad menceritakan bahwa memang ia belum punya mobil hingga sekarang. Karena itulah ketika ada acara di luar kota dan tidak bisa tidak harus menggunakan mobil, beliaupun kerap menyewa mobil. Yang menarik, menurut Gus Ahmad, justru orang yang tidak punya mobil dan sering menyewa mobil seperti beliau, punya nilai lebih dibanding orang yang punya mobil pribadi.
Pertama, orang yang tidak mempunyai mobil tidak akan pusing-pusing memikirkan apakah mobilnya kehujanan, kepanasan, kotor, atau hilang, sebab ia memang tidak punya. Berbeda dengan orang yang punya mobil, mereka kerap dihantui pikiran-pikiran itu. Mereka perlu membangun garasi, beli kunci terkuat sebagai pengaman dan bahkan dipasang CCTV segala.
Kedua, orang yang tidak punya mobil dan ketika bepergian kerap menyewa mobil, maka ia punya banyak kebebasan. Salah satunya kebebasan memilih jenis mobil yang ia sewa. Mau yang biasa, setengah bagus bahkan yang mewah, itu hak kemerdekaan bagi para penyewa mobil. Berbeda dengan orang yang punya mobil pribadi, kalau dia punya hanya satu, maka ya mobil itu itu saja yang dikendarai. Mereka tidak bisa memilih karena memang tidak ada pilihan lain.
Ketiga, orang yang tidak punya mobil dan kebetulan menyewa mobil, mereka tidak akan kepikiran mengenai rusaknya mobil sewaannya itu. Sebab ketika mobil itu rusak, semua menjadi tanggung jawab pemilik mobil. Sementara penyewa mobil hanya membayar ongkos sewaannya. Berbeda dengan orang yang punya mobil, mereka harus memikirkan pengeluaran tentang perawatan rutin dan pengeluaran insidental saat ada kerusakan yang fatal. Apalagi sekarang ini onderdil mobil itu rata-rata berharga mahal.
Dan keempat, orang yang tidak punya mobil tidak akan memikirkan bayar kreditan mobilnya, karena memang ia tidak mengkredit mobil. Berbeda dengan para pengkredit mobil yang hidupnya akan dipenuhi siasat mengatur antara pengeluaran pokok dan bayar kreditan mobilnya. Mereka pasti tidak ingin ada kredit macet, sebab beresiko mobilnya bisa-bisa diambil paksa oleh para debt collector sukanya ngepam di pinggir jalan.
Saya tertawa bahak mendengar ujaran Gus Ahmad itu. Saya lalu merenung, betul juga apa yang disampaikan Gus Ahmad. Benar dan rasional, sebab ada argumentasi yang bernada kelakar tapi masuk di akal. Juga betul sebab sebagai hiburan penenteram jiwa bagi orang-orang yang untuk urusan makan saja susah, apalagi mau memikirkan keinginkan bermewah-mewah.
Terspesial bagi saya, penjelasan Gus Ahmad tersebut benar-benar memperkuat lagi bahwa saya dan beliau memang banyak kesamaannya. Salah satunya, kami sama-sama belum mempunyai mobil sampai detik ini. Saya bangga dan bahagia dengan kesamaan itu. Dari pada sama dan sebanding dengan pejabat publik yang bermewah-mewah dengan mobil wah dan istri cantik yang kinyis kinyis cetar membahana semesta, tapi akhirnya di-OTT KPK.
Ya gak Son?
Santri Gus Ahmad jumlahnya ratusan. Alumninya bahkan sudah ribuan. Mereka berasal dari berbagai pelosok daerah di Jawa Timur. Sering ketika ada acara pernikahan santrinya, Gus Ahmad kerap diundang untuk memberi nasihat. Jika tempatnya dekat, dalam lingkup daerah sendiri atau pula kalau luar daerah tapi masih bisa ditempuh memakai motor, maka Gus Ahmadpun memakai motornya itu. Jika tempatnya jauh maka biasanya beliau menyewa mobil carteran.
Teman saya pernah punya pengalaman mobilnya disewa Gus Ahmad. Kebetulan dirinya sendiri yang menjadi driver-nya. Yang lucu ia pernah diminta Gus Ahmad mengantar ke sebuah pesantren di luar daerah, padahal masih baru bisa menyetir. Ia tidak bisa menolak permintaan itu karena sungkan. Sekalipun dalam hatinya keluar perasaan dag dig dug der saat ada di jalan, maklum barusan bisa nyetir. Tak dinyana, Gus Ahmad tahu dengan kondisi itu, dan beliaupun menghibur teman saya, “Yang penting sampai tujuan, lambatpun tidak apa-apa Mas.” Sontak, ucapan penuh hibur itupun membuat teman saya malu.
Dibanding para kyai lainnya, ini sepengetahuan saya, Gus Ahmad ini cenderung lebih sederhana. Dapat diukur dari apa yang beliau pakai setiap hari. Yang lebih utama diukur dari kendaraan yang beliau punya. Para kyai lainnya banyak yang punya mobil, bahkan banyak yang harganya mahal dan jumlahnya lebih dari satu. Sementara Gus Ahmad, mobil Suzuki Carry lawas saja yang harganya sekarang sekira 30 jutaan, beliau tidak memiliki. Dan ini sudah berjalan sejak lama.
Anda semua pasti paham, mobil itu sekarang menjadi kebutuhan pokok menurut banyak orang. Karena itulah mereka berusaha bermimpi-mimpi memilikinya. Sekalipun aslinya besar pasak dari pada tiang. Alias mobil terbeli dengan menumpuk-numpuk hutang di koperasi atau bank. Ketika ditanya untuk apa berapi-api kepingin mempunyai mobil tapi dengan jalan hutang beratus juta atau kredit dengan cicilan yang tidak rasional? Mereka pun menjawab bahwa mobil itu sebuah life style. Siapa yang punya mobil derajat hidupnya otomatis terangkat. Walau kondisi ekonominya tergencet hutang ratusan juta.
Jawaban lainnya, mobil tersebut akan mereka gunakan untuk berekreasi di setiap hari libur. Jadi mereka akan meluangkan waktu di hari tersebut untuk melancong ke tempat yang mereka sukai. Mereka menganggap, di samping kepemilikan mobil, salah satu life style lainnya itu ya rekreasi, refreshing atau berwisata. Sekalipun, sekali lagi, mengakibatkan bengkaknya hutang piutangnya demi ongkos bepergian yang sering dilakukan itu. Karena gaji bulanan yang ia terima tak mampu menutupi melimpahnya biaya pengeluaran yang sifatnya tersier itu.
Kecuali bagi orang yang memang secara modal sangatlah berlimpah. Kalau seperti ini boleh jadi memiliki mobil memang sebuah kemaslahatan. Disamping terutama bagi keluarganya agar tidak kepanasan dan kehujanan saat bepergian, juga bisa digunakan menolong para tetangga yang barangkali butuh diantar ke rumah sakit saat mereka sakit. Jadi kepemilikian mobilnya tidak saja maslahah untuk dirinya sendiri, namun maslahah pula untuk lingkungan.
Kalau begitu, apakah ketidakpunyaan Gus Ahmad, walau semata mobil sederhana, menjadikan beliau lebih wirai dari kyai lainnya? Pangkat ruhani ini tidak mungkin saya ketahui. Sebab menurut saya penilaian tersebut adalah hak Allah dalam memandang hamba-Nya. Saya hanya bisa melihat wadag lahiriah yang menempel pada fisik beliau. Dan ketika saya amati, beliau itu memang sangat sederhana.
Suatu ketika beliau pernah membela kondisinya itu di sebuah forum. Disampaikannya ketika beliau mengisi acara pengajian di sebuah instansi. Sambil berkelakar, Gus Ahmad menceritakan bahwa memang ia belum punya mobil hingga sekarang. Karena itulah ketika ada acara di luar kota dan tidak bisa tidak harus menggunakan mobil, beliaupun kerap menyewa mobil. Yang menarik, menurut Gus Ahmad, justru orang yang tidak punya mobil dan sering menyewa mobil seperti beliau, punya nilai lebih dibanding orang yang punya mobil pribadi.
Pertama, orang yang tidak mempunyai mobil tidak akan pusing-pusing memikirkan apakah mobilnya kehujanan, kepanasan, kotor, atau hilang, sebab ia memang tidak punya. Berbeda dengan orang yang punya mobil, mereka kerap dihantui pikiran-pikiran itu. Mereka perlu membangun garasi, beli kunci terkuat sebagai pengaman dan bahkan dipasang CCTV segala.
Kedua, orang yang tidak punya mobil dan ketika bepergian kerap menyewa mobil, maka ia punya banyak kebebasan. Salah satunya kebebasan memilih jenis mobil yang ia sewa. Mau yang biasa, setengah bagus bahkan yang mewah, itu hak kemerdekaan bagi para penyewa mobil. Berbeda dengan orang yang punya mobil pribadi, kalau dia punya hanya satu, maka ya mobil itu itu saja yang dikendarai. Mereka tidak bisa memilih karena memang tidak ada pilihan lain.
Ketiga, orang yang tidak punya mobil dan kebetulan menyewa mobil, mereka tidak akan kepikiran mengenai rusaknya mobil sewaannya itu. Sebab ketika mobil itu rusak, semua menjadi tanggung jawab pemilik mobil. Sementara penyewa mobil hanya membayar ongkos sewaannya. Berbeda dengan orang yang punya mobil, mereka harus memikirkan pengeluaran tentang perawatan rutin dan pengeluaran insidental saat ada kerusakan yang fatal. Apalagi sekarang ini onderdil mobil itu rata-rata berharga mahal.
Dan keempat, orang yang tidak punya mobil tidak akan memikirkan bayar kreditan mobilnya, karena memang ia tidak mengkredit mobil. Berbeda dengan para pengkredit mobil yang hidupnya akan dipenuhi siasat mengatur antara pengeluaran pokok dan bayar kreditan mobilnya. Mereka pasti tidak ingin ada kredit macet, sebab beresiko mobilnya bisa-bisa diambil paksa oleh para debt collector sukanya ngepam di pinggir jalan.
Saya tertawa bahak mendengar ujaran Gus Ahmad itu. Saya lalu merenung, betul juga apa yang disampaikan Gus Ahmad. Benar dan rasional, sebab ada argumentasi yang bernada kelakar tapi masuk di akal. Juga betul sebab sebagai hiburan penenteram jiwa bagi orang-orang yang untuk urusan makan saja susah, apalagi mau memikirkan keinginkan bermewah-mewah.
Terspesial bagi saya, penjelasan Gus Ahmad tersebut benar-benar memperkuat lagi bahwa saya dan beliau memang banyak kesamaannya. Salah satunya, kami sama-sama belum mempunyai mobil sampai detik ini. Saya bangga dan bahagia dengan kesamaan itu. Dari pada sama dan sebanding dengan pejabat publik yang bermewah-mewah dengan mobil wah dan istri cantik yang kinyis kinyis cetar membahana semesta, tapi akhirnya di-OTT KPK.
Ya gak Son?
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda